Pengembangan Pembelajaran Tematik Integratif


Pengembangan pembelajaran tematik integratif di sekolah didasarkan pada beberapa teori psikologi belajar, yaitu teori perkembangan Jean Piaget, teori belajar Konstruktivisme, teori belajar Vygotski, teori belajar Bandura, dan teori belajar Bruner (Trianto, 2010:101). Masing- masing teori tersebut akan diuraikan sebagai berikut:


A. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Dalam pandangan Piaget, anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya. Setiap anak memiliki struktur kognitif yang berbeda-beda dalam memahami lingkungan sekitarnya. Pemahaman individu terhadap objek di lingkungan sekitar melalui proses asimilasi (menghubungkan pengetahuan tentang objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses pemanfaatan konsep dalam pikiran untuk memahami objek). Jika keduanya dapat berlangsung terus menerus maka akan terjadi keseimbangan (equilibration) antara konsep lama dan pemahaman yang baru (Gredler, 1991:311)
Pengembangan Pembelajaran Tematik Integratif

Piaget mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan kognitif pada individu. Pada anak usia sekolah dasar, tahap perkembangan kognitif berada pada operasi konkrit. Perilaku belajar yang muncul pada fase tersebut adalah: 
1) mulai memandang realitas secara objektif
2) mulai berpikir oprasional untuk mengklasifikasikan objek-objek yang ada di sekitarnya
3) mulai menggunakan prinsip-prinsip logika ilmiah yang sederhana
4) memahami konsep volume, substansi, zat cair, padat, panjang, lebar, luas, berat.

Melihat perilaku belajar anak usia sekolah dasar sebagaimana tersebut di atas, maka kecenderungan belajar anak-anak usia sekolah dasar adalah konkrit, integratif, dan hirarkhis. Konkrit mengandung makna bahwa pembelajaran dilaksanakan dengan menghadirkan bendabenda konkrit yang ada di sekitarnya yang dapat dilihat, diraba, dicium, didengar. Integratif berarti pembelajaran disajikan dalam satu keutuhan, tidak dipisah-pisah dalam berbagai disiplin ilmu. Hirarkhis berarti anak belajar mengikuti alur-alur yang bertahap, dari yang mudah menuju yang sulit, dari yang sederhana menuju yang kompleks. Oleh karenanya dalam menyusun materi untuk anak usia sekolah dasar harus memperhatikan urutan logis, keterkaitan antar materi, keluasan dan kedalamannya.

B. Teori Belajar Konstruktivisme
Dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil dari konstruk kognitif dalam diri individu. Pengetahuan tidak dapat terlepas dari subjek yang bersangkutan. Pengetahuan merupakan konstruk manusia melalui pengalaman yang dimilikinya. Pengetahuan akan selalu berkaitan dengan pengalaman yang dimilikinya akan kehidupan di dunia, namun bukan dunia itu sendiri. Oleh karenanya, tanpa pengalaman seseorang tidak akan memiliki pengetahuan (Sriyanti, dkk.,, 2009:71).
Menurut Slavin (dalam Trianto, 2010:110), satu prinsip pembelajaran yang terpenting dalam teori konstruktivisme ini adalah bahwa guru dalam mengajar tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada peserta didik (transfer of knowledge). Peserta didik harus diajak bersama-sama membangun pengetahuannya melalui pengalaman empirik. Guru harus memberikan segala kemudahan bagi peserta didik dalam proses menemukan (inquiry) pengetahuan, mempraktikkan ide-ide mereka sendiri dan memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan strategi pembelajarannya sendiri.

Guru hanya menunjukkan jalan berpikir yang benar dan mempersilakan para peserta didik untuk menapakinya agar mencapai tangga berpikir yang tinggi. Kaum konstrtuktivis berpandangan bahwa satu-satunya media yang tersedia bagi individu untuk mengetahui dan mengembangkan pengetahuan pada diri individu adalah inderanya. Individu dapat berinteraksi denga lingkungannya melalui inderanya, melihat, mencium, mendengar, menjamah dan merasakannya. Interaksi individu melalui inderanya dengan dunianya akan membentuk pengetahuan pada masing-masing individu.
Menurut Suparno (dalam Triyanto, 2010:111), dalam konteks pembelajaran, ada beberapa prinsip pembelajaran yang disarikan dari pandangan para konstruktivis yaitu:
1) pengetahuan dibangun sendiri oleh peserta didik melalui keaktivannya
2) dalam proses kegiatan pembelajaran, kegiatan ditekankan pada peserta didik
3) guru mengajar hakekatnya adalah membantu peserta didik dalam menemukan pengetahuan
4) pembelajaran lebih menekankan prosesnya, bukan sekedar hasil
5) kurikulum didesain yang sedemikian rupa yang memberi kesempatan yang seluas luasnya kepada peserta didik untuk berpartisipasi aktif
6) peran guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran

C. Teori Belajar Vigotsky
Menurut Vigotsky (Trianto, 2010:112), pembelajaran akan terjadi apabila peserta didik bekerja atau mengerjakan tugas-tugas yang belum pernah dipelajari namun masih dalam radius kemampuannya yang disebut zone of proximal development, yaitu perkembangan individu di atas sedikit dari saat ini. Ketika seorang guru memberi tugas kepada peserta didik, pastikan peserta didik telah memiliki bekal pengetahuan sebagai prasarat untuk dapat menyelesaikan tugas tersebut. Vigotsky meyakini bahwa kemampuan mental individu yang lebih tinggi akan muncul melalui interaksi atau percakapan antar individu.
Satu hal yang terpenting dari Vigotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal perkembangan kemudian lama-kelamaan anak tersebut dapat mengambil alih tanggung jawab tersebut dan mampu mengerjakan sendiri dengan sempurna. Bantuan dari orang dewasa tersebut berupa dorongan, langkah-langkah problem solving, memberikan contoh yang nyata sehingga memungkin anak tersebut dapat memecahkan masalah yang diberikan kepadanya (Trianto, 2010:112).

D. Teori Belajar Bandura
Teori belajar yang dikemukakan oleh Bandura sering dikenal dengan teori imitasi, yaitu perilaku individu terbentuk melalui proses peniruan terhada perilaku orang lain yang kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan peniruan tersebut dengan pengalaman dirinya. Proses belajar dalam pandangan teori Bandura terjadi melalui beberapa cara, yaitu imitasi, identifikasi dan belajar model, yaitu orang yang ditiru dan diikuti perilakunya (Sriyanti, dkk.,, 2009:104)
Menurut Bandur ada empat fase pemodelan, yaitu fase atensi, fase retensi, fase reproduksi, dan fase motivasi (Gredler, 1991:391). 
Fase atensi adalah fase di mana individu memparhatikan model yang menarik, populer, dan dikagumi. Dalam konteks pembelajaran guru harus mampu menampilkan diri sebagai model bagi pesera didiknya.
Fase retensi adalah fase pengkodean dan penyimpanan tingkah laku model dalam memori individu. Pengkodean adalah proses pengubahan pengalaman yang diamati menjadi kode yang disimpan dalam memori.
Fase reproduksi adalah fase di mana kode yang disimpan dalam memori dikeluarkan untuk membimbing pembentukan perilaku yang baru pada individu. Perilaku baru yang muncul merupakan perpaduan antara kode dalam memori dan pengalaman individu.
Fase motivasi adalah fase di mana individu yang bersangkutan berusaha kuat untuk mewujudkan perilaku sebagaimana model yang disaksikan, individu sangat termotivasi untuk menirunya. Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru harus mampu memberi motivasi melalui pujian, hadian atau nilai.

E. Teori Belajar Bruner
Teori belajar Bruner dikenal dengan teori belajar inquiry, yaitu model pembelajaran yang menekankan pemahaman tentang ide kunci materi pembelajaran dari suatu materi ajar yang sedang dipelajari, pentingnya belajar aktif sebagai dasar untuk memahami materi yang sebenarnya. 
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi peserta didik jika mereka mampu memusatkan perhatiannya pada struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, peserta didik harus aktif dalam mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima pejelasan dari guru (Trianto, 2010:115).
Aplikasi konsep Bruner ini dalam pembelajaran menurut Woolfolk adalah: 
1) memberikan contoh yang berbeda dengan contoh dari materi yang baru saja diajarkan
2) membantu peserta didik mencari hubungan antar konsep
3) mengajukan pertanyaan kreatif dan memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk menemukan jawabannya
4) mendorong peserta didik untuk membuat dugaan yang bersifat intuitif.