BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori tentang korelasi (munasabah) lahir berawal dari kenyataan bahwa sistematika al-Qur’an tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya al-Qur’an melainkan susunan yang terdapat dalam mushaf Usmani. Berdasarkan fakta tersebut, ulama salaf nampaknya memiliki perbedaan pendapat tentang urutan surah di dalam al-Qur’an. Kelompok pertama berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi Nabi Saw (didukung oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar).
Sedangkan, kelompok lainnya berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada ijtihad para sahabat setelah bersama-sama sepakat dan memastikan bahwasanya susunan ayat-ayat di dalam al-Quran adalah tauqifi (didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris). Kelompok ketiga pun berpendapat serupa dengan kelompok pertama, kecuali surah Al-Anfal dan Bara'ah (At-Taubah) yang dipandang bersifat ijtihadi (didukung oleh Al-Baihaqi).
Adanya perbedaan pendapat ini salah satunya disebabkan adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan surahnya. Ada yang menyusun mushaf berdasarkan konologis turunnya (mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra', kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya). Adapun mushaf Ibn Mas'ud dimulai dengan surah Al-Baqarah (2), An-Nisa' (4), lalu surah Ali ‘Imran (3).
Atas dasar perbedaan pendapat tersebut, maka wajar jika masalah teori munasabah al-Qur’an ini kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni Ulumul Qur’an. Namun terlepas dari semua itu, para ulama tetap meyakini bahwa Ilmu munasabah Al-Qur’an adalah salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri, hal ini berdasarkan pemahaman mereka akan firman Allah dalam QS. Hud/11:1 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”
Berdasarkan pemahaman ini, maka para ulama al-Qur’an memasukkan ilmu munasabah, yaitu pengetahuan tentang keterkaitan, hubungan antar ayat dan surah dalam al-Qur’an sebagai bagian dari Ulumul Qur’an. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa sebelum menjelaskan atau menafsirkan sesuatu ayat, seorang mufassir selain menunjukkan asbab an-nuzul agar terlebih dahulu juga menunjukkan hubungan antara ayat tersebut dengan ayat sebelumnya. Demikian juga halnya dalam membicarakan suatu surah dalam al-Qur’an.
Keyakinan terhadap munasabah yang ada dalam al-Qur’an dikuatkan pula dengan adanya kesepakatan ulama bahwa susunan ayat-ayatnya bersifat tauqifi4,
sesuai petunjuk Nabi SAW. Bahkan dapat dikatakan sebaliknya yaitu adanya
kesepakatan tentang tauqifi dari susunan ayat-ayat itu sendiri yang merupakan
landasan yang kuat untuk membangun teori tentang adanya munasabah di dalam
al-Qur’an. Pernyataan terakhir ini seolah memandang bahwa munasabah itu
merupakan sesuatu yang Ijtihadi, dan dengan demikian membuka peluang untuk
terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Munasabah ?
2. Bagaimana sifat susunan ayat al-Qur’an dalam kajian Munasabah ?
3. Bagaimana cara mengetahui Munasabah ?
4. Apa saja macam-macam Munasabah ?
5. Apa urgensi dan kegunaan mempelajari Munasabah ?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Munasabah
Kata munasabah secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata nasaba yang berarti dekat. Menurut As-Suyuthi munasabah berarti almusyakalah (keserupaan) dan al muqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi sendiri memberikan contoh seperti fulan yunasibu fulan, hal ini berarti bahwa si A mempunyai hubungan yang dekat dengan si B dan menyerupainya. Dari kata itu, lahir pula kata “an-nasab,” yang berarti kerabat yang mempunyai hubungan seperti dua orang bersaudara dan putra paman. Istilah munasabah digunakan dalam 'illat dalam bab qiyas, dan berarti Al-wasf Al-muqarib Ii Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian).
Sedangkan pengertian munasabah menurut terminologi, dapat dijelaskan berdasarkan pendapat ulama Ulumul Qur’an sebagai berikut:
1. Menurut Manna’ Al-Qaththan:
Artinya:
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antara surah (di dalam Al-Qur’an)
2. Menurut Ibn Al-‘Arabi:
Artinya:
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
3. Menurut Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surah dengan surah.
Munasabah dalam konteks Ulum Al-Qur’an menjelaskan korelasi makna antar-ayat atau antar-surah, baik korelasi itu bersifat umum maupun bersifat khusus: ‘aqli (rasional), hassiy (persepsi), atau khayali (imajinatif), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma'lul, perlawanan dan perbandingan10Abu Ja’far Ibn Zubayr adalah ulama yang pertama kali menulis munasabah secara tersendiri, beliau adalah guru dari Abu Hayyan, kemudian setelah itu disusul oleh Imam Fakhr al-Din al-Razi. Akan tetapi, imam Fakhr al-Din adalah ulama yang paling banyak mengemukakan munasabah dalam penafsiran al-Qur’an menurut Imam al-Zarkaysi.
Meskipun Abu Ja'far adalah ulama pertama yang menulis secara terpisah, namun yang mula-mula memperkenalkan ilmu ini di Baghdad yang sebelumnya tidak ada yang membicarakannya adalah Imam Abu Bakr al-Naisaburi (w.324 H.). Ulama yang membahas tentang munasabah al-Qur’an secara lengkap adalah Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa'i (w.885 H./1480 M.) dalam kitabnya yang berjudul Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat Wa As-Suwar.
Sedikit ulama yang membahas persoalan munasabah ini karena ilmu ini dianggap sebagai ilmu yang sulit dan rumit dibanding dengan cabang-cabang ulum al-Qur'an yang lain. Adapula yang memandang bahwa munasabah tidak mesti ada pada semua ayat dalam al-Qur’an, karena penemuan terhadap munasabah memang masalah ijtihadiyah artinya, tidaklah semua bentuk munasabah harus terdapat dalam al-Qur’an. Imam ‘izz Al-Din Ibn Abd Al-Salam (w.660 H.) misalnya, mengatakan bahwa munasabah merupakan cabang ilmu yang baik, tetapi untuk menentukan bahwa adanya hubungan dan jalinan di antara ayat-ayat itu hendaknya berada di dalam suatu konteks masalah atau tema yang sama. Jika terjadi pembicaraan atau ungkapan karena sebab-sebab yang berbeda, tidaklah mesti ada munasabah antara satu dengan yang lainnya. Orang-orang yang berusaha juga mencari hubungan diantara kalimat-kalimat yang berbeda sebab turunnya atau berbeda konteks pembicaraannya, sebenarnva ia, menurut ‘Izz Al-Din menyusahkan dirinya sendiri.
Alasan yang dikemukakannya ialah, al-Qur’an turun dalam rentang waktu yang begitu panjang dengan sebab yang berbeda-beda dan hukum yang berbeda-beda pula, maka wajar saja jika ketersusunan dan hubungan antara yang berbeda-beda itu tidak terjadi.
B. Sifat Susunan ayat-ayat al-Qur’an dalam kajian Munasabah
Mayoritas ulama sepakat bahwa susunan ayat-ayat di dalam kita suci al-Qur’an bersifat tauqifi, hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang ada tentang susunan ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan terhadap susunan surah-surahnya, terdapat tiga pendapat : yang pertama mengatakan hal itu bersifat tauqifi, kedua mengatakan ia bersifat ijtihadi, sedangkan yang ketiga mengatakan bahwa sebagian bersifat tauqifi dan sebagian surah lagi bersifat ijtihadi. Dari ketiga pendapat ini kelihatannya yang paling kuat adalah pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa susunan surah itu bersifat tauqifi. Persoalan yang menarik ialah kaitan antara susunan surah dan atau ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur'an itu tidak selalu sesuai dengan urutan turunnya ayat-ayat itu. Beberapa riwayat menjelaskan hal ini, antara lain ialah QS. An-Nisa/4:51 yang berbunyi:
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”
Ayat ini (serta beberapa ayat sesudahnya) turun mengenai seorang Yahudi Ahli Kitab yaitu Ka'ab Ibn Al-Asyraf. Ia datang ke Mekkah dan menyaksikan korban-korban Perang Badar. Ia lalu menghasut kaum musyrikin Makkah untuk membalas dendam dan memerangi Nabi Muhammad Saw. Ketika orang-orang kafir bertanya: siapakah yang lebih mendapat petunjuk, apakah orang-orang mukmin atau orang-orang kafir, Ka'ab Ibn Al-Asyraf lantas menjawab: Kalian yang lebih mendapat petunjuk. Setelah ayat itu menjelaskan tentang Ka'ab, pada ayat 58 dilanjutkan dengan firman Allah Swt:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Ayat ini turun berkaitan dengan masalah ‘Utsman Ibn Talhah yang turun selang tenggang waktu enam tahun setelah turunnya ayat di atas. Ia adalah pemegang kunci Ka'bah, yaitu ketika Rasulullah Saw. mengambil kunci Ka'bah darinya pada yawm al-Fath, dalam penaklukan kota Makkah. Yang kemudian dikembalikan lagi kepadanya.
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa susunan ayat bersifat tauqifi dengan rentang waktu enam tahun. Para mufassir juga menunjukkan adanya munasabah di antara kedua ayat, yaitu sama-sama menjelaskan kewajiban dalam melaksanakan amanah. Dari peristiwa tersebut menunjukkan bahwa seorang yahudi ahli kitab yang memprovokasi kaum musyrikin telah melanggar amanah sebab pada dasarnya mereka telah mengetahui bahwa kitab Taurat telah mengabarkan akan tanda-tanda kenabian yang cocok pada Nabi Muhammad Saw., tetapi mereka menyembunyikan sebab Nabi bukan dari keturunan Bani Israil.
Sedangkan ayat 158 mengemukakan perintah berlaku amanah dalam segala hal, dan menyerahkan amanah pada orang yang bisa dipercaya. Lebih dari itu, susunan ayat ini menjelaskan bahwa sebab-sebab turunnya ayat tidak mengganggu urutan ayat tersebut, malah akan semakin membuat harmonis susunan ayat ditinjau dari segi munasabahnya.
Berdasarkan contoh diatas menunjukkan bahwa dalam hal menentukan munasabah, urutan turunnya ayat, atau sebab turun yang tidak sejalan, tidak selalu menjadi objek atau bahan pertimbangan untuk menemukan munasabah di dalam al-Qur'an. Dengan kata lain, dalam metode penelitian munasabah, masalah asbab al-nuzul, merupakan salah satu bahan kajian saja dalam melihat munasabah, tetapi sewaktu-waktu dapat saja dikesampingkan, jika disana terlihat adanya munasabah.
C. Cara mengetahui Munasabah
Langkah-langkah yang perlu dilakukan seorang mufassir dalam menemukan munasabah di dalam al-Qur’an, sebagai yang dikemukakan Imam Suyuthi adalah sebagai berikut :
1. Melihat tujuan dan tema dari suatu surah atau ayat tertentu
2. Mencari premis-premis yang diperlukan untuk mendukung tema sentral (dalam contoh kasus sebelumnya, sama-sama berbicara tentang kewajiban melaksanakan amanah)
3. Mengadakan kategorisasi terhadap premis-premis dengan meninjau kaitan antara ayat dengan lainnya
4. Melihat pernyataan-pernyataan yang saling mendukung antara satu dengan lainnya.
Empat langkah tersebut merupakan petunjuk umum saja bagi mereka yang ingin mencari munasabah karena langkah-langkah itu tidak banyak membantu, jika seseorang itu tidak memiliki keahlian yang istimewa dalam masalah apa yang disebut dengan dzaug al-lughawi (rasa bahasa), nalar yang memadai dan kecermatan dalam melihat hubungan antara satu dengan yang lainnya, baik dalam hubungannya antara sesama ayat ataupun antara ayat dan surah dan antara surah dengan surah. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, seorang mufassir dapat melihat hubungan-hubungan yang ada, baik dalam bentuk ‘am dan khas, imjinatif dan fakta-fakta, atau persamaan, pertentangan, atau hubungan sebab akibat yang banyak pula terdapat di dalam al-Qur’an.
Selanjutnya hubungan antara satu dengan lainya terkadang dalam bentuk nyata, seperti hubungan dua kata yang saling bergantung dan saling menyempurnakan, yang biasanya mengambil bentuk ta'kid, memperkuat, tafsir, penafsiran, I’tiradh, menengahi (interupsi) atau badl, mengganti. Hal ini tidak terlalu banyak menyita kesungguhan, tetapi kesulitan akan timbul, jika hubungan-hubungan itu mengambil bentuk yang tidak nyata, yang masing masing ayat tampak seperti berdiri sendiri, lepas dari yang lain. Bentuk-bentuk seperti ini terkadang dihubungkan dengan huruf 'athaf, dan kedua kalimat yang dihubungkan itu menggambarkan tadhad (berlawanan). Terkadang lagi hubungan yang tidak nyata itu menggambarkan al-tanzhir, kemiripan al-mudhadat, berlawanan, al-istidhrad, penjelasan tambahan.
D. Macam-macam Munasabah
Terdapat sekurang-kurangnya tujuh macam munasabah di dalam al-Qur’an yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Munasabah antar surah dengan surah sebelumnya
Menurut As-Suyuthi, munasabah antar-satu surah dengan surah sebelumnya berfungsi menyempurnakan atau menerangkan ungkapan pada surah sebelumnya. Sebagai contoh, ungkapan/direksi dalam surah Al-Fatihah ayat 1 yaitu alhamdulillah. Ungkapan ini memiliki korelasi dengan QS. Al-Baqarah/2:152 dan 186:
Terjemahnya:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”
Terjemahnya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”
Sedangkan ungkapan “rabb al-alamin” dalam surah Al-Fatihah/1:1 memiliki korelasi dengan surah Al-Baqarah/2:21-22:
Terjemannya:
“(21) Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (22). Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”
Surah Al-Baqarah ayat 2 disebutkan ungkapan “Dzalik Al-kitab la raiba fih”. Ungkapan ini memiliki korelasi dengan QS. Ali Imran/3:3:
Terjemahnya:
“Dia menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”
Demikian pula ungkapan “wa ma unzila min qablik” dalam surah Al-Baqarah ayat 4 yang diungkapkan secara global, yaitu dirinci lebih jauh oleh surah Ali Imran ayat 3 diatas.
Terdapat uraian lebih lanjut yang dikemukakan Nasr Abu Zaid tentang munasabah macam ini. la menjelaskan bahwa terdapat hubungan stilistika kebahasaan antara surah Al-Fatihah dengan surah Al-Baqarah. Sementara hubungan-hubungan yang bersifat umum lebih terkait dengan isi dan kandungan. Ihdina Ash-Shirath Al-mustagim, shirath Al-ladzina an'amta alaihim ghair Alma ghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin merupakan hubungan stilistika kebahasaan yang tercermin dalam kenyataan pada akhir surah Al-Fatihah tersebut.
Kemudian, akhir dari surat tersebut mendapatkan jawaban pada permulaan surah Al Baqarah yaitu Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu Ia raiba fihi hudan Ii Al-muttagin. Atas dasar ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa teks tersebut adalah berkesinambungan: “Seolah olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin”.
Selain contoh dari hubungan antara surah Al-Fatihah dan surah Al-Baqarah, terdapat pula hubungan lain misalnya hubungan antara surah Al-Baqarah dengan surah Ali Imran yang lebih mirip dengan hubungan antara “dalil” dengan “keraguan-keraguan akan dalil". Surah Al-Baqarah memiliki posisi sebagai surah yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surah ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surah Ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh". Kaitan antara surah Al-Baqarah dan surah Ali Imran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam interpretasi (ta’wil) yang membatasi kandungan surah Ali Imran pada ayat ketujuh saja.
2. Munasabah antarnama surah dengan tujuan turunnya
Setiap surah memiliki tema atau topik pembicaraan yang menonjol. Hal ini tercermin pada nama surah itu sendiri, seperti surah Al-Fatihah, surah Al-Baqarah surah Yusuf, surah An-Naml, dan surah Ali Imran. Lihatlah firman Allah Swt. dalam QS. Al- Baqarah/2:67-71:
Terjemahnya:
“(67) Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil" (68). Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu" (69) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya". (70) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)" (71) Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya". Mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu”
Cerita tentang lembu betina pada ayat 67-71 dalam surah Al-Baqarah di atas menunjukkan inti pembicaraannya, yakni mengenai kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan kata lain, tujuan surah dan ayat tersebut yakni menyangkut kekuasaan Tuhan serta keimanan kepada hari kemudian.
3. Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antar-bagian surah sering berpola perlawanan atau munasabah Al-Hadhadat seperti dalam QS. Al-Hadid:57/4 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
Antara kata yajilu (masuk) dengan kata yakhruju (keluar), serta kata yanzilu (turun) dengan kata ya’ruju (naik) terdapat korelasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kata Al-adzab dan Ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman.
Munasabah seperti inilah yang dapat dijumpai dalam surah Al-Baqarah, surah Al- Mai’dah dan An-Nisa.
4. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar-ayat yang letaknya berdampingan sering kali dapat terlihat dengan jelas, namun sering pula tidak jelas. Munasabah anta-rayat yang terlihat dengan jelas pada umumnya menggunakan pola penguat (ta’kid), penjelas (tafsir), bantahan (I’tiradh), dan penegasan (tasydid). Munasabah antar-ayat yang menggunakan pola penguat (ta’kid) yaitu apabila salah satu ayat atau bagian dari ayat tersebut memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah QS. Al-Fatihah/1:1-2:
Terjemahnya:
“(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(2). Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”
Ungkapan rabb al-‘alamin pada ayat kedua berfungsi memperkuat kata alrahman dan kata Ar-rahim pada ayat pertama surah Al-Fatihah. Munasabah antarayat menggunakan pola penjelas (tafsir), yakni apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat yang berada di sampingnya. Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah/2:2-3:
Terjemahnya:
“(2) Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (3) (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
Makna dari muttaqin pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, dapa dimaknai bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang meyakini hal-hal yang gaib, mengerjakan perintah shalat, dan seterusnya. Munasabah antara ayat menggunakan pola bantahan (I’tiradh) apabila terletak satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam struktur kalimat (I’rab), baik di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya atau di pertengahan kalimat.
Contohnya firman Allah Swt pada QS. An-Nahl/16:57:
Terjemahnya:
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki laki)”
Kata subhanahu pada ayat di atas merupakan bentuk I’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.
Adapun munasabah anta-rayat menggunakan pola penegasan (tasydid) yaitu jika satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat lain yang terletak di sampingnya. Contohnya firman Allah dalam QS. Al-Fatihah/1:6-7:
Terjemahnya:
“(6) Tunjukilah kami jalan yang lurus (7) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
Ungkapan Shirathalladzina....mempertegas ungkapan Ash-shirath Almustaqim pada ayat 6, di antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf langsung (athaf) dan terkadang pula tidak diperkuat olehnya (tidak langsung). Munasabah antar-ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui hubungan makna (gara'in ma nawiyyah) yang terlihat dalam empat pola munasabah: perbandingan (At-tanzir), perlawanan (Al mudhadat), penjelasan lebih lanjut (istithrad) dan perpindahan (At-takhallush). Munasabah yang berpolakan perbandinga (At-tanzir) terlihat pada adanya perbandingan antara ayat ayat yang saling berdampingan. Contohnya firman Allah pada QS. Al-Anfal/8:4-5:
Terjemahnya:
“(4) Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (5) Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”
Pada ayat keempat, Allah memerintahkan agar tetap keluar dari rumah untuk berperang. Sementara, pada ayat kelima, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar terus melaksanakan perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Munasabah antar-kedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan mereka untuk berperang dan ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan rasul. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat kemenangan, keberuntungan, ghanimah, dan kejayaan Islam. Munasabah yang berpolakan perlawanan (Al-mudhadat) terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat dengan makna yang lain yang berdampingan. Dalam QS. Al-Baqarah/2:6, misalnya terdapat ungkapan:
Terjemahnya:
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman”
Ayat ini pada dasarnya berbicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap suatu peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak orang-orang mukmin. Munasabah yang berpolakan penjelasan lebih lanjut (istithradh) terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu ayat. Misalnya dalam QS. Al-A'raf/7:26 diungkapkan bahwa:
Terjemahnya:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tandatanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”
Ayat ini turun setelah peristiwa terbukanya aurat Adam-Hawa dan mereka menutupnya dengan daun. Hubungan ini menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia Allah, sedangkan terbuka aurat dan telanjang merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya merupakan bagian dari ketakwaan.
Selanjutnya, pola munasabah takhallush (perpindahan) terlihat pada perpindahan maksud dari awal pembicaraan secara halus. Misalnya, dalam surah Al-Araf, mula-mula Allah berbicara tentang para nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutnya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surah Al-Baqarah ayat 1-20, Allah Swt. memulai penjelasan-Nya tentang suatu kebenaran dan fungsi dari kitab suci Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya diuraikan lebih lanjut tiga kelompok manusia beserta sifat sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu golongan mukmin, kafir, dan sifat munafik.
6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan-tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnya, dalam QS. Al-Ahzab/33:25 diungkapkan sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”33 Pada ayat ini, Allah Swt. menghindarkan dan melindungi orang-orang mukmin dari peperangan, hal ini tidak menunjukkan kelemahan, melainkan karena Allah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah di antara kedua penggalan ayat tersebut dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi sempurna dan lurus. Selain itu, tujuan lain dari fashilah tersebut adalah untuk memberikan penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenarnya, makna ayat tersebut sudah jelas. Misalnya dalam QS. An-Naml/27:80:
Terjemahnya:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”
Kalimat “idza wallau mudbirin” menunjukkan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli yang dimaksud.
7. Munasabah antar awal surah dengan akhir surah yang sama
As-Suyutji telah mengbuat sebuah buku yang berjudul marasid Al-Mathali fi Tanasub Al Maqati’ wa Al-Mathali’ untuk menjelaskan munasabah jenis ini. Contoh munasabah jinis ini, terdapat dalam surah Al-Gashas (surah ke-28) yang diawali dengan menjelaskan tentang perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolongan Allah Swt., Nabi Musa kala itu berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surah tersebut, Allah Swt. menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad Saw. yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan Allah menjanjikan kemenangan. Kemudian, di awal surah dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Sehingga, munasabah terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8. Munasabah antar-penutup suatu surah dengan awal surah berikutnya
Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surah, akan dijumpai munasabah dengan akhir surah sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan QS. Al-Hadid/57:1 dimulai dengan tasbih:
Terjemahnya:
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surah sebelumnya, QS. Alwaqiah/56:96 Kemudian, permulaan QS. Al-Baqarah/2:1-2:
Terjemahnya:
“(1) Alif laam miim (2) Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
Ayat ini berkorelasi (munasabah) dengan akhir surah Al-Fatihah/1:7 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
E. Urgensi dan kegunaan mempelajari Munasabah
A. Latar Belakang
Teori tentang korelasi (munasabah) lahir berawal dari kenyataan bahwa sistematika al-Qur’an tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya al-Qur’an melainkan susunan yang terdapat dalam mushaf Usmani. Berdasarkan fakta tersebut, ulama salaf nampaknya memiliki perbedaan pendapat tentang urutan surah di dalam al-Qur’an. Kelompok pertama berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi Nabi Saw (didukung oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar).
Sedangkan, kelompok lainnya berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada ijtihad para sahabat setelah bersama-sama sepakat dan memastikan bahwasanya susunan ayat-ayat di dalam al-Quran adalah tauqifi (didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris). Kelompok ketiga pun berpendapat serupa dengan kelompok pertama, kecuali surah Al-Anfal dan Bara'ah (At-Taubah) yang dipandang bersifat ijtihadi (didukung oleh Al-Baihaqi).
Adanya perbedaan pendapat ini salah satunya disebabkan adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan surahnya. Ada yang menyusun mushaf berdasarkan konologis turunnya (mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra', kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya). Adapun mushaf Ibn Mas'ud dimulai dengan surah Al-Baqarah (2), An-Nisa' (4), lalu surah Ali ‘Imran (3).
Atas dasar perbedaan pendapat tersebut, maka wajar jika masalah teori munasabah al-Qur’an ini kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni Ulumul Qur’an. Namun terlepas dari semua itu, para ulama tetap meyakini bahwa Ilmu munasabah Al-Qur’an adalah salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an itu sendiri, hal ini berdasarkan pemahaman mereka akan firman Allah dalam QS. Hud/11:1 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”
Berdasarkan pemahaman ini, maka para ulama al-Qur’an memasukkan ilmu munasabah, yaitu pengetahuan tentang keterkaitan, hubungan antar ayat dan surah dalam al-Qur’an sebagai bagian dari Ulumul Qur’an. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa sebelum menjelaskan atau menafsirkan sesuatu ayat, seorang mufassir selain menunjukkan asbab an-nuzul agar terlebih dahulu juga menunjukkan hubungan antara ayat tersebut dengan ayat sebelumnya. Demikian juga halnya dalam membicarakan suatu surah dalam al-Qur’an.
Keyakinan terhadap munasabah yang ada dalam al-Qur’an dikuatkan pula dengan adanya kesepakatan ulama bahwa susunan ayat-ayatnya bersifat tauqifi4,
sesuai petunjuk Nabi SAW. Bahkan dapat dikatakan sebaliknya yaitu adanya
kesepakatan tentang tauqifi dari susunan ayat-ayat itu sendiri yang merupakan
landasan yang kuat untuk membangun teori tentang adanya munasabah di dalam
al-Qur’an. Pernyataan terakhir ini seolah memandang bahwa munasabah itu
merupakan sesuatu yang Ijtihadi, dan dengan demikian membuka peluang untuk
terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka permasalahan yang menjadi bahan kajian dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Munasabah ?
2. Bagaimana sifat susunan ayat al-Qur’an dalam kajian Munasabah ?
3. Bagaimana cara mengetahui Munasabah ?
4. Apa saja macam-macam Munasabah ?
5. Apa urgensi dan kegunaan mempelajari Munasabah ?
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Munasabah
Kata munasabah secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata nasaba yang berarti dekat. Menurut As-Suyuthi munasabah berarti almusyakalah (keserupaan) dan al muqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi sendiri memberikan contoh seperti fulan yunasibu fulan, hal ini berarti bahwa si A mempunyai hubungan yang dekat dengan si B dan menyerupainya. Dari kata itu, lahir pula kata “an-nasab,” yang berarti kerabat yang mempunyai hubungan seperti dua orang bersaudara dan putra paman. Istilah munasabah digunakan dalam 'illat dalam bab qiyas, dan berarti Al-wasf Al-muqarib Ii Al-hukm (gambaran yang berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian).
Sedangkan pengertian munasabah menurut terminologi, dapat dijelaskan berdasarkan pendapat ulama Ulumul Qur’an sebagai berikut:
1. Menurut Manna’ Al-Qaththan:
Artinya:
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada beberapa ayat, atau antara surah (di dalam Al-Qur’an)
2. Menurut Ibn Al-‘Arabi:
Artinya:
Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung.
3. Menurut Al-Biqa’i
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surah dengan surah.
Munasabah dalam konteks Ulum Al-Qur’an menjelaskan korelasi makna antar-ayat atau antar-surah, baik korelasi itu bersifat umum maupun bersifat khusus: ‘aqli (rasional), hassiy (persepsi), atau khayali (imajinatif), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma'lul, perlawanan dan perbandingan10Abu Ja’far Ibn Zubayr adalah ulama yang pertama kali menulis munasabah secara tersendiri, beliau adalah guru dari Abu Hayyan, kemudian setelah itu disusul oleh Imam Fakhr al-Din al-Razi. Akan tetapi, imam Fakhr al-Din adalah ulama yang paling banyak mengemukakan munasabah dalam penafsiran al-Qur’an menurut Imam al-Zarkaysi.
Meskipun Abu Ja'far adalah ulama pertama yang menulis secara terpisah, namun yang mula-mula memperkenalkan ilmu ini di Baghdad yang sebelumnya tidak ada yang membicarakannya adalah Imam Abu Bakr al-Naisaburi (w.324 H.). Ulama yang membahas tentang munasabah al-Qur’an secara lengkap adalah Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa'i (w.885 H./1480 M.) dalam kitabnya yang berjudul Nazhm Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat Wa As-Suwar.
Sedikit ulama yang membahas persoalan munasabah ini karena ilmu ini dianggap sebagai ilmu yang sulit dan rumit dibanding dengan cabang-cabang ulum al-Qur'an yang lain. Adapula yang memandang bahwa munasabah tidak mesti ada pada semua ayat dalam al-Qur’an, karena penemuan terhadap munasabah memang masalah ijtihadiyah artinya, tidaklah semua bentuk munasabah harus terdapat dalam al-Qur’an. Imam ‘izz Al-Din Ibn Abd Al-Salam (w.660 H.) misalnya, mengatakan bahwa munasabah merupakan cabang ilmu yang baik, tetapi untuk menentukan bahwa adanya hubungan dan jalinan di antara ayat-ayat itu hendaknya berada di dalam suatu konteks masalah atau tema yang sama. Jika terjadi pembicaraan atau ungkapan karena sebab-sebab yang berbeda, tidaklah mesti ada munasabah antara satu dengan yang lainnya. Orang-orang yang berusaha juga mencari hubungan diantara kalimat-kalimat yang berbeda sebab turunnya atau berbeda konteks pembicaraannya, sebenarnva ia, menurut ‘Izz Al-Din menyusahkan dirinya sendiri.
Alasan yang dikemukakannya ialah, al-Qur’an turun dalam rentang waktu yang begitu panjang dengan sebab yang berbeda-beda dan hukum yang berbeda-beda pula, maka wajar saja jika ketersusunan dan hubungan antara yang berbeda-beda itu tidak terjadi.
B. Sifat Susunan ayat-ayat al-Qur’an dalam kajian Munasabah
Mayoritas ulama sepakat bahwa susunan ayat-ayat di dalam kita suci al-Qur’an bersifat tauqifi, hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang ada tentang susunan ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan terhadap susunan surah-surahnya, terdapat tiga pendapat : yang pertama mengatakan hal itu bersifat tauqifi, kedua mengatakan ia bersifat ijtihadi, sedangkan yang ketiga mengatakan bahwa sebagian bersifat tauqifi dan sebagian surah lagi bersifat ijtihadi. Dari ketiga pendapat ini kelihatannya yang paling kuat adalah pendapat Jumhur ulama yang mengatakan bahwa susunan surah itu bersifat tauqifi. Persoalan yang menarik ialah kaitan antara susunan surah dan atau ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur'an itu tidak selalu sesuai dengan urutan turunnya ayat-ayat itu. Beberapa riwayat menjelaskan hal ini, antara lain ialah QS. An-Nisa/4:51 yang berbunyi:
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”
Ayat ini (serta beberapa ayat sesudahnya) turun mengenai seorang Yahudi Ahli Kitab yaitu Ka'ab Ibn Al-Asyraf. Ia datang ke Mekkah dan menyaksikan korban-korban Perang Badar. Ia lalu menghasut kaum musyrikin Makkah untuk membalas dendam dan memerangi Nabi Muhammad Saw. Ketika orang-orang kafir bertanya: siapakah yang lebih mendapat petunjuk, apakah orang-orang mukmin atau orang-orang kafir, Ka'ab Ibn Al-Asyraf lantas menjawab: Kalian yang lebih mendapat petunjuk. Setelah ayat itu menjelaskan tentang Ka'ab, pada ayat 58 dilanjutkan dengan firman Allah Swt:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Ayat ini turun berkaitan dengan masalah ‘Utsman Ibn Talhah yang turun selang tenggang waktu enam tahun setelah turunnya ayat di atas. Ia adalah pemegang kunci Ka'bah, yaitu ketika Rasulullah Saw. mengambil kunci Ka'bah darinya pada yawm al-Fath, dalam penaklukan kota Makkah. Yang kemudian dikembalikan lagi kepadanya.
Peristiwa tersebut membuktikan bahwa susunan ayat bersifat tauqifi dengan rentang waktu enam tahun. Para mufassir juga menunjukkan adanya munasabah di antara kedua ayat, yaitu sama-sama menjelaskan kewajiban dalam melaksanakan amanah. Dari peristiwa tersebut menunjukkan bahwa seorang yahudi ahli kitab yang memprovokasi kaum musyrikin telah melanggar amanah sebab pada dasarnya mereka telah mengetahui bahwa kitab Taurat telah mengabarkan akan tanda-tanda kenabian yang cocok pada Nabi Muhammad Saw., tetapi mereka menyembunyikan sebab Nabi bukan dari keturunan Bani Israil.
Sedangkan ayat 158 mengemukakan perintah berlaku amanah dalam segala hal, dan menyerahkan amanah pada orang yang bisa dipercaya. Lebih dari itu, susunan ayat ini menjelaskan bahwa sebab-sebab turunnya ayat tidak mengganggu urutan ayat tersebut, malah akan semakin membuat harmonis susunan ayat ditinjau dari segi munasabahnya.
Berdasarkan contoh diatas menunjukkan bahwa dalam hal menentukan munasabah, urutan turunnya ayat, atau sebab turun yang tidak sejalan, tidak selalu menjadi objek atau bahan pertimbangan untuk menemukan munasabah di dalam al-Qur'an. Dengan kata lain, dalam metode penelitian munasabah, masalah asbab al-nuzul, merupakan salah satu bahan kajian saja dalam melihat munasabah, tetapi sewaktu-waktu dapat saja dikesampingkan, jika disana terlihat adanya munasabah.
C. Cara mengetahui Munasabah
Langkah-langkah yang perlu dilakukan seorang mufassir dalam menemukan munasabah di dalam al-Qur’an, sebagai yang dikemukakan Imam Suyuthi adalah sebagai berikut :
1. Melihat tujuan dan tema dari suatu surah atau ayat tertentu
2. Mencari premis-premis yang diperlukan untuk mendukung tema sentral (dalam contoh kasus sebelumnya, sama-sama berbicara tentang kewajiban melaksanakan amanah)
3. Mengadakan kategorisasi terhadap premis-premis dengan meninjau kaitan antara ayat dengan lainnya
4. Melihat pernyataan-pernyataan yang saling mendukung antara satu dengan lainnya.
Empat langkah tersebut merupakan petunjuk umum saja bagi mereka yang ingin mencari munasabah karena langkah-langkah itu tidak banyak membantu, jika seseorang itu tidak memiliki keahlian yang istimewa dalam masalah apa yang disebut dengan dzaug al-lughawi (rasa bahasa), nalar yang memadai dan kecermatan dalam melihat hubungan antara satu dengan yang lainnya, baik dalam hubungannya antara sesama ayat ataupun antara ayat dan surah dan antara surah dengan surah. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, seorang mufassir dapat melihat hubungan-hubungan yang ada, baik dalam bentuk ‘am dan khas, imjinatif dan fakta-fakta, atau persamaan, pertentangan, atau hubungan sebab akibat yang banyak pula terdapat di dalam al-Qur’an.
Selanjutnya hubungan antara satu dengan lainya terkadang dalam bentuk nyata, seperti hubungan dua kata yang saling bergantung dan saling menyempurnakan, yang biasanya mengambil bentuk ta'kid, memperkuat, tafsir, penafsiran, I’tiradh, menengahi (interupsi) atau badl, mengganti. Hal ini tidak terlalu banyak menyita kesungguhan, tetapi kesulitan akan timbul, jika hubungan-hubungan itu mengambil bentuk yang tidak nyata, yang masing masing ayat tampak seperti berdiri sendiri, lepas dari yang lain. Bentuk-bentuk seperti ini terkadang dihubungkan dengan huruf 'athaf, dan kedua kalimat yang dihubungkan itu menggambarkan tadhad (berlawanan). Terkadang lagi hubungan yang tidak nyata itu menggambarkan al-tanzhir, kemiripan al-mudhadat, berlawanan, al-istidhrad, penjelasan tambahan.
D. Macam-macam Munasabah
Terdapat sekurang-kurangnya tujuh macam munasabah di dalam al-Qur’an yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Munasabah antar surah dengan surah sebelumnya
Menurut As-Suyuthi, munasabah antar-satu surah dengan surah sebelumnya berfungsi menyempurnakan atau menerangkan ungkapan pada surah sebelumnya. Sebagai contoh, ungkapan/direksi dalam surah Al-Fatihah ayat 1 yaitu alhamdulillah. Ungkapan ini memiliki korelasi dengan QS. Al-Baqarah/2:152 dan 186:
Terjemahnya:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”
Terjemahnya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”
Sedangkan ungkapan “rabb al-alamin” dalam surah Al-Fatihah/1:1 memiliki korelasi dengan surah Al-Baqarah/2:21-22:
Terjemannya:
“(21) Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (22). Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”
Surah Al-Baqarah ayat 2 disebutkan ungkapan “Dzalik Al-kitab la raiba fih”. Ungkapan ini memiliki korelasi dengan QS. Ali Imran/3:3:
Terjemahnya:
“Dia menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”
Demikian pula ungkapan “wa ma unzila min qablik” dalam surah Al-Baqarah ayat 4 yang diungkapkan secara global, yaitu dirinci lebih jauh oleh surah Ali Imran ayat 3 diatas.
Terdapat uraian lebih lanjut yang dikemukakan Nasr Abu Zaid tentang munasabah macam ini. la menjelaskan bahwa terdapat hubungan stilistika kebahasaan antara surah Al-Fatihah dengan surah Al-Baqarah. Sementara hubungan-hubungan yang bersifat umum lebih terkait dengan isi dan kandungan. Ihdina Ash-Shirath Al-mustagim, shirath Al-ladzina an'amta alaihim ghair Alma ghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin merupakan hubungan stilistika kebahasaan yang tercermin dalam kenyataan pada akhir surah Al-Fatihah tersebut.
Kemudian, akhir dari surat tersebut mendapatkan jawaban pada permulaan surah Al Baqarah yaitu Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu Ia raiba fihi hudan Ii Al-muttagin. Atas dasar ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa teks tersebut adalah berkesinambungan: “Seolah olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin”.
Selain contoh dari hubungan antara surah Al-Fatihah dan surah Al-Baqarah, terdapat pula hubungan lain misalnya hubungan antara surah Al-Baqarah dengan surah Ali Imran yang lebih mirip dengan hubungan antara “dalil” dengan “keraguan-keraguan akan dalil". Surah Al-Baqarah memiliki posisi sebagai surah yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surah ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surah Ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh". Kaitan antara surah Al-Baqarah dan surah Ali Imran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam interpretasi (ta’wil) yang membatasi kandungan surah Ali Imran pada ayat ketujuh saja.
2. Munasabah antarnama surah dengan tujuan turunnya
Setiap surah memiliki tema atau topik pembicaraan yang menonjol. Hal ini tercermin pada nama surah itu sendiri, seperti surah Al-Fatihah, surah Al-Baqarah surah Yusuf, surah An-Naml, dan surah Ali Imran. Lihatlah firman Allah Swt. dalam QS. Al- Baqarah/2:67-71:
Terjemahnya:
“(67) Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil" (68). Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami; sapi betina apakah itu". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu" (69) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya". (70) Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)" (71) Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya". Mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu”
Cerita tentang lembu betina pada ayat 67-71 dalam surah Al-Baqarah di atas menunjukkan inti pembicaraannya, yakni mengenai kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan kata lain, tujuan surah dan ayat tersebut yakni menyangkut kekuasaan Tuhan serta keimanan kepada hari kemudian.
3. Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antar-bagian surah sering berpola perlawanan atau munasabah Al-Hadhadat seperti dalam QS. Al-Hadid:57/4 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
Antara kata yajilu (masuk) dengan kata yakhruju (keluar), serta kata yanzilu (turun) dengan kata ya’ruju (naik) terdapat korelasi perlawanan. Contoh lainnya adalah kata Al-adzab dan Ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman.
Munasabah seperti inilah yang dapat dijumpai dalam surah Al-Baqarah, surah Al- Mai’dah dan An-Nisa.
4. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar-ayat yang letaknya berdampingan sering kali dapat terlihat dengan jelas, namun sering pula tidak jelas. Munasabah anta-rayat yang terlihat dengan jelas pada umumnya menggunakan pola penguat (ta’kid), penjelas (tafsir), bantahan (I’tiradh), dan penegasan (tasydid). Munasabah antar-ayat yang menggunakan pola penguat (ta’kid) yaitu apabila salah satu ayat atau bagian dari ayat tersebut memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah QS. Al-Fatihah/1:1-2:
Terjemahnya:
“(1) Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
(2). Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”
Ungkapan rabb al-‘alamin pada ayat kedua berfungsi memperkuat kata alrahman dan kata Ar-rahim pada ayat pertama surah Al-Fatihah. Munasabah antarayat menggunakan pola penjelas (tafsir), yakni apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat atau bagian ayat yang berada di sampingnya. Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah/2:2-3:
Terjemahnya:
“(2) Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (3) (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
Makna dari muttaqin pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, dapa dimaknai bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang meyakini hal-hal yang gaib, mengerjakan perintah shalat, dan seterusnya. Munasabah antara ayat menggunakan pola bantahan (I’tiradh) apabila terletak satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam struktur kalimat (I’rab), baik di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya atau di pertengahan kalimat.
Contohnya firman Allah Swt pada QS. An-Nahl/16:57:
Terjemahnya:
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki laki)”
Kata subhanahu pada ayat di atas merupakan bentuk I’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.
Adapun munasabah anta-rayat menggunakan pola penegasan (tasydid) yaitu jika satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat lain yang terletak di sampingnya. Contohnya firman Allah dalam QS. Al-Fatihah/1:6-7:
Terjemahnya:
“(6) Tunjukilah kami jalan yang lurus (7) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
Ungkapan Shirathalladzina....mempertegas ungkapan Ash-shirath Almustaqim pada ayat 6, di antara kedua ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf langsung (athaf) dan terkadang pula tidak diperkuat olehnya (tidak langsung). Munasabah antar-ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui hubungan makna (gara'in ma nawiyyah) yang terlihat dalam empat pola munasabah: perbandingan (At-tanzir), perlawanan (Al mudhadat), penjelasan lebih lanjut (istithrad) dan perpindahan (At-takhallush). Munasabah yang berpolakan perbandinga (At-tanzir) terlihat pada adanya perbandingan antara ayat ayat yang saling berdampingan. Contohnya firman Allah pada QS. Al-Anfal/8:4-5:
Terjemahnya:
“(4) Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (5) Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya”
Pada ayat keempat, Allah memerintahkan agar tetap keluar dari rumah untuk berperang. Sementara, pada ayat kelima, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar terus melaksanakan perintah-Nya meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Munasabah antar-kedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan mereka untuk berperang dan ketidaksukaan para sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan rasul. Padahal, sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat kemenangan, keberuntungan, ghanimah, dan kejayaan Islam. Munasabah yang berpolakan perlawanan (Al-mudhadat) terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat dengan makna yang lain yang berdampingan. Dalam QS. Al-Baqarah/2:6, misalnya terdapat ungkapan:
Terjemahnya:
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman”
Ayat ini pada dasarnya berbicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap suatu peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak orang-orang mukmin. Munasabah yang berpolakan penjelasan lebih lanjut (istithradh) terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu ayat. Misalnya dalam QS. Al-A'raf/7:26 diungkapkan bahwa:
Terjemahnya:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tandatanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”
Ayat ini turun setelah peristiwa terbukanya aurat Adam-Hawa dan mereka menutupnya dengan daun. Hubungan ini menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan karunia Allah, sedangkan terbuka aurat dan telanjang merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya merupakan bagian dari ketakwaan.
Selanjutnya, pola munasabah takhallush (perpindahan) terlihat pada perpindahan maksud dari awal pembicaraan secara halus. Misalnya, dalam surah Al-Araf, mula-mula Allah berbicara tentang para nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan para pengikutnya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam surah Al-Baqarah ayat 1-20, Allah Swt. memulai penjelasan-Nya tentang suatu kebenaran dan fungsi dari kitab suci Al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya diuraikan lebih lanjut tiga kelompok manusia beserta sifat sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu golongan mukmin, kafir, dan sifat munafik.
6. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Macam munasabah ini mengandung tujuan-tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnya, dalam QS. Al-Ahzab/33:25 diungkapkan sebagai berikut:
Terjemahnya:
“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”33 Pada ayat ini, Allah Swt. menghindarkan dan melindungi orang-orang mukmin dari peperangan, hal ini tidak menunjukkan kelemahan, melainkan karena Allah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah di antara kedua penggalan ayat tersebut dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi sempurna dan lurus. Selain itu, tujuan lain dari fashilah tersebut adalah untuk memberikan penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenarnya, makna ayat tersebut sudah jelas. Misalnya dalam QS. An-Naml/27:80:
Terjemahnya:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang”
Kalimat “idza wallau mudbirin” menunjukkan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli yang dimaksud.
7. Munasabah antar awal surah dengan akhir surah yang sama
As-Suyutji telah mengbuat sebuah buku yang berjudul marasid Al-Mathali fi Tanasub Al Maqati’ wa Al-Mathali’ untuk menjelaskan munasabah jenis ini. Contoh munasabah jinis ini, terdapat dalam surah Al-Gashas (surah ke-28) yang diawali dengan menjelaskan tentang perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolongan Allah Swt., Nabi Musa kala itu berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surah tersebut, Allah Swt. menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad Saw. yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan Allah menjanjikan kemenangan. Kemudian, di awal surah dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Sehingga, munasabah terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8. Munasabah antar-penutup suatu surah dengan awal surah berikutnya
Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surah, akan dijumpai munasabah dengan akhir surah sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan QS. Al-Hadid/57:1 dimulai dengan tasbih:
Terjemahnya:
“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surah sebelumnya, QS. Alwaqiah/56:96 Kemudian, permulaan QS. Al-Baqarah/2:1-2:
Terjemahnya:
“(1) Alif laam miim (2) Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”
Ayat ini berkorelasi (munasabah) dengan akhir surah Al-Fatihah/1:7 sebagai berikut:
Terjemahnya:
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”
E. Urgensi dan kegunaan mempelajari Munasabah
Kajian tentang munasabah sangat penting dalam penafsiran al-Qur’an yang berfungsi untuk menunjukkan keserasian antara satu surah dengan surah berikutnya, keserasian antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat, dan juga keserasian antara satu ayat dengan ayat berikutnya. Ketika kita menemukan ayat-ayat yang nampaknya tidak punya kaitan sama sekali, sebagian orang yang tidak memahami munasabah akan langsung mempertanyakan kenapa penyajian al-Qur'an melompat-lompat dari satu tema ke tema yang lain atau dari satu masalah ke masalah lain secara tidak sistematis. Setelah mengetahui munasabah, orang menyadari betapa al-Qur'an tersusun dengan sangat serasi dan sistematis, tetapi tentu saja sangat berbeda dengan sistematika penyusunan dan penulisan bukubuku serta karya ilmiah buatan manusia saat ini.
Menurut al-Suyuti, ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat penting dalam proses penafsiran al-Qur'an, namun hanya sedikit di antara para mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini dinilai sangat memerlukan ketelitian dan kejelian bagi orang menafsirkan al-Qur’an. Di antara mufassir yang banyak memberikan perhatian terhadap ilmu munasabah adalah Imam Fakhruddin al-Razi.
Menurut Al-Razi bahwa sebagian besar rahasia yang tersembunyi dari al-Qur'an tersimpan dalam persoalan urutan surah dan ayat serta kaitan antara satu dengan yang lainnya. Khusus tentang Surah al-Baqarah misalnya, al-Razi menyatakan bahwa siapa saja yang memperhatikan rahasia susunan ayat-ayat dalam surah ini akan mengetahui bahwa al-Qur'an, tidak hanya mukjizat dari segi kefasihan lafal-lafal dan kehebatan isinya, namun juga mukjizat dari segi susunan surah dan ayat-ayatnya.
Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an yang diturunkan dalam jangka waktu 20 tahun lebih yang mengandung bearmacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, sehingga tidak perlu mencari asbab Nuzulnya, sebab pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa lebih utama mengemukakan munasabah jika tidak terdapat asbab An-Nuzul.
Adapun kegunaan mempelajari Ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
Contohnya terhadap firman Allah dalam surah Al-Baqarah/2:189:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”
Orang yang membaca ayat tersebut pasti akan bertanya: Apakah hubungan atau korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi suatu rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zarkasy menjelaskan: “Sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.”
2. Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara kalimat atau antar-ayat maupun antar-surah, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat mengetahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surah yang satu dari yang lain.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antarayat atau antarsurah, baik korelasi itu bersifat umum maupun bersifat khusus: 'aqli (rasional), hassiy (persepsi), atau khayali (imajinatif), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma'lul, perlawanan dan perbandingan. Jenis munasabah terdiri atas 8 bentuk yaitu: Munasabah antar-surah dengan surah sebelumnya, Munasabah antar-nama surah dengan tujuan turunnya, Munasabah antar-bagian suatu ayat, Munasabah antar-ayat yang letaknya berdampingan, Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya, Munasabah antar-fashilah (pemisah) dan isi ayat, Munasabah antar-awal surah dengan akhir surah yang sama dan Munasabah antar-penutup suatu surah dengan awal surah berikutnya.
ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat penting dalam proses penafsiran al-Qur'an, namun hanya sedikit di antara para mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini dinilai sangat memerlukan ketelitian dan kejelian bagi orang menafsirkan al-Qur’an. Melalui munasabah, kita dapat mengketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimatkalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surah yang satu dari yang lain. Selain itu, munasabah dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Achmad, La Ode Ismail Ahmad, and Yusuf Assagaf, ‘Ulumul Qur’an : Pisau Analisis Dalam Menafsirkan Al-Qur’an - Repositori UIN Alauddin Makassar’, Semesta Aksara, 2019
Al-Biqa’I, Imam Burhanuddin Abu, Nazhm Ad-Durar Fi Tanasub Al-Ayat Wa As- Suwar, Jilid I (India: Majlis Da’irah Al-Ma’arif An-Nu’maniyah bi Haiderab, 1969)
Al-Qaththan, Manna’, ‘Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’An’, Riyadh: Mansyurat Al- ‘Ashr Al-Hadits, 1973
Al-Suyuthi, Jalaluddin, ‘Al-Itqan Fi Ulum Al-Quran’, Beirut: Dâr Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, 1407 (1979) al-Suyuti, Jalal al-Din, ‘Asrar Tartib Al-Qur’an’, Cairo: Dar Al-Ictisam, 1976
Al-Zarkasyi, Badruddin, ‘Al-Burhân Fî ‘Ulûm Al-Qur’Ân’, Mesir: Dâr Ihyâ Al- Kutub Al-‘Arabiyyah, 1957
Republik Indonesia, Kementerian Agama, Bukhara: Al-Qur’an Tajwid Dan Terjemah (Bandung: Syamil Quran, 2004)
Shalih, Subhi, ‘Mabâhits Fî ‘Ulûm Al-Qur’Ân’, Beirut: Darul Qalam Al-Malayin, 1977
Menurut al-Suyuti, ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat penting dalam proses penafsiran al-Qur'an, namun hanya sedikit di antara para mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini dinilai sangat memerlukan ketelitian dan kejelian bagi orang menafsirkan al-Qur’an. Di antara mufassir yang banyak memberikan perhatian terhadap ilmu munasabah adalah Imam Fakhruddin al-Razi.
Menurut Al-Razi bahwa sebagian besar rahasia yang tersembunyi dari al-Qur'an tersimpan dalam persoalan urutan surah dan ayat serta kaitan antara satu dengan yang lainnya. Khusus tentang Surah al-Baqarah misalnya, al-Razi menyatakan bahwa siapa saja yang memperhatikan rahasia susunan ayat-ayat dalam surah ini akan mengetahui bahwa al-Qur'an, tidak hanya mukjizat dari segi kefasihan lafal-lafal dan kehebatan isinya, namun juga mukjizat dari segi susunan surah dan ayat-ayatnya.
Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an yang diturunkan dalam jangka waktu 20 tahun lebih yang mengandung bearmacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, sehingga tidak perlu mencari asbab Nuzulnya, sebab pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa lebih utama mengemukakan munasabah jika tidak terdapat asbab An-Nuzul.
Adapun kegunaan mempelajari Ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.
Contohnya terhadap firman Allah dalam surah Al-Baqarah/2:189:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”
Orang yang membaca ayat tersebut pasti akan bertanya: Apakah hubungan atau korelasi antara pembicaraan bulan sabit dengan pembicaraan mendatangi suatu rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua pembicaraan itu, Az-Zarkasy menjelaskan: “Sudah diketahui bahwa ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikanlah sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan merupakan sebuah kebaikan.”
2. Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian al-Qur’an, baik antara kalimat atau antar-ayat maupun antar-surah, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat mengetahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surah yang satu dari yang lain.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antarayat atau antarsurah, baik korelasi itu bersifat umum maupun bersifat khusus: 'aqli (rasional), hassiy (persepsi), atau khayali (imajinatif), atau korelasi berupa sebab-akibat, ‘illat dan ma'lul, perlawanan dan perbandingan. Jenis munasabah terdiri atas 8 bentuk yaitu: Munasabah antar-surah dengan surah sebelumnya, Munasabah antar-nama surah dengan tujuan turunnya, Munasabah antar-bagian suatu ayat, Munasabah antar-ayat yang letaknya berdampingan, Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya, Munasabah antar-fashilah (pemisah) dan isi ayat, Munasabah antar-awal surah dengan akhir surah yang sama dan Munasabah antar-penutup suatu surah dengan awal surah berikutnya.
ilmu munasabah adalah ilmu yang sangat penting dalam proses penafsiran al-Qur'an, namun hanya sedikit di antara para mufassir yang memberikan perhatiannya karena ilmu ini dinilai sangat memerlukan ketelitian dan kejelian bagi orang menafsirkan al-Qur’an. Melalui munasabah, kita dapat mengketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimatkalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surah yang satu dari yang lain. Selain itu, munasabah dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Achmad, La Ode Ismail Ahmad, and Yusuf Assagaf, ‘Ulumul Qur’an : Pisau Analisis Dalam Menafsirkan Al-Qur’an - Repositori UIN Alauddin Makassar’, Semesta Aksara, 2019
Al-Biqa’I, Imam Burhanuddin Abu, Nazhm Ad-Durar Fi Tanasub Al-Ayat Wa As- Suwar, Jilid I (India: Majlis Da’irah Al-Ma’arif An-Nu’maniyah bi Haiderab, 1969)
Al-Qaththan, Manna’, ‘Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’An’, Riyadh: Mansyurat Al- ‘Ashr Al-Hadits, 1973
Al-Suyuthi, Jalaluddin, ‘Al-Itqan Fi Ulum Al-Quran’, Beirut: Dâr Al-Kutub Al-’Ilmiyyah, 1407 (1979) al-Suyuti, Jalal al-Din, ‘Asrar Tartib Al-Qur’an’, Cairo: Dar Al-Ictisam, 1976
Al-Zarkasyi, Badruddin, ‘Al-Burhân Fî ‘Ulûm Al-Qur’Ân’, Mesir: Dâr Ihyâ Al- Kutub Al-‘Arabiyyah, 1957
Republik Indonesia, Kementerian Agama, Bukhara: Al-Qur’an Tajwid Dan Terjemah (Bandung: Syamil Quran, 2004)
Shalih, Subhi, ‘Mabâhits Fî ‘Ulûm Al-Qur’Ân’, Beirut: Darul Qalam Al-Malayin, 1977