Latar Belakang
Pertanian di Indonesia merupakan salah satu sektor yang strategis karena sampai saat ini sektor pertanian merupakan sektor yang paling diunggulkan. Selain itu, sektor pertanian merupakan salah satu faktor penentu dalam proses pembangunan perekonomian nasional karena sektor pertanian mencakup sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Bahkan, sampai saat ini sebagian besar pertanian masih bertumpu pada sektor tanaman pangan, khususnya padi. Padi merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia di mana setiap tahunnya jumlah produksi padi harus terus meningkat.
Ketersediaan pupuk yang cukup dapat membantu petani dalam meningkatkan produktivitas padi mengingat pupuk merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi sektor pertanian. Masalah yang sering timbul setiap saat terutama pada awal musim tanam adalah tidak tersedianya pupuk di pasaran terutama pupuk bersubsidi. Hal tersebut berdampak pada rendahnya produktivitas tanaman pangan seperti padi yang dihasilkan sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan petani.
Baca Juga:
Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk yang selama ini ditempuh oleh pemerintah dalam konteks kebijakan fiskal telah menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk mengurangi jumlah subsidi pupuk secara bertahap sehingga beban APBN dapat dikurangi demi terwujudnya fiscal sustainability. Di sisi lain pengurangan susbidi pupuk tentu akan membawa implikasi naiknya harga pupuk di dalam negeri di samping skim subsidi harga yang diberikan selama ini dirasakan masih kurang memenuhi rasa keadilan karena belum menunjukkan keberpihakan kepada petani sebagai produsen. Hal inilah yang seringkali mengundang berbagai reaksi di tingkat public (Kementrian Keuangan, 2015).
Kelangkaan pupuk diduga disebabkan penyediaan pupuk subsidi yang dialokasikan pemerintah lebih sedikit dari yang dibutuhkan sesuai anjuran teknologi. Alasan tersebut menjadi pemicu untuk bertambahnya faktor-faktor penyebab yang lain karena terjadi perebutan kebutuhan untuk penyediaan pupuk subsidi yang tidak cukup ditambah kebutuhan non subsidi yang sering menggunakan pupuk subsidi (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2004).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan program pemberian pupuk bersubsidi oleh pemerintah belum efektif karena banyaknya persoalan yang timbul dalam tataran implementasi. Penyebabnya banyak faktor, antara lain pengawasan yang tidak ketat sehingga pupuk subsidi tidak tepat sasaran, maraknya ekspor pupuk secara ilegal seiring tingginya harga di pasar internasional, fanatisme petani terhadap merek pupuk tertentu, dan tingginya biaya transportasi dan sewa gudang akibat banyaknya distributor yang tidak memiliki armada dan infrastruktur gudang.
Kelangkaan pupuk menimbulkan masalah harga pupuk subsidi tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET). Padahal, harga pupuk bersubsidi diatur dalam Peraturan Menteri (Permentan) Nomor 69 tahun 2016 tentang alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Untuk jenis urea dipatok Rp1.800 per kg, SP-36 Rp2.000 per kg, ZA Rp1.400 per kg, NPK Rp2300 per kg dan organik Rp500 per kg. Tanpa subsidi, harga urea bisa mencapai Rp3.600 /kg, sementara untuk NPK bisa mencapai Rp5.500 /kg.
Kebutuhan pupuk oleh petani di Desa Alue terus meningkat, namun petani masih mengalami kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Walaupun kadang-kadang di pasaran tersedia, tetapi harga yang harus dibayar oleh petani lebih tinggi dari HET yang ditentukan pemerintah. Kelangkaan pupuk yang terjadi setiap musim tanam ini akan mempengaruhi petani dalam bertindak atau berperilaku. Berdasarkan uraian di atas penulis mengangkat topik kelangkaan pupuk dengan judul “Perilaku Petani dalam Mengatasi Kelangkaan Pupuk Bersubsidi di Kelompok Tani Harkat Tani Desa Alue Kecamatan Titeue Kabupaten Pidie”.
SUMBER:
Skripsi : Perilaku Petani dalam Mengatasi Kelangkaan Pupuk Bersubsidi di Kelompok Tani Harkat Tani Desa Alue Kecamatan Titeue Kabupaten Pidie
Pertanian di Indonesia merupakan salah satu sektor yang strategis karena sampai saat ini sektor pertanian merupakan sektor yang paling diunggulkan. Selain itu, sektor pertanian merupakan salah satu faktor penentu dalam proses pembangunan perekonomian nasional karena sektor pertanian mencakup sub sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Bahkan, sampai saat ini sebagian besar pertanian masih bertumpu pada sektor tanaman pangan, khususnya padi. Padi merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk Indonesia di mana setiap tahunnya jumlah produksi padi harus terus meningkat.
Ketersediaan pupuk yang cukup dapat membantu petani dalam meningkatkan produktivitas padi mengingat pupuk merupakan faktor produksi yang sangat penting bagi sektor pertanian. Masalah yang sering timbul setiap saat terutama pada awal musim tanam adalah tidak tersedianya pupuk di pasaran terutama pupuk bersubsidi. Hal tersebut berdampak pada rendahnya produktivitas tanaman pangan seperti padi yang dihasilkan sehingga menyebabkan rendahnya pendapatan petani.
Baca Juga:
Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk yang selama ini ditempuh oleh pemerintah dalam konteks kebijakan fiskal telah menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah dituntut untuk mengurangi jumlah subsidi pupuk secara bertahap sehingga beban APBN dapat dikurangi demi terwujudnya fiscal sustainability. Di sisi lain pengurangan susbidi pupuk tentu akan membawa implikasi naiknya harga pupuk di dalam negeri di samping skim subsidi harga yang diberikan selama ini dirasakan masih kurang memenuhi rasa keadilan karena belum menunjukkan keberpihakan kepada petani sebagai produsen. Hal inilah yang seringkali mengundang berbagai reaksi di tingkat public (Kementrian Keuangan, 2015).
Kelangkaan pupuk diduga disebabkan penyediaan pupuk subsidi yang dialokasikan pemerintah lebih sedikit dari yang dibutuhkan sesuai anjuran teknologi. Alasan tersebut menjadi pemicu untuk bertambahnya faktor-faktor penyebab yang lain karena terjadi perebutan kebutuhan untuk penyediaan pupuk subsidi yang tidak cukup ditambah kebutuhan non subsidi yang sering menggunakan pupuk subsidi (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2004).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan program pemberian pupuk bersubsidi oleh pemerintah belum efektif karena banyaknya persoalan yang timbul dalam tataran implementasi. Penyebabnya banyak faktor, antara lain pengawasan yang tidak ketat sehingga pupuk subsidi tidak tepat sasaran, maraknya ekspor pupuk secara ilegal seiring tingginya harga di pasar internasional, fanatisme petani terhadap merek pupuk tertentu, dan tingginya biaya transportasi dan sewa gudang akibat banyaknya distributor yang tidak memiliki armada dan infrastruktur gudang.
Kelangkaan pupuk menimbulkan masalah harga pupuk subsidi tidak sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET). Padahal, harga pupuk bersubsidi diatur dalam Peraturan Menteri (Permentan) Nomor 69 tahun 2016 tentang alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Untuk jenis urea dipatok Rp1.800 per kg, SP-36 Rp2.000 per kg, ZA Rp1.400 per kg, NPK Rp2300 per kg dan organik Rp500 per kg. Tanpa subsidi, harga urea bisa mencapai Rp3.600 /kg, sementara untuk NPK bisa mencapai Rp5.500 /kg.
Kebutuhan pupuk oleh petani di Desa Alue terus meningkat, namun petani masih mengalami kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Walaupun kadang-kadang di pasaran tersedia, tetapi harga yang harus dibayar oleh petani lebih tinggi dari HET yang ditentukan pemerintah. Kelangkaan pupuk yang terjadi setiap musim tanam ini akan mempengaruhi petani dalam bertindak atau berperilaku. Berdasarkan uraian di atas penulis mengangkat topik kelangkaan pupuk dengan judul “Perilaku Petani dalam Mengatasi Kelangkaan Pupuk Bersubsidi di Kelompok Tani Harkat Tani Desa Alue Kecamatan Titeue Kabupaten Pidie”.
SUMBER:
Skripsi : Perilaku Petani dalam Mengatasi Kelangkaan Pupuk Bersubsidi di Kelompok Tani Harkat Tani Desa Alue Kecamatan Titeue Kabupaten Pidie