Pengertian Kemiskinan
Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang berat seperti firman Allah dalam QS al-Balad [90]: 16.
“..atau orang miskin yang sangat fakir”
Adapun kata fakir berasal dari bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj)
sesuai dengan firman Allah dalam QS al-Qashash [28]: 24 :
“…lalu dia berdoa, “Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”
Tokoh pembaharu Islam, Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang dikatakan miskin adalah orang yang bekerja namun penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Dari definisi diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup dengan layak, baik itu disebabkan tidak dapat pekerjaan karena kondisi kesehatan, pendidikan, cacat, dll. Pengertian ini didasarkan atas kaitan kemiskinan dengan zakat, karena zakat merupakan hal yang terkait dengan harta benda yang dapat memenuhi kebutuhan dasar tersebut diatas.
Fakir dan Miskin
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Termasuk diantaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya. Hajat dasar itu sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari suhu panas dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas, hujan atau cuaca yang tidak mendukung. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan. Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara fakir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang fakir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meskipun sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang fakir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya. Pembagian kedua istilah ini didasari oleh firman Allah SWT berikut ini:
"Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (QS Al-Kahfi: 79).
Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih bekerja di laut. Artinya meski mereka miskin, namun mereka masih punya sesuatu hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Ayat lain yang menjelaskan tentang fakir dan miskin sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, …” (QS. At Taubah : 60).
Tentang orang miskin, Rasulullah ShallallahHualaiHi wa sallam bersabda: dari Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu:
“Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta, lalu diberi sesuap atau dua suap, satu buah kurma atau dua buah”.
Mereka bertanya, “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu ya Rasulullah ?”. Beliau ShallallaHu „alaiHi wa sallam menjawab:
“Orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat menutupi kebutuhannya, dan kondisinya tidak diketahui sehingga diberi shadaqah. Maka ia diberi zakat dan dia tidak meminta minta”(HR. al Bukhari dan Muslim).
Maka dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa orang miskin ialah, orang yang membutuhkan, berbadan sehat, bekerja, memiliki pendapatan serta tidak meminta minta. Sedangkan fakir yaitu orang yang membutuhkan, berpenyakit menahun sehingga bisa menyebabkan dia tidak dapat bekerja serta tidak memiliki pendapatan lalu akhirnya memintaminta di jalanan. Para fuqaha dari kalangan Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin (Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 3).
Namun perbedaan makna dari fakir dan miskin hanya terjadi jika kedua kata tersebut disebutkan di dalam satu kalimat. Dan jika dipisah, misalnya „fakir‟ saja dalam suatu kalimat maka orang miskin sudah masuk ke dalam maknanya sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
“Aku melihat ke dalam surga ternyata kebanyakan dari penduduknya adalah orang-orang fakir” (HR. al Bukhari dan Muslim).
Penanggulangan Kemiskinan
Dari beberapa penyebab timbulnya kemiskinan di atas ada beberapa diantaranya dapat diatasi dengan pemberdayaan zakat. Karena masalah kemiskinan merupakan permasalahan kolektif yaitu individu, masyarakat dan negara maka melalui pemberdayaan zakat juga harus dilaksanakan secara kolektif agar pelaksanaan zakat dapat secara efektif dan efisien, namun peran negara sangat dominan karena negara merupakan lembaga pembuat kebijakan dan sebagai kekuatan fasilitator.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa zakat harus dikelola Negara, diantaranya:
1. Karena wajib. Disini negara harus dapat memberikan sanksi kepada para muzaki yang tidak mau membayar zakat. Alasan ini karena kesadaran dari umat untuk melaksanakan pembayaran zakat sangat minim dibandingkan dengan jumlah wajib zakat.
2. Karena menyangkut pihak lain terutama fakir miskin. Kemiskinan harus didefinisikan secara jelas agar masyarakat tidak menentukan definisi kemiskinan secara subjektif yang dipandang sebagai hubungan pribadi atau kedekatan seseorang atau lembaga.
3. Karena zakat terkait dengan pajak dimana orang yang membayar zakat dan pajak adalah orang kaya. Tujuan kebijakan zakat harus jelas, agar kehidupan fakir miskin bukan tergantung pada suasana hati orang-orang kaya, karena kalau tergantung suasana hati orang kaya si miskin harus pandai mendekatkan diri kepada si kaya, kalau tidak tentu si miskin tidak akan mendapatkan bagian harta zakat sikaya.
Oleh karena itu dari penyebab-penyebab tersebut diatas akan dapat diatasi melalui pemberdayaan zakat, karena zakat dalam pengelolaan bukan hanya pemberian berupa materi yang akan habis dikosumsi begitu saja namun harus juga dapat dikembangkan sebagai modal yang produktif bagi penerimanya dengan harapan dia juga harus dapat menjadi muzaki dikemudian hari. Hal ini akan dapat terlaksana apabila masing masing pihak yang terkait bisa saling bekerja sama dan bersinerji. Masing-masing pihak tersebut adalah lembaga pemerintah, masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat, badan pengelola zakat, muzaki dan pihak penerima zakat.
Baca : Hubungan Zakat Dengan Kemiskinan
Menghilangkan kemiskinan secara tuntas tentu sangatlah tidak mungkin karena itu merupakan takdir dari Allah dan kemiskinan merupakan suatu keadaan yang relatif terjadi, namun dapat diberantas atau ditanggulangi dengan membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat, namun hal ini sangatlah tidak efektif kalau dikaitkan dengan tujuan dari zakat. Zakat lebih mengedepankan faktor produktif daripada faktor konsumtif. Bantuan secara langsung kepada orang miskin hanya dilakukan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang pasti mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.
Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang berat seperti firman Allah dalam QS al-Balad [90]: 16.
“..atau orang miskin yang sangat fakir”
Adapun kata fakir berasal dari bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj)
sesuai dengan firman Allah dalam QS al-Qashash [28]: 24 :
“…lalu dia berdoa, “Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”
Tokoh pembaharu Islam, Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang dikatakan miskin adalah orang yang bekerja namun penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Dari definisi diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup dengan layak, baik itu disebabkan tidak dapat pekerjaan karena kondisi kesehatan, pendidikan, cacat, dll. Pengertian ini didasarkan atas kaitan kemiskinan dengan zakat, karena zakat merupakan hal yang terkait dengan harta benda yang dapat memenuhi kebutuhan dasar tersebut diatas.
Fakir dan Miskin
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah memandang bahwa yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang tidak punya harta serta tidak punya penghasilan yang mencukupi kebutuhan dasarnya. Termasuk diantaranya adalah seorang wanita tidak punya suami yang bisa menafkahinya. Hajat dasar itu sendiri berupa kebutuhan untuk makan yang bisa meneruskan hidupnya, pakaian yang bisa menutupi sekedar auratnya atau melindungi dirinya dari suhu panas dan dingin, serta sekedar tempat tinggal untuk berteduh dari panas, hujan atau cuaca yang tidak mendukung. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak punya harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, namun masih ada sedikit kemampuan untuk mendapatkannya. Dia punya sesuatu yang bisa menghasilkan kebutuhan dasarnya, namun dalam jumlah yang teramat kecil dan jauh dari cukup untuk sekedar menyambung hidup dan bertahan. Dari sini bisa kita komparasikan ada sedikit perbedaan antara fakir dan miskin, yaitu bahwa keadaan orang fakir itu lebih buruk dari orang miskin. Sebab orang miskin masih punya kemungkian pemasukan meskipun sangat kecil dan tidak mencukupi. Sedangkan orang fakir memang sudah tidak punya apa-apa dan tidak punya kemampuan apapun untuk mendapatkan hajat dasar hidupnya. Pembagian kedua istilah ini didasari oleh firman Allah SWT berikut ini:
"Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. (QS Al-Kahfi: 79).
Di ayat ini disebutkan bahwa orang-orang miskin itu masih bekerja di laut. Artinya meski mereka miskin, namun mereka masih punya sesuatu hal yang bisa dikerjakan, masih punya penghasilan dan pemasukan, meski tidak mencukupi apa yang menjadi hajat kebutuhan pokoknya.
Ayat lain yang menjelaskan tentang fakir dan miskin sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, …” (QS. At Taubah : 60).
Tentang orang miskin, Rasulullah ShallallahHualaiHi wa sallam bersabda: dari Abu Hurairah radhiyallahu‟anhu:
“Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta, lalu diberi sesuap atau dua suap, satu buah kurma atau dua buah”.
Mereka bertanya, “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu ya Rasulullah ?”. Beliau ShallallaHu „alaiHi wa sallam menjawab:
“Orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat menutupi kebutuhannya, dan kondisinya tidak diketahui sehingga diberi shadaqah. Maka ia diberi zakat dan dia tidak meminta minta”(HR. al Bukhari dan Muslim).
Maka dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa orang miskin ialah, orang yang membutuhkan, berbadan sehat, bekerja, memiliki pendapatan serta tidak meminta minta. Sedangkan fakir yaitu orang yang membutuhkan, berpenyakit menahun sehingga bisa menyebabkan dia tidak dapat bekerja serta tidak memiliki pendapatan lalu akhirnya memintaminta di jalanan. Para fuqaha dari kalangan Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin (Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 3).
Namun perbedaan makna dari fakir dan miskin hanya terjadi jika kedua kata tersebut disebutkan di dalam satu kalimat. Dan jika dipisah, misalnya „fakir‟ saja dalam suatu kalimat maka orang miskin sudah masuk ke dalam maknanya sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
“Aku melihat ke dalam surga ternyata kebanyakan dari penduduknya adalah orang-orang fakir” (HR. al Bukhari dan Muslim).
Penanggulangan Kemiskinan
Dari beberapa penyebab timbulnya kemiskinan di atas ada beberapa diantaranya dapat diatasi dengan pemberdayaan zakat. Karena masalah kemiskinan merupakan permasalahan kolektif yaitu individu, masyarakat dan negara maka melalui pemberdayaan zakat juga harus dilaksanakan secara kolektif agar pelaksanaan zakat dapat secara efektif dan efisien, namun peran negara sangat dominan karena negara merupakan lembaga pembuat kebijakan dan sebagai kekuatan fasilitator.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa zakat harus dikelola Negara, diantaranya:
1. Karena wajib. Disini negara harus dapat memberikan sanksi kepada para muzaki yang tidak mau membayar zakat. Alasan ini karena kesadaran dari umat untuk melaksanakan pembayaran zakat sangat minim dibandingkan dengan jumlah wajib zakat.
2. Karena menyangkut pihak lain terutama fakir miskin. Kemiskinan harus didefinisikan secara jelas agar masyarakat tidak menentukan definisi kemiskinan secara subjektif yang dipandang sebagai hubungan pribadi atau kedekatan seseorang atau lembaga.
3. Karena zakat terkait dengan pajak dimana orang yang membayar zakat dan pajak adalah orang kaya. Tujuan kebijakan zakat harus jelas, agar kehidupan fakir miskin bukan tergantung pada suasana hati orang-orang kaya, karena kalau tergantung suasana hati orang kaya si miskin harus pandai mendekatkan diri kepada si kaya, kalau tidak tentu si miskin tidak akan mendapatkan bagian harta zakat sikaya.
Oleh karena itu dari penyebab-penyebab tersebut diatas akan dapat diatasi melalui pemberdayaan zakat, karena zakat dalam pengelolaan bukan hanya pemberian berupa materi yang akan habis dikosumsi begitu saja namun harus juga dapat dikembangkan sebagai modal yang produktif bagi penerimanya dengan harapan dia juga harus dapat menjadi muzaki dikemudian hari. Hal ini akan dapat terlaksana apabila masing masing pihak yang terkait bisa saling bekerja sama dan bersinerji. Masing-masing pihak tersebut adalah lembaga pemerintah, masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat, badan pengelola zakat, muzaki dan pihak penerima zakat.
Baca : Hubungan Zakat Dengan Kemiskinan
Menghilangkan kemiskinan secara tuntas tentu sangatlah tidak mungkin karena itu merupakan takdir dari Allah dan kemiskinan merupakan suatu keadaan yang relatif terjadi, namun dapat diberantas atau ditanggulangi dengan membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat, namun hal ini sangatlah tidak efektif kalau dikaitkan dengan tujuan dari zakat. Zakat lebih mengedepankan faktor produktif daripada faktor konsumtif. Bantuan secara langsung kepada orang miskin hanya dilakukan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang pasti mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.