Artikel Islam - Ulumul Qur'an tidak lahir sekaligus sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai macam cabang. Ulumul Qur'an menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kesempatan dan kebutuhan untuk membenahi al-Qur’an dari segi keberadaan dan pemahamannya. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim perlu untuk mempelajari sejarah ulumul Qur’an dimana az-Zarqani mengklasifikasikan sejarah Ulumul Qur’an menjadi tiga tahap perjalanan sebagai berikut:
1. Sebelum Masa Kodifikasi
Pada masa Rasulullah Saw. dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat yang merupakan orang-orang Arab asli pada masa itu dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul. Apabila mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, maka mereka menanyakannya langsung kepada Rasul Saw.
Adapun sebab-sebab mengapa Ulumul Qur’an belum dikodifikasikan pada masa Nabi dan Sahabat, yaitu antara lain:
a. Pada umumnya para sahabat adalah ummi (tidak dapat menulis dan membaca), bahkan kurang mengenal adanya bacaan dan tulisan.
b. Terbatasnya alat-alat tulis di kalangan mereka kala itu sehingga mereka menuangkannya pada pelepah kurma, tulang belulang, kulit binatang, dan lain sebagainya. Karena itu tidak mudah bagi mereka untuk membukukan atau mengkodifikasi apa yang mereka dengar dari Rasulullah Saw.
c. Mereka dilarang menulis sesuatu hal selain daripada al-Qur’an karena dikhawatirkan tulisan tersebut akan tercampur aduk dengannya. Sebagaimana ditegaskan Nabi Saw.: Dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Rasul Saw. bersabda:
“Janganlah kalian menulis (apa pun) dariku. Dan barangsiapa menulis selain al-Qur’an, maka sebaiknya ia menghapusnya.” (HR. Muslim)
d. Sahabat adalah orang Arab asli sehingga mereka dapat menikmati al-Qur’an secara langsung dengan ketulusan jiwa, mereka juga dapat menerima, menyerap dan menyampaikan al-Qur’an dengan cepat.
Karena beberapa sebab itulah, Ulumul Qur’an pada masa ini tidak ditulis. Kondisi seperti ini berlangsung selama dua masa kepemimpinan khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan khalifah Umar bin Khattab. Meskipun demikian, generasi sahabat tetap merupakan generasi Islam pertama yang memiliki andil cukup signifikan dalam proses penyebaran ajaran Islam, termasuk di dalamnya Ulumul Qur’an, baik secara talaqqi maupun syafawi, bukan secara tadwini dan kitabah (kodifikasi).
2. Permulaan Masa Kodifikasi
Wilayah Islam pada era khalifah Utsman bin Affan semakin bertambah luas sehingga terjadi perbauran antara masyarakat Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab ('ajam). Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sebagian dari sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab, bahkan lebih dikhawatirkan akan merusak qira'ah al-Qur’an yang menjadi standar bacaan masyarakat arab pada saat itu. Sebagai solusi maka disalinlah dari tulisantulisan aslinya sebuah al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan mushaf imam. Proses penyalinan al-Qur’an ini dilakukan dengan model tulisan ar-rasm alutsmani. Model penulisan al-Qur’an yang kemudian dikenal sebagai ilmu ar-rasm al Utsmani (ilmu rasm al-Qur’an) yang disinyalir oleh sebagian ulama sebagai dasar atau tonggak awal munculnya Ulumul Qur’an. Lalu pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, lahn (kerancuan) dalam bahasa dan berbahasa Arab semakin parah. Untuk membentengi bahasa Arab -dan tentunya al-Qur’an- dari berbagai kesalahan bacaan, maka khalifah Ali memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du'ali untuk membuat kaidah (gramatikal) bahasa Arab. Karena peristiwa ini, sebagian ahli kemudian menyebut Ali sebagai pencetus ilmu Nahwu (gramatikal) atau ilmu I'rab al-Qur’an.
Dari uraian di atas, secara garis besar dapat dikatakan bahwa, perhatian para pembesar sahabat dan tabi'in waktu itu adalah menyebarkan Ulumul Qur’an secara riwayat dan talqin (dari lisan ke lisan), bukan dengan tulisan atau tadwin (kodifikasi). Kendati demikian, apa yang mereka lakukan dapat dikatakan sebagai permulaan proses penulisan atau kodifikasi Ulumul Qur’an.
Para sahabat yang mempunyai andil besar dalam proses periwayatan Ulumul Qur’an secara lisan ke lisan adalah empat khalifah rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Zubair.
Sedangkan dari kalangan tabi'in adalah Mujahid, 'Atha' ‘Ikrimah, Qatadah, Sa'id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, dan Zaid bin Aslam. Mereka semua adalah para tokoh peletak batu pertama ilmu tafsir, ilmu asbabun nuzul, Ilmu nasikh mansukh, ilmu gharib al-Qur’an, dan sebagainya yang notabene adalah bagian dari disiplin ilmu Ulumul Qur’an.
3. Masa Kodifikasi
Kemudian datanglah masa kodifikasi. Di era ini, berbagai kitab tentang Ulamul Qur'an pun ditulis dan dikodifikasikan. Namun, poin yang menjadi prioritas utama para ulama dimasa itu adalah ilmu tafsir, karena ilmu ini dianggap memiliki fungsi yang sangat vital dalam proses pemahaman dan penjelasan isi al-Qur’an. Adapun para penulis pertama dalam bidang tafsir adalah Syu'bah bin al-Hajjaj (160 H), Wali bin al-Jarrah (197 H) dan Sufyan bin Uyainah (198 H). Tafsirtafsir mereka berisi tentang pandangan dan pendapat para sahabat dan tabi'in. Baca Selengkapnya
1. Sebelum Masa Kodifikasi
Pada masa Rasulullah Saw. dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat yang merupakan orang-orang Arab asli pada masa itu dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul. Apabila mereka menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, maka mereka menanyakannya langsung kepada Rasul Saw.
Adapun sebab-sebab mengapa Ulumul Qur’an belum dikodifikasikan pada masa Nabi dan Sahabat, yaitu antara lain:
a. Pada umumnya para sahabat adalah ummi (tidak dapat menulis dan membaca), bahkan kurang mengenal adanya bacaan dan tulisan.
b. Terbatasnya alat-alat tulis di kalangan mereka kala itu sehingga mereka menuangkannya pada pelepah kurma, tulang belulang, kulit binatang, dan lain sebagainya. Karena itu tidak mudah bagi mereka untuk membukukan atau mengkodifikasi apa yang mereka dengar dari Rasulullah Saw.
c. Mereka dilarang menulis sesuatu hal selain daripada al-Qur’an karena dikhawatirkan tulisan tersebut akan tercampur aduk dengannya. Sebagaimana ditegaskan Nabi Saw.: Dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa Rasul Saw. bersabda:
“Janganlah kalian menulis (apa pun) dariku. Dan barangsiapa menulis selain al-Qur’an, maka sebaiknya ia menghapusnya.” (HR. Muslim)
d. Sahabat adalah orang Arab asli sehingga mereka dapat menikmati al-Qur’an secara langsung dengan ketulusan jiwa, mereka juga dapat menerima, menyerap dan menyampaikan al-Qur’an dengan cepat.
Karena beberapa sebab itulah, Ulumul Qur’an pada masa ini tidak ditulis. Kondisi seperti ini berlangsung selama dua masa kepemimpinan khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq dan khalifah Umar bin Khattab. Meskipun demikian, generasi sahabat tetap merupakan generasi Islam pertama yang memiliki andil cukup signifikan dalam proses penyebaran ajaran Islam, termasuk di dalamnya Ulumul Qur’an, baik secara talaqqi maupun syafawi, bukan secara tadwini dan kitabah (kodifikasi).
2. Permulaan Masa Kodifikasi
Wilayah Islam pada era khalifah Utsman bin Affan semakin bertambah luas sehingga terjadi perbauran antara masyarakat Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab ('ajam). Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sebagian dari sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa Arab, bahkan lebih dikhawatirkan akan merusak qira'ah al-Qur’an yang menjadi standar bacaan masyarakat arab pada saat itu. Sebagai solusi maka disalinlah dari tulisantulisan aslinya sebuah al-Qur’an yang kemudian dikenal dengan mushaf imam. Proses penyalinan al-Qur’an ini dilakukan dengan model tulisan ar-rasm alutsmani. Model penulisan al-Qur’an yang kemudian dikenal sebagai ilmu ar-rasm al Utsmani (ilmu rasm al-Qur’an) yang disinyalir oleh sebagian ulama sebagai dasar atau tonggak awal munculnya Ulumul Qur’an. Lalu pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, lahn (kerancuan) dalam bahasa dan berbahasa Arab semakin parah. Untuk membentengi bahasa Arab -dan tentunya al-Qur’an- dari berbagai kesalahan bacaan, maka khalifah Ali memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du'ali untuk membuat kaidah (gramatikal) bahasa Arab. Karena peristiwa ini, sebagian ahli kemudian menyebut Ali sebagai pencetus ilmu Nahwu (gramatikal) atau ilmu I'rab al-Qur’an.
Dari uraian di atas, secara garis besar dapat dikatakan bahwa, perhatian para pembesar sahabat dan tabi'in waktu itu adalah menyebarkan Ulumul Qur’an secara riwayat dan talqin (dari lisan ke lisan), bukan dengan tulisan atau tadwin (kodifikasi). Kendati demikian, apa yang mereka lakukan dapat dikatakan sebagai permulaan proses penulisan atau kodifikasi Ulumul Qur’an.
Para sahabat yang mempunyai andil besar dalam proses periwayatan Ulumul Qur’an secara lisan ke lisan adalah empat khalifah rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Zaid bin Tsabit, dan Abdullah bin Zubair.
Sedangkan dari kalangan tabi'in adalah Mujahid, 'Atha' ‘Ikrimah, Qatadah, Sa'id bin Jubair, al-Hasan al-Bashri, dan Zaid bin Aslam. Mereka semua adalah para tokoh peletak batu pertama ilmu tafsir, ilmu asbabun nuzul, Ilmu nasikh mansukh, ilmu gharib al-Qur’an, dan sebagainya yang notabene adalah bagian dari disiplin ilmu Ulumul Qur’an.
3. Masa Kodifikasi
Kemudian datanglah masa kodifikasi. Di era ini, berbagai kitab tentang Ulamul Qur'an pun ditulis dan dikodifikasikan. Namun, poin yang menjadi prioritas utama para ulama dimasa itu adalah ilmu tafsir, karena ilmu ini dianggap memiliki fungsi yang sangat vital dalam proses pemahaman dan penjelasan isi al-Qur’an. Adapun para penulis pertama dalam bidang tafsir adalah Syu'bah bin al-Hajjaj (160 H), Wali bin al-Jarrah (197 H) dan Sufyan bin Uyainah (198 H). Tafsirtafsir mereka berisi tentang pandangan dan pendapat para sahabat dan tabi'in. Baca Selengkapnya