Kebijakan Pupuk Bersubsidi
Sasaran pupuk bersubsidi adalah petani, pekebun dan peternak yang mengusahakan lahan paling luas dua hektar setiap musim tanam per keluarga petani kecuali pembudidaya ikan dan atau udang paling luas 1 hektar. Tujuan kebijakan pupuk bersubsidi adalah untuk meringankan beban petani agar ketika mereka memerlukan pupuk untuk tanaman pangannya pupuk tersedia dengan harga yang terjangkau.
Terdapat argumentasi bahwa, pertama pemanfaatan teknologi pupuk sampai saat ini diakui sebagai teknologi intensifikasi pertanian untuk meningkatkan hasil pangan. Kedua, petani Indonesia umumnya tidak bisa memanfaatkan teknologi pupuk ini karena kurang mampu membeli sesuai dengan harga pasar. Sehingga pemerintah Indonesia yang berkepentingan dalam peningkatan produktivitas hasil pangan demi ketahanan pangan Nasional, kemudian memilih opsi memberikan subsidi harga pupuk untuk petani (Chaniago, 2012).
Dinamika dan perkembangan kebijakan pupuk dapat dibagi menjadi 4 (empat) periode. Pertama.
Periode 1960-1979, subsidi pupuk bagi petani peserta BIMAS dan tersedianya peluang bisnis pupuk bagi setiap badan usaha.
Kedua.
periode 1979-1998, seluruh pupuk untuk sektor pertanian disubsidi dan ditataniagakan dengan penanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk pada satu tangan yaitu PT. Pusri.
Ketiga
Periode 1998-2002, pupuk tidak disubsidi dan pupuk menjadi komoditas bebas, dimana berlaku mekanisme pasar.
Keempat.
Periode 2003 sampai sekarang subsidi pupuk dilakukan melalui produsen dengan instrumen Harga Eceran Tertinggi (HET) dan pendistribusian berdasarkan rayonisasi, dimana setiap produsen bertanggung jawab memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya (Hendrawan et al., 2011).
Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung berdasarkan dosis anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dikalikan luas usahatani para anggota Kelompoktani. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang disusun Kelompoktani direkapitulasi secara berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat nasional. Melalui Permentan ditetapkan kebutuhan pupuk bersubsidi yang dirinci menurut jenis, jumlah, sub sektor, provinsi dan sebaran bulanan. Kebutuhan pupuk juga dirinci lebih lanjut menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan bupati/walikota (Suryana et al., 2015).
Baca Juga:
Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk yang selama ini ditempuh oleh pemerintah dalam konteks kebijakan fiskal telah menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk mengurangi jumlah subsidi pupuk secara bertahap sehingga beban APBN dapat dikurangi demi terwujudnya fiscal sustainability. Di sisi lain pengurangan susbidi pupuk tentu akan membawa implikasi naiknya harga pupuk di dalam negeri di samping skim subsidi harga yang diberikan selama ini dirasakan masih kurang memenuhi rasa keadilan karena belum menunjukkan keberpihakan kepada petani sebagai produsen. Hal inilah yang seringkali mengundang berbagai reaksi di tingkat publik (Kementrian Keuangan, 2015).
Dengan berbagai kondisi yang ada selama krisis global, Pemerintah terus berusaha memenuhi kebutuhan pupuk kepada petani dan menyediakan harga yang terjangkau pada saat musim tanam. Dengan demikian, petani berharap harga jual produksinya dapat dibeli dengan harga yang tinggi agar tingkat pendapatan dan kesejahteraannya semakin meningkat. Dalam memenuhi upaya tersebut, Pemerintah dituntut untuk menyesuaikan skim subsidi pupuk dan menyalurkannya tepat sasaran. Selama subsidi pupuk diberikan, maka ketepatan penyalurannya menjadi syarat mutlak agar kebijakan fiskal berjalan efektif (Kementrian Keuangan, 2015).
Efektivitas subsidi pupuk di tingkat usaha tani ditentukan oleh respon harga terhadap penggunaan pupuk dan respon pupuk terhadap hasil padi. Intensitas penggunaan urea lebih dipengaruhi oleh harga gabah, sementara harga urea relatif kurang berpengaruh terhadap penggunaan urea. Dukungan insentif harga gabah lebih efektif daripada subsidi harga pupuk dalam mempengaruhi penggunaan pupuk. Pada dasarnya subsidi input pertanian (pupuk dan benih) masih diperlukan oleh petani, yang perlu diperbaiki adalah mekanisme pemberian dan target yang jelas agar subsidi tersebut efisien dan efektif. Namun demikian subsidi input memang penting, tetapi hanya merupakan satu alat saja karena kebijakan tersebut tidak akan ada artinya jika yang dibantu hanya dari sisi input tanpa ada kebijakan output yang memadai.
Kebijakan subsidi pupuk dapat dikatakan berhasil apabila masyarakat yang menerima manfaat dari subsidi tersebut (petani) dapat meringankan beban dalam penyediaan dan penggunaan pupuk untuk kegiatan usahataninya. Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip kerja yang berdasarkan tepat harga, tepat jumlah, tepat jenis, dan tepat waktu. Dalam efektivitas penyaluran pupuk bersubsidi ini, ditekankan pada 4 aspek : ketepatan harga, jumlah, jenis dan ketepatan waktu
Sasaran pupuk bersubsidi adalah petani, pekebun dan peternak yang mengusahakan lahan paling luas dua hektar setiap musim tanam per keluarga petani kecuali pembudidaya ikan dan atau udang paling luas 1 hektar. Tujuan kebijakan pupuk bersubsidi adalah untuk meringankan beban petani agar ketika mereka memerlukan pupuk untuk tanaman pangannya pupuk tersedia dengan harga yang terjangkau.
Terdapat argumentasi bahwa, pertama pemanfaatan teknologi pupuk sampai saat ini diakui sebagai teknologi intensifikasi pertanian untuk meningkatkan hasil pangan. Kedua, petani Indonesia umumnya tidak bisa memanfaatkan teknologi pupuk ini karena kurang mampu membeli sesuai dengan harga pasar. Sehingga pemerintah Indonesia yang berkepentingan dalam peningkatan produktivitas hasil pangan demi ketahanan pangan Nasional, kemudian memilih opsi memberikan subsidi harga pupuk untuk petani (Chaniago, 2012).
Dinamika dan perkembangan kebijakan pupuk dapat dibagi menjadi 4 (empat) periode. Pertama.
Periode 1960-1979, subsidi pupuk bagi petani peserta BIMAS dan tersedianya peluang bisnis pupuk bagi setiap badan usaha.
Kedua.
periode 1979-1998, seluruh pupuk untuk sektor pertanian disubsidi dan ditataniagakan dengan penanggung jawab pengadaan dan penyaluran pupuk pada satu tangan yaitu PT. Pusri.
Ketiga
Periode 1998-2002, pupuk tidak disubsidi dan pupuk menjadi komoditas bebas, dimana berlaku mekanisme pasar.
Keempat.
Periode 2003 sampai sekarang subsidi pupuk dilakukan melalui produsen dengan instrumen Harga Eceran Tertinggi (HET) dan pendistribusian berdasarkan rayonisasi, dimana setiap produsen bertanggung jawab memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya (Hendrawan et al., 2011).
Kebutuhan pupuk bersubsidi dihitung berdasarkan dosis anjuran pemupukan berimbang spesifik lokasi dikalikan luas usahatani para anggota Kelompoktani. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang disusun Kelompoktani direkapitulasi secara berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat nasional. Melalui Permentan ditetapkan kebutuhan pupuk bersubsidi yang dirinci menurut jenis, jumlah, sub sektor, provinsi dan sebaran bulanan. Kebutuhan pupuk juga dirinci lebih lanjut menurut kabupaten/kota, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Selanjutnya kebutuhan pupuk bersubsidi dirinci lebih lanjut menurut kecamatan, jenis, jumlah, subsektor, dan sebaran bulanan yang ditetapkan melalui peraturan bupati/walikota (Suryana et al., 2015).
Baca Juga:
Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk yang selama ini ditempuh oleh pemerintah dalam konteks kebijakan fiskal telah menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk mengurangi jumlah subsidi pupuk secara bertahap sehingga beban APBN dapat dikurangi demi terwujudnya fiscal sustainability. Di sisi lain pengurangan susbidi pupuk tentu akan membawa implikasi naiknya harga pupuk di dalam negeri di samping skim subsidi harga yang diberikan selama ini dirasakan masih kurang memenuhi rasa keadilan karena belum menunjukkan keberpihakan kepada petani sebagai produsen. Hal inilah yang seringkali mengundang berbagai reaksi di tingkat publik (Kementrian Keuangan, 2015).
Dengan berbagai kondisi yang ada selama krisis global, Pemerintah terus berusaha memenuhi kebutuhan pupuk kepada petani dan menyediakan harga yang terjangkau pada saat musim tanam. Dengan demikian, petani berharap harga jual produksinya dapat dibeli dengan harga yang tinggi agar tingkat pendapatan dan kesejahteraannya semakin meningkat. Dalam memenuhi upaya tersebut, Pemerintah dituntut untuk menyesuaikan skim subsidi pupuk dan menyalurkannya tepat sasaran. Selama subsidi pupuk diberikan, maka ketepatan penyalurannya menjadi syarat mutlak agar kebijakan fiskal berjalan efektif (Kementrian Keuangan, 2015).
Efektivitas subsidi pupuk di tingkat usaha tani ditentukan oleh respon harga terhadap penggunaan pupuk dan respon pupuk terhadap hasil padi. Intensitas penggunaan urea lebih dipengaruhi oleh harga gabah, sementara harga urea relatif kurang berpengaruh terhadap penggunaan urea. Dukungan insentif harga gabah lebih efektif daripada subsidi harga pupuk dalam mempengaruhi penggunaan pupuk. Pada dasarnya subsidi input pertanian (pupuk dan benih) masih diperlukan oleh petani, yang perlu diperbaiki adalah mekanisme pemberian dan target yang jelas agar subsidi tersebut efisien dan efektif. Namun demikian subsidi input memang penting, tetapi hanya merupakan satu alat saja karena kebijakan tersebut tidak akan ada artinya jika yang dibantu hanya dari sisi input tanpa ada kebijakan output yang memadai.
Kebijakan subsidi pupuk dapat dikatakan berhasil apabila masyarakat yang menerima manfaat dari subsidi tersebut (petani) dapat meringankan beban dalam penyediaan dan penggunaan pupuk untuk kegiatan usahataninya. Oleh sebab itu dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip kerja yang berdasarkan tepat harga, tepat jumlah, tepat jenis, dan tepat waktu. Dalam efektivitas penyaluran pupuk bersubsidi ini, ditekankan pada 4 aspek : ketepatan harga, jumlah, jenis dan ketepatan waktu