Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan sunnah. nasakh sunnah dengan sunnah, dan nasakh sunnah dengan Al-Qur’an berikut penjelasannya.
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al-Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106.
Menurut para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dapat diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.
Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al-Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat Al-Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Fussilat 42.
Artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Karena tidak ada satu ayat pun yang batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al-Qur’anyang dinasakh maupun mansukh. Ayat-ayat Al-Qur’anmemang telah menasakh ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat demikian dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani4. Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian bahwa sesama Al-Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.
2. Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al-Qur’an dinasakh dengan dalil sunnah. Nasakh jenis ini menurut Manna’ Al-Qatthan terbagi dua, yaitu:
Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga)
Nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4.
Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.(QS. An Najm 3-4)
Sementara itu Asy Syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
Artinya:
Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya (QS. Albaqarah 106)
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al Qur’an. Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al-Qur’an dengan sunnah, karena Al Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama.
3. Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh. Hadisnya seperti yang diriwayatkan At Tirmidzi
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al-Qur’an kemudian dinasakh dengan dalil ayat Al-Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106.
Menurut para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an ini, bahwa adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an dapat diterima akal karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal tersebut termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui.
Tetapi sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidak ada nasikh mansukh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al-Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat Al-Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Fussilat 42.
Artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Karena tidak ada satu ayat pun yang batil baik di bagian muka maupun di belakang, tidak ada ayat Al-Qur’anyang dinasakh maupun mansukh. Ayat-ayat Al-Qur’anmemang telah menasakh ayat-ayat dalam kitab-kitab suci terdahulu yaitu Taurat, Zabur, dan Injil. Pendapat demikian dikemukakan oleh Abu Muslim al Isfahani4. Beberapa mufassir lain juga berpendapat demikian bahwa sesama Al-Qur’an tidak ada yang nasikh dan mansukh.
2. Nasakh Al-Qur’an dengan sunnah
Hukum yang didasarkan pada dalil ayat Al-Qur’an dinasakh dengan dalil sunnah. Nasakh jenis ini menurut Manna’ Al-Qatthan terbagi dua, yaitu:
Nasakh Al-Qur’an dengan hadits ahad.
Jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadis ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum(jelas diketahui) dengan yang maznun(diduga)
Nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir.
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya adalah firman Allah dalam surah an Najm ayat 3-4.
Artinya”Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.(QS. An Najm 3-4)
Sementara itu Asy Syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 106:
Artinya:
Apa saja ayat yang kami nasakhan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding denganya (QS. Albaqarah 106)
Sedang hadits menurut ulama-ulama tersebut tidak lebih dari atau sebanding dengan Al Qur’an. Jadi jumhur ulama sepakat tidak ada nasakh Al-Qur’an dengan sunnah, karena Al Qur’an lebih tinggi dari sunnah, jadi tidak mungkin dalil yang lebih tinggi dihapus oleh dalil yang lebih rendah. Pada Surah Al Baqarah ayat 106 telah disebutkan bahwa dalil yang menasakh yaitu lebih baik dalam arti kuat dari pada dalil yang dinasakh, atau setidaknya sama.
3. Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi boleh. Hadisnya seperti yang diriwayatkan At Tirmidzi
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألَ فزوروها
” Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah”.(Riwayat At Tirmidzi).
Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah ini Manna Khalil Al Qattan mengkategorikan ke dalam empat bentuk, yaitu:
(1) Nasakh mutawatir dengan mutawatir.
(2) Nasakh ahad dengan ahad.
(3) Ahad dengan mutawatir.
(4) Nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk keempat terjadi silang pendapat. Namun jumhur ulama tidak membolehkan.
4. Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan dalil Al-Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap Baitul Maqdis kemudian menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al-Qur’an surah Al Baqarah/2 ayat 144:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” QS. Albaqarah 144)
Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Imam Syafi’i sebagaimana dikutip Manna’ Alqatthan dari Al Itqan, menurut Imam Syafi’I, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.