Teknik dan Implementasi Konservasi Tanah Dalam Kawasan Hutan

Konservasi pada Kawasan Hutan
Teknik konservasi pada lahan berhutan dilakukan dengan penerapan manajemen pengelolaan hutan yang baik dan terencana. Pada kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi, upaya konservasi tanah dan air hanya menjaga lingkungan dari kerusakan, karena pada kedua kawasan ini tidak diperkenankan melakukan penebangan pohon.

Pada kawasan hutan produksi, upaya konservasi dilakukan pada 3 areal, yaitu:
1. Areal produktif sebagai tempat dilakukan kegiatan eksploitasi hutan (penebangan pohon dan penarikan kayu)
2. kawasan tidak efektif untuk produksi seperti lokasi perkantoran, perumahan, camp, sarana dan prasarana, lokasi penelitian, lokasi sumber benih atau areal sumber daya genetik, kebun bibit, persemaian dan
3. tanah kosong serta kawasan perlindungan sepertiareal areal plasma nutfah,sungai dan mata air, buffer zone, koridor satwa dan areal yang mempunyai kelerengan > 40%.

Konservasi pada Lahan Terdegradasi
Pada lahan yang tidak berhutan atau lahan kritis, metode konservasi tanah yang dipakai dapat menggunakan bangunan teknik sipil atau cara mekanis dan teknik vegetatif. Teknik sipil dilakukan dengan pembuatan teras sering, bangunan penahan, bangunan drainase, penutupan dan lain-lain. Sedangkan teknik vegetatif dilakukan dengan menggunakan tumbuhan atau tanaman. Pola tanam yang digunakan dapat berbentuk penanaman dalam strip (strip cropping), pola tanam ganda atau majemuk (multiple cropping), sistem pertanian hutan (agroforestry), pemanfaatan sisa tanaman (residual management) dan penanaman pada saluran pembuangan (grassed water ways). Teknik konservasi juga dapat dilakukan dengan kombinasi bangunan teknik sipil dan cara vegetatif. Pada lahan sangat kritis yang berada di daerah kelerengan curam, teknik sipil didahulukan sebelum penanaman dilakukan.

Implementasi Teknik Konservasi Tanah pada Kawasan Hutan
Konservasi tanah pada areal produktif dilakukan pada areal bekas tebangan, seperti bekas jalan sarad dan cabang, bekas tempat pengumpulan kayu (TPn), bekas tempat penimbunan kayu (TPK) serta tempat-tempat kosong lainnya. Tujuan utama kegiatan konservasi di sini adalah menutup permukaan tanah yang terbuka akibat kegiatan eksploitasi hutan untuk menekan terjadinya erosi serta menanam dengan jenis komersial untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan.

Di PT. Gunung Meranti, Kalimantan Tengah, bekas jalan sarad dibuat teras sering menggunakan stek batang sungkai (Peronema canescens). Pada tahun pertama kegiatan ini mampu menurunkan erosi tanah hingga 66,2% dan pada tahun kedua menurunkan erosi sebesar 27,6%. Setelah stek batang sungkai tumbuh menjadi pohon, maka kejadian erosi telah mendekati kondisi awal. Pada saat itu vegetasi penutup lahan selain tanaman sungkai, juga tumbuh alami berbagai herba dan tumbuhan bawah (PT GM, 2011).

Untuk melakukan perbaikan (konservasi) lahan kritis, terutama yang berada pada daerah yang mempunyai kelerengan, bangunan teknik sipil sebaiknya didahulukan dibuat, menyusul teknik konservasi vegetatif, yaitu dengan melakukan penanaman jenis cepat tumbuh (fast growing species), tanaman penutup (cover cropt) baik jenis asli (native species) maupun luar (exotic species),dan atau memelihara pertumbuhan alam (natural regeneration). Perpaduan kedua teknik tersebut sangat tepat diterapkan untuk merehabilitasi lahan kritis. Beberapa bentuk tindakan konservasi tersebut adalah (Masaki, 1995):

Teras Tembok (Wet Masory)
Pembuatan bangunan teras tembok atau tembok penahan (wet masonry) bertujuan untuk menghambat aliran air dan erosi, yang dibuat dari konstruksi beton. Pada bagian saluran dibuat sodetan untuk aliran air yang dikombinasi tindakan konservasi vegetatif, seperti penanaman rumput dan cover cropt lain.

Konstruksi ini dipilih apabila terdapat tekanan yang cukup besar dari bagian belakang, yang berasal dari material tanah maupun volume air yang akan datang dan menginginkan tingkat kekokohan yang tinggi pada bagian atas bangunan, misalnya akibat batuan yang lonsor dan lain-lain.

Persyaratan teknis konstruksi tembok penahan adalah:
a. Tinggi konstruksi sampai 3 meter dengan kemiringan mengikuti kelerengan bukit
b. Tempat pembuangan air dibuat 1 buah per 3 m2 supaya tidak terjadi genangan air pada bagian belakang konstruksi
c. Pada bagian belakang dinding beton diberi kerikil untuk meningkatkan permeabilitas tanah, sehingga tidak terjadi genangan saat hujan lebat

Konstruksi ini dipilih apabila terdapat tekanan yang cukup besar dari bagian belakang, yang berasal dari material tanah maupun volume air yang akan datang dan menginginkan tingkat kekokohan yang tinggi pada bagian atas bangunan, misalnya akibat batuan yang lonsor dan lain-lain.

Persyaratan teknis konstruksi tembok penahan adalah:
a. Tinggi konstruksi sampai 3 meter dengan kemiringan mengikuti kelerengan bukit
b. Tempat pembuangan air dibuat 1 buah per 3 m2 supaya tidak terjadi genangan air pada bagian belakang konstruksi
c. Pada bagian belakang dinding beton diberi kerikil untuk meningkatkan permeabilitas tanah, sehingga tidak terjadi genangan saat hujan lebat
Ilustrasi dan contoh bangunan tembok penahan (wet masonry) (Wahyudi, 2014)
Ilustrasi dan contoh bangunan tembok penahan (wet masonry) (Wahyudi, 2014)

Teras Batu (Stone Terrace Works)
Teras batu atau batu penahan (stone terrace works), pada prinsipnya sama dengan teras tembok atau tembok penahan. Pada batu penahan biaya yang digunakan lebih sedikit, namun tingkat

kekuatannya lebih rendah dibanding tembok penahan. Pada teknik ini dapat ditambahkan dengan penanaman rumput, bambu atau tanaman keras karena dapat membantu menjaga kestabilan permukaan tanah.
Contoh bangunan batu penahan dengan kombinasi vegetasi yang mulai berfungsi kembali untuk menata lingkungan
Contoh bangunan batu penahan dengan kombinasi vegetasi yang mulai berfungsi kembali untuk menata lingkungan

Pemasangan Kawat Bronjong (Gabion Works)
Untuk memperkuat konstruksi teras batu, dapat ditambahkan kawat bronjong yang dapat mengikat material batu satu dengan lainnya. Penggunaan kawat bronjong mutlak dilakukan apabila teras batu dibuat bertingkat. Persyaratan teknis antara lain:
a. Tinggi maksimal 2 meter dengan pondasi berupa tancapan kayu yang keras.
b. Menggunakan batu yang keras (tidak mudah lapuk) dan lebih besar dari mata kawat
c. Susunan batu saling mengunci antara yang besar dan kecil sehingga memperkecil rongga yang dapat mengakibatkan bergerak/turunnya pondasi.
d. Segera diikuti konservasi secara vegetatif dengan jenis yang memiliki perakaran kuat dan dalam.
Penggunaan kawat bronjong pada teras batu bertingkat
Penggunaan kawat bronjong pada teras batu bertingkat

Teras Kayu (Log Retaining Works)
Teras kayu disebut juga bangunan kayu penahan (Log Retaining Works), digunakan untuk menahan longsor dalam skala kecil atau tekanan yang tidak besar di belakang dinding penahan. Bangunan ini relatif berumur pendek, oleh karena itu penanaman vegetasi harus segera dilakukan untuk menggantikan fungsi teknik sipilnya, dengan menggunakan fast growing spesies. Persyarat teknis kayu penahan ini adalah:
a. Tinggi bangunan sampai dengan 1 meter dengan pondasi kayu keras.
b. Bila terdapat rongga atau lubang, ditutup dengan rerumputan, cabang, ranting dan lainnya agar tanah tidak hanyut dan mempertahankan kestabilan tanah timbunan.
c. Sangat tepat digunakan pada daerah yang masih banyak tersedia bahan baku gelondongan kayu.
d. Segera dilakukan konservasi vegetatif dengan jenis cepat tumbuh.

Teras Kotak (Log Grib Works)
Pekerjaan teras kotak dilakukan untuk mencegah tumbuhan air hujan dan menahan aliran permukaan sehingga bahaya erosi dan longsor dapat ditekan seminimal mungkin.

Persyarat teknis yang diperlukan adalah:
a. Permukaan tanah diratakan sesuai kelerengan.
b. Pembuatan kotak persegi dilakukan dengan kayu bulat kecil yang diikat satu dengan lainnya membentuk luasan sekitar 2-5 m2. Pekerjaan dimulai dari bawah ke atas.
c. Penutupan kotak dengan kantong-kantong tanah.
d. Apabila terdapat saluran air, dibuatkan gorong-gorong
e. Segera dilakukan penanaman (konservasi vegetatif)
Contoh bangunan teknis (konstruksi) kayu penahan
Contoh bangunan teknis (konstruksi) kayu penahan

Rangkaian pembuatan dan hasil dari teras kotak pada lahan kritis
Rangkaian pembuatan dan hasil dari teras kotak pada lahan kritis

Teras Bambu dan Ranting (Bamboo and Wicker Terrace Works)
Pada prinsipnya teras bambu dan ranting mirip dengan kayu penahan (Log Retaining Works). Perbedaan hanya terletak pada material yang digunakan serta cara pembuatan. Teras bambu dibuat dengan menganyam bambu pada kayu keras yang berfungsi sebagai patok. Sedangkan teras ranting dibuat dengan memanfaatkan sisa-sisa batang dan ranting pohon. Baik teras bambu maupun ranting, segera diikuti dengan konservasi vegetatif, karena usia bambu maupun kayu relatif pendek.
Bangunan teras bambu pada lahan miring
Bangunan teras bambu pada lahan miring

Teras Karung (Soil Bag Terrace Works)
Teras karung dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengurangi erosi dan longsor. Karung yang berisi tanah dan campuran bahan organik, pada awalnya berfungsi sebagai konservasi teknik sipil. Campuran bahan organik yang terdapat dalam karung dapat membantu mempercepat pertumbuhan vegetasi, baik yang sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami, sehingga lambat laun peranan konservasi teknik sipil digantikan dengan konservasi vegetatif.
Bangunan teras karung
Bangunan teras karung

Teras Jerami (Straw Mat Terrace Works)
Bangunan teknis teras jerami dapat digunakan pada lahan dengan kelerengan curam dengan kondisi sangat kritis. Permukaan tanah ditutup dengan hamparan jerami yang diikat sedemikian rupa pada patok-patok yang ditancapkan dalam tanah. Permukaan tanah dapat terlindungi dari pukulan butir-butir hujan serta memperlambat aliran air dan mencegah erosi dan lonsor. Pada bagian bawah kelompok teras jerami dapat dibuat teras batu (Stone terrace) untuk memperkuat konstruksi dan memperlancar saluran drainase.
Pembuatan teras jerami pada lahan miring

Saluran Drainase (Water Channel)
Untuk mendukung bangunan teknik sipil serta upaya konservasi vegetatif, dapat dibuat saluran yang bermuatan konservasi. Saluran ini terutama berguna pada saat turun hujan lebat, dimana volume air yang melimpah perlu disalurkan pada lokasi penampungan atau pembuangan yang aman. Pada prinsipnya saluran drainase dibagi menjadi 3 macam, yaitu saluran terbuka (parit), saluran tertutup dan gorong-gorong.
Beberapa bentuk saluran drainase adalah (Masaki, 1995):
1. Saluran rumput (Ssd water channel works)
Saluran adalah saluran yang dibuat untuk mengalirkan genangan air ketempat yang aman, dengan penutupan permukaan menggunaan tanaman rumput, yang dimaksudkan untuk mengurangi kejadian erosi pada dinding dan dasar saluran.
2. Saluran dari batu (stone water channel works).
3. Saluran batu menggunakan material batu untuk menahan tanah dari gerusan air yang mengalir.
4. Saluran karung (soil bag water channel works)
Saluran karung menggunakan karung berisi kerikil untuk menahan tanah dari gerusan air yang mengalir.
5. Saluran tertutup (catchment pipe culvert)
Saluran tertutup mempunyai permukaan yang relatif rata dengan tanah. Untuk keperluan ini digunakan timbunan batu, agar aliran air kebawah menjadi lancar.
Saluran terbuka tertutup rumput dan saluran tertutup batu.
Saluran terbuka tertutup rumput dan saluran tertutup batu.

6. Gorong-gorong atau knepel
Saluran terbuka dan tertutup atau gorong-gorong
Saluran terbuka dan tertutup atau gorong-gorong

Gorong-gorong adalah lubang saluran air tertutup yang mengalirkan air dari suatu tempat tergenang menuju ketempat lain yang lebih rendah. Gorong-gorong dapat dibuat dari log kayu yang gerowong atau menggunakan tabung besi. Penimbunan dilakukan menggunakan material jalan (tanah), sehingga tidak nampak dari atas. Saluran air yang berfungsi pula untuk penguatan badan jalan disebut knepel. Material knepel biasanya menggunakan kayu keras yang berdiameter kecil, seperti kayu galam (Melaleuca leucadendron), laban (Vitex pubescens), Eucalyptus dan lain-lain.

Sumber
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2008, Profil Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Balitbanghut, Departemen Kehutanan, Bogor
BPPHTIBT, 2002, Buletin Teknologi Reboisasi Edisi 2 Tahun 2002, Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur, Banjarbaru, 2002
Dephut, 1985, Kumpulan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Tahun 1980-1985
Dephut, 1990, Kumpulan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Tahun 1985-1990
Dephut, 1996, Hand Book of Indonesian Forestry, Forestry Department of Republic of Indonesia, Jakarta
Lahjie, A., 2004, Teknik Agroforestry, Universitas Mulawarman Samarinda. ISBN: 979-9276-12-8.
Masaki, I., 1995, The Watershed Management Technology Development Project, Technical Manual Soil Conservation and Forest Road, Japan International Cooperation Agency

Mc Kinnon et.al., 2000, Ekologi Kalimantan, Prenhallindo, Jakarta