Artikel islam - Kata munasabah secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata nasaba yang berarti dekat. Menurut As-Suyuthi munasabah berarti almusyakalah (keserupaan) dan al muqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi sendiri memberikan contoh seperti fulan yunasibu fulan, hal ini berarti bahwa si A mempunyai hubungan yang dekat dengan si B dan menyerupainya. Dari kata itu, lahir pula kata “an-nasab,” yang berarti kerabat yang mempunyai hubungan seperti dua orang bersaudara dan putra paman. Istilah munasabah digunakan dalam 'illat dalam bab qiyas, dan berarti Al-wasf Al-muqarib Ii Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian).
Sedangkan pengertian munasabah menurut terminologi, dapat dijelaskan berdasarkan pendapat ulama Ulumul Qur’an sebagai berikut:
1. Menurut Manna’ Al-Qaththan:
Artinya:
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antara surah (di dalam Al-Qur’an)
2. Menurut Ibn Al-‘Arabi:
Artinya:
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
3. Menurut Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surah dengan surah.
Munasabah dalam konteks Ulum Al-Qur’an menjelaskan korelasi makna antar-ayat atau antar-surah, baik korelasi itu bersifat umum maupun bersifat khusus: ‘aqli (rasional), hassiy (persepsi), atau khayali (imajinatif), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma'lul, perlawanan dan perbandingan10Abu Ja’far Ibn Zubayr adalah ulama yang pertama kali menulis munasabah secara tersendiri, beliau adalah guru dari Abu Hayyan, kemudian setelah itu disusul oleh Imam Fakhr al-Din al-Razi. Akan tetapi, imam Fakhr al-Din adalah ulama yang paling banyak mengemukakan munasabah dalam penafsiran al-Qur’an menurut Imam al-Zarkaysi.
Meskipun Abu Ja'far adalah ulama pertama yang menulis secara terpisah, namun yang mula-mula memperkenalkan ilmu ini di Baghdad yang sebelumnya tidak ada yang membicarakannya adalah Imam Abu Bakr al-Naisaburi (w.324 H.). Ulama yang membahas tentang munasabah al-Qur’an secara lengkap adalah Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa'i (w.885 H./1480 M.) dalam kitabnya yang berjudul Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat Wa As-Suwar.
Sedikit ulama yang membahas persoalan munasabah ini karena ilmu ini dianggap sebagai ilmu yang sulit dan rumit dibanding dengan cabang-cabang ulum al-Qur'an yang lain. Adapula yang memandang bahwa munasabah tidak mesti ada pada semua ayat dalam al-Qur’an, karena penemuan terhadap munasabah memang masalah ijtihadiyah artinya, tidaklah semua bentuk munasabah harus terdapat dalam al-Qur’an. Imam ‘izz Al-Din Ibn Abd Al-Salam (w.660 H.) misalnya, mengatakan bahwa munasabah merupakan cabang ilmu yang baik, tetapi untuk menentukan bahwa adanya hubungan dan jalinan di antara ayat-ayat itu hendaknya berada di dalam suatu konteks masalah atau tema yang sama. Jika terjadi pembicaraan atau ungkapan karena sebab-sebab yang berbeda, tidaklah mesti ada munasabah antara satu dengan yang lainnya. Orang-orang yang berusaha juga mencari hubungan diantara kalimat-kalimat yang berbeda sebab turunnya atau berbeda konteks pembicaraannya, sebenarnva ia, menurut ‘Izz Al-Din menyusahkan dirinya sendiri.
Alasan yang dikemukakannya ialah, al-Qur’an turun dalam rentang waktu yang begitu panjang dengan sebab yang berbeda-beda dan hukum yang berbeda-beda pula, maka wajar saja jika ketersusunan dan hubungan antara yang berbeda-beda itu tidak terjadi.
Sedangkan pengertian munasabah menurut terminologi, dapat dijelaskan berdasarkan pendapat ulama Ulumul Qur’an sebagai berikut:
1. Menurut Manna’ Al-Qaththan:
Artinya:
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antara surah (di dalam Al-Qur’an)
2. Menurut Ibn Al-‘Arabi:
Artinya:
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
3. Menurut Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surah dengan surah.
Munasabah dalam konteks Ulum Al-Qur’an menjelaskan korelasi makna antar-ayat atau antar-surah, baik korelasi itu bersifat umum maupun bersifat khusus: ‘aqli (rasional), hassiy (persepsi), atau khayali (imajinatif), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma'lul, perlawanan dan perbandingan10Abu Ja’far Ibn Zubayr adalah ulama yang pertama kali menulis munasabah secara tersendiri, beliau adalah guru dari Abu Hayyan, kemudian setelah itu disusul oleh Imam Fakhr al-Din al-Razi. Akan tetapi, imam Fakhr al-Din adalah ulama yang paling banyak mengemukakan munasabah dalam penafsiran al-Qur’an menurut Imam al-Zarkaysi.
Meskipun Abu Ja'far adalah ulama pertama yang menulis secara terpisah, namun yang mula-mula memperkenalkan ilmu ini di Baghdad yang sebelumnya tidak ada yang membicarakannya adalah Imam Abu Bakr al-Naisaburi (w.324 H.). Ulama yang membahas tentang munasabah al-Qur’an secara lengkap adalah Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa'i (w.885 H./1480 M.) dalam kitabnya yang berjudul Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat Wa As-Suwar.
Sedikit ulama yang membahas persoalan munasabah ini karena ilmu ini dianggap sebagai ilmu yang sulit dan rumit dibanding dengan cabang-cabang ulum al-Qur'an yang lain. Adapula yang memandang bahwa munasabah tidak mesti ada pada semua ayat dalam al-Qur’an, karena penemuan terhadap munasabah memang masalah ijtihadiyah artinya, tidaklah semua bentuk munasabah harus terdapat dalam al-Qur’an. Imam ‘izz Al-Din Ibn Abd Al-Salam (w.660 H.) misalnya, mengatakan bahwa munasabah merupakan cabang ilmu yang baik, tetapi untuk menentukan bahwa adanya hubungan dan jalinan di antara ayat-ayat itu hendaknya berada di dalam suatu konteks masalah atau tema yang sama. Jika terjadi pembicaraan atau ungkapan karena sebab-sebab yang berbeda, tidaklah mesti ada munasabah antara satu dengan yang lainnya. Orang-orang yang berusaha juga mencari hubungan diantara kalimat-kalimat yang berbeda sebab turunnya atau berbeda konteks pembicaraannya, sebenarnva ia, menurut ‘Izz Al-Din menyusahkan dirinya sendiri.
Alasan yang dikemukakannya ialah, al-Qur’an turun dalam rentang waktu yang begitu panjang dengan sebab yang berbeda-beda dan hukum yang berbeda-beda pula, maka wajar saja jika ketersusunan dan hubungan antara yang berbeda-beda itu tidak terjadi.