Cara dan Macam-Macam Munasabah

Cara mengetahui Munasabah
Langkah-langkah yang perlu dilakukan seorang mufassir dalam menemukan munasabah di dalam al-Qur’an, sebagai yang dikemukakan Imam Suyuthi adalah sebagai berikut :
1. Melihat tujuan dan tema dari suatu surah atau ayat tertentu
2. Mencari premis-premis yang diperlukan untuk mendukung tema sentral (dalam contoh kasus sebelumnya, sama-sama berbicara tentang kewajiban melaksanakan amanah)
3. Mengadakan kategorisasi terhadap premis-premis dengan meninjau kaitan antara ayat dengan lainnya
4. Melihat pernyataan-pernyataan yang saling mendukung antara satu dengan lainnya.

Empat langkah tersebut merupakan petunjuk umum saja bagi mereka yang ingin mencari munasabah karena langkah-langkah itu tidak banyak membantu, jika seseorang itu tidak memiliki keahlian yang istimewa dalam masalah apa yang disebut dengan dzaug al-lughawi (rasa bahasa), nalar yang memadai dan kecermatan dalam melihat hubungan antara satu dengan yang lainnya, baik dalam hubungannya antara sesama ayat ataupun antara ayat dan surah dan antara surah dengan surah. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, seorang mufassir dapat melihat hubungan-hubungan yang ada, baik dalam bentuk ‘am dan khas, imjinatif dan fakta-fakta, atau persamaan, pertentangan, atau hubungan sebab akibat yang banyak pula terdapat di dalam al-Qur’an.


Selanjutnya hubungan antara satu dengan lainya terkadang dalam bentuk nyata, seperti hubungan dua kata yang saling bergantung dan saling menyempurnakan, yang biasanya mengambil bentuk ta'kid, memperkuat, tafsir, penafsiran, I’tiradh, menengahi (interupsi) atau badl, mengganti. Hal ini tidak terlalu banyak menyita kesungguhan, tetapi kesulitan akan timbul, jika hubungan-hubungan itu mengambil bentuk yang tidak nyata, yang masing masing ayat tampak seperti berdiri sendiri, lepas dari yang lain. Bentuk-bentuk seperti ini terkadang dihubungkan dengan huruf 'athaf, dan kedua kalimat yang dihubungkan itu menggambarkan tadhad (berlawanan). Terkadang lagi hubungan yang tidak nyata itu menggambarkan al-tanzhir, kemiripan al-mudhadat, berlawanan, al-istidhrad, penjelasan tambahan.

Macam-macam Munasabah

Terdapat sekurang-kurangnya tujuh macam munasabah di dalam al-Qur’an yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Munasabah antar surah dengan surah sebelumnya

Menurut As-Suyuthi, munasabah antar-satu surah dengan surah sebelumnya berfungsi menyempurnakan atau menerangkan ungkapan pada surah sebelumnya. Sebagai contoh, ungkapan/direksi dalam surah Al-Fatihah ayat 1 yaitu alhamdulillah. Ungkapan ini memiliki korelasi dengan QS. Al-Baqarah/2:152 dan 186:

Terjemahnya:

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”

Terjemahnya:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”

Sedangkan ungkapan “rabb al-alamin” dalam surah Al-Fatihah/1:1 memiliki korelasi dengan surah Al-Baqarah/2:21-22:


Terjemannya:

“(21) Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (22). Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”

Surah Al-Baqarah ayat 2 disebutkan ungkapan “Dzalik Al-kitab la raiba fih”. Ungkapan ini memiliki korelasi dengan QS. Ali Imran/3:3:


Terjemahnya:

“Dia menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”

Demikian pula ungkapan “wa ma unzila min qablik” dalam surah Al-Baqarah ayat 4 yang diungkapkan secara global, yaitu dirinci lebih jauh oleh surah Ali Imran ayat 3 diatas.


Terdapat uraian lebih lanjut yang dikemukakan Nasr Abu Zaid tentang munasabah macam ini. la menjelaskan bahwa terdapat hubungan stilistika kebahasaan antara surah Al-Fatihah dengan surah Al-Baqarah. Sementara hubungan-hubungan yang bersifat umum lebih terkait dengan isi dan kandungan. Ihdina Ash-Shirath Al-mustagim, shirath Al-ladzina an'amta alaihim ghair Alma ghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin merupakan hubungan stilistika kebahasaan yang tercermin dalam kenyataan pada akhir surah Al-Fatihah tersebut.


Kemudian, akhir dari surat tersebut mendapatkan jawaban pada permulaan surah Al Baqarah yaitu Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu Ia raiba fihi hudan Ii Al-muttagin. Atas dasar ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa teks tersebut adalah berkesinambungan: “Seolah olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin”.


Selain contoh dari hubungan antara surah Al-Fatihah dan surah Al-Baqarah, terdapat pula hubungan lain misalnya hubungan antara surah Al-Baqarah dengan surah Ali Imran yang lebih mirip dengan hubungan antara “dalil” dengan “keraguan-keraguan akan dalil". Surah Al-Baqarah memiliki posisi sebagai surah yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surah ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surah Ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh". Kaitan antara surah Al-Baqarah dan surah Ali Imran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam interpretasi (ta’wil) yang membatasi kandungan surah Ali Imran pada ayat ketujuh saja.


2. Munasabah antarnama surah dengan tujuan turunnya

Setiap surah memiliki tema atau topik pembicaraan yang menonjol. Hal ini tercermin pada nama surah itu sendiri, seperti surah Al-Fatihah, surah Al-Baqarah surah Yusuf, surah An-Naml, dan surah Ali Imran. Lihatlah firman Allah Swt. dalam QS. Al- Baqarah/2:67-71:

Terjemahnya:

“(67) Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil" (68). Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu" (69) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya". (70) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)" (71) Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya". Mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu”

Cerita tentang lembu betina pada ayat 67-71 dalam surah Al-Baqarah di atas menunjukkan inti pembicaraannya, yakni mengenai kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan kata lain, tujuan surah dan ayat tersebut yakni menyangkut kekuasaan Tuhan serta keimanan kepada hari kemudian.


3. Munasabah antar bagian suatu ayat

Munasabah antar-bagian surah sering berpola perlawanan atau munasabah Al-Hadhadat seperti dalam QS. Al-Hadid:57/4 sebagai berikut:

Terjemahnya:

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”

Antara kata yajilu (masuk) dengan kata yakhruju (keluar), serta kata yanzilu (turun) dengan kata ya’ruju (naik) terdapat korelasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kata Al-adzab dan Ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman.


Munasabah seperti inilah yang dapat dijumpai dalam surah Al-Baqarah, surah Al- Mai’dah dan An-Nisa.


4. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan

Munasabah antar-ayat yang letaknya berdampingan sering kali dapat terlihat dengan jelas, namun sering pula tidak jelas. Munasabah anta-rayat yang terlihat dengan jelas pada umumnya menggunakan pola penguat (ta’kid), penjelas (tafsir), bantahan (I’tiradh), dan penegasan (tasydid). Munasabah antar-ayat yang menggunakan pola penguat (ta’kid) yaitu apabila salah satu ayat atau bagian dari ayat tersebut memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah QS. Al-Fatihah/1:1-2:

Terjemahnya:

“(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(2). Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”

Ungkapan rabb al-‘alamin pada ayat kedua berfungsi memperkuat kata alrahman dan kata Ar-rahim pada ayat pertama surah Al-Fatihah. Munasabah antarayat menggunakan pola penjelas (tafsir), yakni apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat yang berada di sampingnya. Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah/2:2-3:


Terjemahnya:

“(2) Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (3) (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”

Makna dari muttaqin pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, dapa dimaknai bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang meyakini hal-hal yang gaib, mengerjakan perintah shalat, dan seterusnya. Munasabah antara ayat menggunakan pola bantahan (I’tiradh) apabila terletak satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam struktur kalimat (I’rab), baik di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya atau di pertengahan kalimat.


Contohnya firman Allah Swt pada QS. An-Nahl/16:57:


Terjemahnya:

“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki laki)”

Kata subhanahu pada ayat di atas merupakan bentuk I’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.


Adapun munasabah anta-rayat menggunakan pola penegasan (tasydid) yaitu jika satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat lain yang terletak di sampingnya. Contohnya firman Allah dalam QS. Al-Fatihah/1:6-7:


Terjemahnya:

“(6) Tunjukilah kami jalan yang lurus (7) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

Ungkapan Shirathalladzina....mempertegas ungkapan Ash-shirath Almustaqim pada ayat 6, di antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf langsung (athaf) dan terkadang pula tidak diperkuat olehnya (tidak langsung). Munasabah antar-ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui hubungan makna (gara'in ma nawiyyah) yang terlihat dalam empat pola munasabah: perbandingan (At-tanzir), perlawanan (Al mudhadat), penjelasan lebih lanjut (istithrad) dan perpindahan (At-takhallush). Munasabah yang berpolakan perbandinga (At-tanzir) terlihat pada adanya perbandingan antara ayat ayat yang saling berdampingan. Contohnya firman Allah pada QS. Al-Anfal/8:4-5:


Terjemahnya:

“(4) Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (5) Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”

Pada ayat keempat, Allah memerintahkan agar tetap keluar dari rumah untuk berperang. Sementara, pada ayat kelima, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar terus melaksanakan perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Munasabah antar-kedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan mereka untuk berperang dan ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan rasul. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat kemenangan, keberuntungan, ghanimah, dan kejayaan Islam. Munasabah yang berpolakan perlawanan (Al-mudhadat) terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat dengan makna yang lain yang berdampingan. Dalam QS. Al-Baqarah/2:6, misalnya terdapat ungkapan:


Terjemahnya:

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman”

Ayat ini pada dasarnya berbicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap suatu peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak orang-orang mukmin. Munasabah yang berpolakan penjelasan lebih lanjut (istithradh) terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu ayat. Misalnya dalam QS. Al-A'raf/7:26 diungkapkan bahwa:


Terjemahnya:

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tandatanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”

Ayat ini turun setelah peristiwa terbukanya aurat Adam-Hawa dan mereka menutupnya dengan daun. Hubungan ini menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia Allah, sedangkan terbuka aurat dan telanjang merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya merupakan bagian dari ketakwaan.


Selanjutnya, pola munasabah takhallush (perpindahan) terlihat pada perpindahan maksud dari awal pembicaraan secara halus. Misalnya, dalam surah Al-Araf, mula-mula Allah berbicara tentang para nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutnya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.


5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya

Dalam surah Al-Baqarah ayat 1-20, Allah Swt. memulai penjelasan-Nya tentang suatu kebenaran dan fungsi dari kitab suci Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya diuraikan lebih lanjut tiga kelompok manusia beserta sifat sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu golongan mukmin, kafir, dan sifat munafik.

6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat

Macam munasabah ini mengandung tujuan-tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnya, dalam QS. Al-Ahzab/33:25 diungkapkan sebagai berikut:

Terjemahnya:

“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”33 Pada ayat ini, Allah Swt. menghindarkan dan melindungi orang-orang mukmin dari peperangan, hal ini tidak menunjukkan kelemahan, melainkan karena Allah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah di antara kedua penggalan ayat tersebut dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi sempurna dan lurus. Selain itu, tujuan lain dari fashilah tersebut adalah untuk memberikan penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenarnya, makna ayat tersebut sudah jelas. Misalnya dalam QS. An-Naml/27:80:

Terjemahnya:

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”

Kalimat “idza wallau mudbirin” menunjukkan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli yang dimaksud.


7. Munasabah antar awal surah dengan akhir surah yang sama

As-Suyutji telah mengbuat sebuah buku yang berjudul marasid Al-Mathali fi Tanasub Al Maqati’ wa Al-Mathali’ untuk menjelaskan munasabah jenis ini. Contoh munasabah jinis ini, terdapat dalam surah Al-Gashas (surah ke-28) yang diawali dengan menjelaskan tentang perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolongan Allah Swt., Nabi Musa kala itu berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surah tersebut, Allah Swt. menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad Saw. yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan Allah menjanjikan kemenangan. Kemudian, di awal surah dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Sehingga, munasabah terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.

8. Munasabah antar-penutup suatu surah dengan awal surah berikutnya

Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surah, akan dijumpai munasabah dengan akhir surah sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan QS. Al-Hadid/57:1 dimulai dengan tasbih:

Terjemahnya:

“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

Ayat ini bermunasabah dengan akhir surah sebelumnya, QS. Alwaqiah/56:96 Kemudian, permulaan QS. Al-Baqarah/2:1-2:


Terjemahnya:

“(1) Alif laam miim (2) Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”

Ayat ini berkorelasi (munasabah) dengan akhir surah Al-Fatihah/1:7 sebagai berikut:


Terjemahnya:

“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”