Kesehatan - Pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menunjukkan adanya peningkatan yang positif selama beberapa tahun terakhir (Badan Pusat Statistik, 2018). Pertumbuhan ekonomi yang baik dapat dilihat dari peningkatan investasi di dalam negeri dan ekspor, penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin, serta penurunan tingkat pengangguran terbuka. Human Capital Report pada tahun 2017 melaporkan bahwa posisi daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia berada pada peringkat 65 dari 130 negara, meningkat dari posisi 72 dari 130 pada tahun 2016. Hal ini sejalan dengan temuan dari berbagai penelitian yang menunjukkan adanya korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan kualitas SDM. Peningkatan kualitas SDM harus dimulai sejak dini. Studi menunjukkan bahwa investasi pada awal kehidupan erat kaitannya dengan kualitas SDM yang lebih tinggi di masa yang akan datang (Heckman, 2008).
Namun demikian, pencapaian Indonesia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan belum diikuti dengan peningkatan status kesehatan terutama pada balita, ibu hamil, dan remaja putri. Masalah gizi seperti gizi buruk dan stunting masih menjadi persoalan besar yang perlu diatasi segera. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa satu dari tiga anak balita di Indonesia mengalami masalah stunting . Permasalahan gizi ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia dan tidak hanya terjadi pada kelompok penduduk miskin tetapi juga pada kelompok kaya.
Stunting memiliki dampak yang besar terhadap tumbuh kembang anak dan juga perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Dampak stunting terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak sangat merugikan. Stunting dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang anak terutama pada anak berusia di bawah dua tahun. Anak-anak yang mengalami stunting pada umumnya akan mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif dan motoriknya yang akan mempengaruhi produktivitasnya saat dewasa. Selain itu, anak stunting juga memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung pada saat dewasa.
Secara ekonomi, hal tersebut tentunya akan menjadi beban bagi negara terutama akibat meningkatnya pembiayaan kesehatan. Potensi kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh stunting sangat besar. Laporan World Bank pada tahun 2016 menjelaskan bahwa potensi kerugian ekonomi akibat stunting mencapai 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan demikian, apabila PDB Indonesia sebesar Rp 13.000 trilyun, maka potensi kerugian ekonomi yang mungkin dialami adalah sebesar Rp260-390 trilyun per tahun. Di beberapa negara di Afrika dan Asia potensi kerugian akibat stunting bahkan lebih tinggi lagi bisa mencapai 11% . Permasalahan kekurangan gizi pada anak erat kaitannya dengan tingkat pendapatan keluarga. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah pada umumnya memiliki masalah dalam hal akses terhadap bahan makanan terkait dengan daya beli yang rendah. Selain pendapatan, kerawanan pangan di tingkat rumah tangga juga sangat dipengaruhi oleh inflasi harga pangan.
Faktor penting lain yang mempengaruhi terjadinya masalah kekurangan gizi pada anak balita adalah buruknya pola asuh terutama pemberian ASI eksklusif akibat rendahnya tingkat pengetahuan orang tua, buruknya kondisi lingkungan seperti akses sanitasi dan air bersih, rendahnya akses pada pelayanan kesehatan. Melihat faktor penyebab permasalahan stunting yang multi dimensi, penanganan masalah gizi harus dilakukan dengan pendekatan multi sektor yang terintegrasi.
Dalam mengatasi permasalahan gizi, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 yang mengatur mengenai Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Peta Jalan Percepatan Perbaikan Gizi terdiri dari empat komponen utama yang meliputi advokasi, penguatan lintas sektor, pengembangan program spesifik dan sensitif, serta pengembangan pangkalan data. Intervensi gizi baik yang bersifat langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensitif) perlu dilakukan secara bersama-sama oleh kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan lainnya. Penanganan stunting tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri (scattered) karena tidak akan memiliki dampak yang signifikan.
Upaya pencegahan stunting harus dilakukan secara terintegrasi dan konvergen dengan pendekatan multi sektor. Untuk itu, pemerintah harus memastikan bahwa seluruh kementerian/lembaga serta mitra pembangunan, akademisi, organisasi profesi, organisasi masyarakat madani, perusahaan swasta, dan media dapat bekerjasama bahu-membahu dalam upaya percepatan pencegahan stunting di Indonesia. Tidak hanya di tingkat pusat, integrasi dan konvergensi upaya pencegahan stunting juga harus terjadi di tingkat daerah sampai dengan tingkat desa.
Upaya pencegahan stunting yang konvergen dan terintegrasi perlu segera dilakukan. Sejak akhir tahun 2017, Kementerian PPN/Bappenas telah meluncurkan “Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi” sebagai upaya komprehensif dengan pendekatan multi sektor. Upaya ini mencakup intervensi multi sektor yang cukup luas mulai dari akses makanan, layanan kesehatan dasar termasuk akses air bersih dan sanitasi, serta pola pengasuhan. Hal ini menegaskan kembali bahwa permasalahan stunting bukanlah semata mata masalah sektor kesehatan tetapi melibatkan faktor-faktor lain di luar kesehatan.
Sebagai langkah awal, pada tahun 2018 sebanyak 100 kabupaten/kota dan 1000 desa telah terpilih sebagai fokus area intervensi. Selanjutnya, untuk tahun 2019, 60 kabupaten/kota dan 600 desa telah ditambahkan sebagai area fokus intervensi pencegahan stunting terintegrasi.
Upaya pencegahan masalah gizi termasuk stunting juga menjadi bagian dari pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) khususnya Tujuan 2 Tanpa Kelaparan. Pelaksanaan TPB menekankan pada prinsip no one left behind sebagai bagian dari hak asasi manusia untuk menjamin tidak terjadinya diskriminasi dan secara spesifik memberikan perhatian khusus kepada kelompok masyarakat rentan atau miskin. Pada tahun 2017, Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Pada tanggal 5 Juni 2018, telah diluncurkan Rencana Aksi Nasional TPB 2017-2019 yang merupakan panduan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan upaya pencapaian target TPB termasuk di dalamnya Tujuan 2 untuk menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan.
Namun demikian, pencapaian Indonesia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan belum diikuti dengan peningkatan status kesehatan terutama pada balita, ibu hamil, dan remaja putri. Masalah gizi seperti gizi buruk dan stunting masih menjadi persoalan besar yang perlu diatasi segera. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa satu dari tiga anak balita di Indonesia mengalami masalah stunting . Permasalahan gizi ini terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia dan tidak hanya terjadi pada kelompok penduduk miskin tetapi juga pada kelompok kaya.
Stunting memiliki dampak yang besar terhadap tumbuh kembang anak dan juga perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Dampak stunting terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak sangat merugikan. Stunting dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang anak terutama pada anak berusia di bawah dua tahun. Anak-anak yang mengalami stunting pada umumnya akan mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif dan motoriknya yang akan mempengaruhi produktivitasnya saat dewasa. Selain itu, anak stunting juga memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita penyakit tidak menular seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung pada saat dewasa.
Secara ekonomi, hal tersebut tentunya akan menjadi beban bagi negara terutama akibat meningkatnya pembiayaan kesehatan. Potensi kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh stunting sangat besar. Laporan World Bank pada tahun 2016 menjelaskan bahwa potensi kerugian ekonomi akibat stunting mencapai 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan demikian, apabila PDB Indonesia sebesar Rp 13.000 trilyun, maka potensi kerugian ekonomi yang mungkin dialami adalah sebesar Rp260-390 trilyun per tahun. Di beberapa negara di Afrika dan Asia potensi kerugian akibat stunting bahkan lebih tinggi lagi bisa mencapai 11% . Permasalahan kekurangan gizi pada anak erat kaitannya dengan tingkat pendapatan keluarga. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah pada umumnya memiliki masalah dalam hal akses terhadap bahan makanan terkait dengan daya beli yang rendah. Selain pendapatan, kerawanan pangan di tingkat rumah tangga juga sangat dipengaruhi oleh inflasi harga pangan.
Faktor penting lain yang mempengaruhi terjadinya masalah kekurangan gizi pada anak balita adalah buruknya pola asuh terutama pemberian ASI eksklusif akibat rendahnya tingkat pengetahuan orang tua, buruknya kondisi lingkungan seperti akses sanitasi dan air bersih, rendahnya akses pada pelayanan kesehatan. Melihat faktor penyebab permasalahan stunting yang multi dimensi, penanganan masalah gizi harus dilakukan dengan pendekatan multi sektor yang terintegrasi.
Dalam mengatasi permasalahan gizi, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 yang mengatur mengenai Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Peta Jalan Percepatan Perbaikan Gizi terdiri dari empat komponen utama yang meliputi advokasi, penguatan lintas sektor, pengembangan program spesifik dan sensitif, serta pengembangan pangkalan data. Intervensi gizi baik yang bersifat langsung (spesifik) dan tidak langsung (sensitif) perlu dilakukan secara bersama-sama oleh kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan lainnya. Penanganan stunting tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri (scattered) karena tidak akan memiliki dampak yang signifikan.
Upaya pencegahan stunting harus dilakukan secara terintegrasi dan konvergen dengan pendekatan multi sektor. Untuk itu, pemerintah harus memastikan bahwa seluruh kementerian/lembaga serta mitra pembangunan, akademisi, organisasi profesi, organisasi masyarakat madani, perusahaan swasta, dan media dapat bekerjasama bahu-membahu dalam upaya percepatan pencegahan stunting di Indonesia. Tidak hanya di tingkat pusat, integrasi dan konvergensi upaya pencegahan stunting juga harus terjadi di tingkat daerah sampai dengan tingkat desa.
Upaya pencegahan stunting yang konvergen dan terintegrasi perlu segera dilakukan. Sejak akhir tahun 2017, Kementerian PPN/Bappenas telah meluncurkan “Intervensi Pencegahan Stunting Terintegrasi” sebagai upaya komprehensif dengan pendekatan multi sektor. Upaya ini mencakup intervensi multi sektor yang cukup luas mulai dari akses makanan, layanan kesehatan dasar termasuk akses air bersih dan sanitasi, serta pola pengasuhan. Hal ini menegaskan kembali bahwa permasalahan stunting bukanlah semata mata masalah sektor kesehatan tetapi melibatkan faktor-faktor lain di luar kesehatan.
Sebagai langkah awal, pada tahun 2018 sebanyak 100 kabupaten/kota dan 1000 desa telah terpilih sebagai fokus area intervensi. Selanjutnya, untuk tahun 2019, 60 kabupaten/kota dan 600 desa telah ditambahkan sebagai area fokus intervensi pencegahan stunting terintegrasi.
Upaya pencegahan masalah gizi termasuk stunting juga menjadi bagian dari pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) khususnya Tujuan 2 Tanpa Kelaparan. Pelaksanaan TPB menekankan pada prinsip no one left behind sebagai bagian dari hak asasi manusia untuk menjamin tidak terjadinya diskriminasi dan secara spesifik memberikan perhatian khusus kepada kelompok masyarakat rentan atau miskin. Pada tahun 2017, Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Pada tanggal 5 Juni 2018, telah diluncurkan Rencana Aksi Nasional TPB 2017-2019 yang merupakan panduan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan upaya pencapaian target TPB termasuk di dalamnya Tujuan 2 untuk menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan.