Sejarah Hukum Acara Pidana

Hukum SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA

Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pada zaman Hindia Belanda dahulu terdapat dualisme dan atau pluralism dalam hukum, hal mana disebabkan karena pada waktu itu setiap golongan penduduk berlaku hukumnya masing-masing.

Penggolongan penduduk pada waktu itu diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu:

a. Tahun 1848 dengan dikodifikasikannya tentang “Aturan Umum Peraturan Perundangan Untuk Indonesia” (Alegemene Bepalingen van Wet geving atau disingkat AB), di dalam pasal 6 samapi 10 mengatur bahwa golongan penduduk Hindia Belanda golongan Eropah dan golongan Bumiputra. Pembagian ini didasarkan atas perbedaan agama yaitu bagi mereka penganut agama Kristen termasuk golongan eropah dan bagi mereka yang bukan Kristen adalah golongan Bumiputra.

b. Tahun 1854 dengan keluarnya “Peraturan Pemerintahan Hindia Belanda” (Regering Reglement disingkat RR) ketentuan pasal 6 sampai 10 AB diganti dengan pasal 109 RR ), dimana perbedaan agama tidak lagi disyaratkan, sehingga golongan penduduk menjadi: Golongan Eropah dan yang dipersamakan serta golongan Bumi Putra dan yang dipersamakan.

c. Tahun 1920 diberlakukannya Indische Staatsregeling disingkat IS dalam pasal 109 RR diganti dengan pasal 163 IS yang membagi golongan penduduk Indonesia menjadi 3 (tiga), yaitu: golongan Eropah, golongan Bumi Putra dan golongan Timur Asing.

Berdasarkan atas adanya penggolongan penduduk tersebut, maka dalam bidang hukum acara pidana terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagai berikut:
a. Reglement op de Rechterlijk Organisatie (reglemen Organisasi Kehakiman) stb.1848 no.57, yang memuat ketetapan-ketetapan mengenai organisasi kehakiman.
b. Reglement op de Straf voordering (reglemen hukum acara pidana) stb. 1849 no.63, yang memuat hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropah dan yang disamakan dengan mereka.
c. Landgrechtsregelment (reglemen Hakim Kepolisian) stb. 1914 no.317 yang memuat acara di muka Hakim Kepolisian yang memeriksa dan memutus perkara-perkara kecil untuk semua golongan penduduk.
d. Inlandsch Reglement (reglemen Bumiputa) yang biasa disingkat dengan IR stb. 1848 no.16 memuat hukum acara perdata dan hukum acara pidana dimuka pengadilan “Landraad” bagi golongan penduduk Bumiputra (Indonesia) dan Timur Asing, yang hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura berlaku “Rechtsreglement voor de Buitengewesten” yang disingkat R Bg stb.1927 no.227 Yang merencanakan IR itu adalah sarjana hukum Belanda bernama Mr.H.I Wickers yang pada waktu itu oleh pemerintah Belanda dikirim ke Indonesia untuk membantu mengadakan perundang-undangan baru. Dan kemudian dengan stb. 1941 no.44 IR diperbaharui (herzien), sehingga menjadi “Herzien Inlandsch Reglement” atau disingkat HIR.( Ansorie Sabuan SH. Dkk, Hukum Acara Pidana, Pen. Angkasa Bandung,hal 25 dst).

Masa Pemerintahan Penduduk Jepang
Pada zaman pemerintahan penduduk Jepang di Indonesia berasarkan undang-undang (Osamu Serei) no.1 tahun 1942, yang dalam aturan peralihan untuk daerah Jawa dan Madura disebutkan bahwa “Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah terdahulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer (pasal 3).

Badan-badan pemerintahan khususnya badan pengadilan pada dasarnya yang telah ada terdahulu tetap berlaku kecuali Raad van Justitie (pengadilan untuk golongan Eropah) dicabut/dahapuskan. Badan pengadilan yang ada kemudian tidak membedakan golongan penduduk yaitu Tihoo Hooin (pengadilan Negeri), Kooto Nooin (Pengadilan Tinggi) dan Saiko Hooin (Pengadilan Agung). Mengenai susunan pengadilan ini diatur dalam Osamu Serei no.1 tahun 1942.

Hukum acara pidana yang berlaku untuk pengadilan tersebut di atas adalah HIR dan R Bg serta Landgerechts Reglement untuk perkara pidana kecil/ringan.

Hukum Acara Pidana Pada Masa Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 1945
Dengan proklamasi 17 Agustus 1945 maka lahirlah Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. UUD 1945 di dalam aturan peralihan (pasal II AP ) disebutkan bahwa “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini.” Dan untuk mempertegas serta memperkuat aturan peralihan ini, maka Presiden mengeluarkan suatu peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 disebut dengan peraturan no.2 yang menentukan : “Segala badan-badan Negara dan peraturan peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.” (pasal 1)

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa susunan pengadilan serta hukum acara pidana yang ada pada zaman pendudukan Jepang adalah tetep berlaku pada masa Republik.

Hukum Acara Pidana Menurut UU (drt) no.1 Tahun 1951
Bahwa dengan berlakunya UU (drt) no.1 Tahun 1951 ini, diadakan unifikasi hukum
acara pidana dan susunan pengadilan. Dan melalui ketentuan pasal 1 undang-undang ini
beberapa pengadilan dihapus, yaitu:
a. Mahkamah Justisi di Makasar dan alat penuntut umum yang ada
b. Apelraad di Makasar
c. Apelraad di Medan
d. Segala Pengadilan Negara dan Landgerecht
e. Segala Pengadilan Kepolisian beserta alat Penuntut Umumnya
f. Segala Pengadilan Magistraat
g. Segala Pengadilan Kabupaten
h. Segala Pengadilan Distrik
i. Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat (berangsur-angsur dicabut)

Namun demikian adanya Hakim Perdamaian Desa (Pasal 3a RO) masih diakui begitu juga dengan berlakunya UU No 14 Tahun 1970 hingga kini dengan berlakunya UU No. 4/2004 tetap tidak dihapuskan. Sekarang dengan berlakunya KUHAP, Hakim Perdamaian Desa juga masih diperkenankan hal mana dapat dijadikan alasan bahwa dengan berlakunya KUHAP yang dicabut adalah HIR dan UU (drt) no.1 Tahun 1951 yaitu hanya mengenai hukum acara pidananya saja.

Di samping dihapuskannya beberapa pengadilan, maka dengan berlakunya UU (drt) no.1 Tahun 1951 (tentang Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan dalam susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil di Indonesia) ini, untuk seluruh Indonesia hanya ada tiga macam pengadilan sehari-hari untuk semua golongan penduduk sipil, yaitu:
a. Pengadilan Negeri untuk pemeriksaan tingkat pertama
b. Pengadilan Tinggi untuk pemeriksaan tingkat banding
c. Mahkamah Agung untuk pemeriksaan tingkat kasasi

Hukum acara pidana yang berlaku untuk semua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU (drt) no.1 Tahun 1951 yaitu HIR dipakai sebagai pedoman acara perkara pidana untuk semua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia.

Hukum Acara Pidana Dengan Berlakunya UU No 8 Tahun 1981
Untuk mencapai kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 UUD 1945 ialah: kekuasaan Negara yang merdeka dan dapat menyelenggarakan penegakan hukum serta keadilan berdasarkan Pancasila, maka dibuatlah UU No 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman, yang kemudian diganti dengan UU No 14 Tahun 1970 dengan judul yang sama. Selanjutnya dalam pasal 12 UU No 14 Tahun 1970 tersebut disebutkan bahwa hukum acara pidana dibuat dalam undang-undang tersendiri, dan sekarang ini undang-undang yang dimaksudkan telah terwujud yaitu dengan telah diundangkannya UU No 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 yang menyatakan berlaku hukum acara pidana yang baru yaitu: “Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana”, disingkat KUHAP.

Dengan berlakunya KUHAP sekarang ini dengan tegas dinyatakan dicabut berlakunya:
a. H I R ( stb.1941 no 44), dihubungkan dengan UU No 1 Drt 1951 beserta aturan pelaksanaannya.
b. Ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, dengan ketentuan sepanjang mengenai hukum acara pidana.