Sifat Susunan ayat-ayat al-Qur’an dalam kajian Munasabah. Mayoritas ulama sepakat bahwa susunan ayat-ayat di dalam kita suci al-Qur’an bersifat tauqifi, hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang ada tentang susunan ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan terhadap susunan surah-surahnya, terdapat tiga pendapat : yang pertama mengatakan hal itu bersifat tauqifi, kedua mengatakan ia bersifat ijtihadi, sedangkan yang ketiga mengatakan bahwa sebagian bersifat tauqifi dan sebagian surah lagi bersifat ijtihadi.
Dari ketiga pendapat ini kelihatannya yang paling kuat adalah pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa susunan surah itu bersifat tauqifi. Persoalan yang menarik ialah kaitan antara susunan surah dan atau ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur'an itu tidak selalu sesuai dengan urutan turunnya ayat-ayat itu. Beberapa riwayat menjelaskan hal ini, antara lain ialah QS. An-Nisa/4:51 yang berbunyi:
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”
Ayat ini (serta beberapa ayat sesudahnya) turun mengenai seorang Yahudi Ahli Kitab yaitu Ka'ab Ibn Al-Asyraf. Ia datang ke Mekkah dan menyaksikan korban-korban Perang Badar. Ia lalu menghasut kaum musyrikin Makkah untuk membalas dendam dan memerangi Nabi Muhammad Saw. Ketika orang-orang kafir bertanya: siapakah yang lebih mendapat petunjuk, apakah orang-orang mukmin atau orang-orang kafir, Ka'ab Ibn Al-Asyraf lantas menjawab: Kalian yang lebih mendapat petunjuk. Setelah ayat itu menjelaskan tentang Ka'ab, pada ayat 58 dilanjutkan dengan firman Allah Swt:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Ayat ini turun berkaitan dengan masalah ‘Utsman Ibn Talhah yang turun selang tenggang waktu enam tahun setelah turunnya ayat di atas. Ia adalah pemegang kunci Ka'bah, yaitu ketika Rasulullah Saw. mengambil kunci Ka'bah darinya pada yawm al-Fath, dalam penaklukan kota Makkah. Yang kemudian dikembalikan lagi kepadanya.
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa susunan ayat bersifat tauqifi dengan rentang waktu enam tahun. Para mufassir juga menunjukkan adanya munasabah di antara kedua ayat, yaitu sama-sama menjelaskan kewajiban dalam melaksanakan amanah. Dari peristiwa tersebut menunjukkan bahwa seorang yahudi ahli kitab yang memprovokasi kaum musyrikin telah melanggar amanah sebab pada dasarnya mereka telah mengetahui bahwa kitab Taurat telah mengabarkan akan tanda-tanda kenabian yang cocok pada Nabi Muhammad Saw., tetapi mereka menyembunyikan sebab Nabi bukan dari keturunan Bani Israil.
Sedangkan ayat 158 mengemukakan perintah berlaku amanah dalam segala hal, dan menyerahkan amanah pada orang yang bisa dipercaya. Lebih dari itu, susunan ayat ini menjelaskan bahwa sebab-sebab turunnya ayat tidak mengganggu urutan ayat tersebut, malah akan semakin membuat harmonis susunan ayat ditinjau dari segi munasabahnya.
Berdasarkan contoh diatas menunjukkan bahwa dalam hal menentukan munasabah, urutan turunnya ayat, atau sebab turun yang tidak sejalan, tidak selalu menjadi objek atau bahan pertimbangan untuk menemukan munasabah di dalam al-Qur'an. Dengan kata lain, dalam metode penelitian munasabah, masalah asbab al-nuzul, merupakan salah satu bahan kajian saja dalam melihat munasabah, tetapi sewaktu-waktu dapat saja dikesampingkan, jika disana terlihat adanya munasabah.
Dari ketiga pendapat ini kelihatannya yang paling kuat adalah pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa susunan surah itu bersifat tauqifi. Persoalan yang menarik ialah kaitan antara susunan surah dan atau ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur'an itu tidak selalu sesuai dengan urutan turunnya ayat-ayat itu. Beberapa riwayat menjelaskan hal ini, antara lain ialah QS. An-Nisa/4:51 yang berbunyi:
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”
Ayat ini (serta beberapa ayat sesudahnya) turun mengenai seorang Yahudi Ahli Kitab yaitu Ka'ab Ibn Al-Asyraf. Ia datang ke Mekkah dan menyaksikan korban-korban Perang Badar. Ia lalu menghasut kaum musyrikin Makkah untuk membalas dendam dan memerangi Nabi Muhammad Saw. Ketika orang-orang kafir bertanya: siapakah yang lebih mendapat petunjuk, apakah orang-orang mukmin atau orang-orang kafir, Ka'ab Ibn Al-Asyraf lantas menjawab: Kalian yang lebih mendapat petunjuk. Setelah ayat itu menjelaskan tentang Ka'ab, pada ayat 58 dilanjutkan dengan firman Allah Swt:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Ayat ini turun berkaitan dengan masalah ‘Utsman Ibn Talhah yang turun selang tenggang waktu enam tahun setelah turunnya ayat di atas. Ia adalah pemegang kunci Ka'bah, yaitu ketika Rasulullah Saw. mengambil kunci Ka'bah darinya pada yawm al-Fath, dalam penaklukan kota Makkah. Yang kemudian dikembalikan lagi kepadanya.
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa susunan ayat bersifat tauqifi dengan rentang waktu enam tahun. Para mufassir juga menunjukkan adanya munasabah di antara kedua ayat, yaitu sama-sama menjelaskan kewajiban dalam melaksanakan amanah. Dari peristiwa tersebut menunjukkan bahwa seorang yahudi ahli kitab yang memprovokasi kaum musyrikin telah melanggar amanah sebab pada dasarnya mereka telah mengetahui bahwa kitab Taurat telah mengabarkan akan tanda-tanda kenabian yang cocok pada Nabi Muhammad Saw., tetapi mereka menyembunyikan sebab Nabi bukan dari keturunan Bani Israil.
Sedangkan ayat 158 mengemukakan perintah berlaku amanah dalam segala hal, dan menyerahkan amanah pada orang yang bisa dipercaya. Lebih dari itu, susunan ayat ini menjelaskan bahwa sebab-sebab turunnya ayat tidak mengganggu urutan ayat tersebut, malah akan semakin membuat harmonis susunan ayat ditinjau dari segi munasabahnya.
Berdasarkan contoh diatas menunjukkan bahwa dalam hal menentukan munasabah, urutan turunnya ayat, atau sebab turun yang tidak sejalan, tidak selalu menjadi objek atau bahan pertimbangan untuk menemukan munasabah di dalam al-Qur'an. Dengan kata lain, dalam metode penelitian munasabah, masalah asbab al-nuzul, merupakan salah satu bahan kajian saja dalam melihat munasabah, tetapi sewaktu-waktu dapat saja dikesampingkan, jika disana terlihat adanya munasabah.