a. Menerima Adanya Nasakh
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Berdasarkan dalil dalil sebagai berikut
(1) Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba- Nya
(2) Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2:106
Artinya :
Ayat mana saja[81] yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al Isfahani. Kemudian diikuti oleh para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah:
(1) Sekiranya dalam Al-Qur’an ada nasakh, maka berarti dalam Al-Qur’an ada yang salah atau batal. Sedang dalam Al-Qur’an dinyatakan tidak ada kebatalan (QS.41:42)
Artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
(2) Dalil yang dijadikan alasan nasakh perlu peninjauan lebih lanjut. Lafaz اية tidak hanya berarti ayat Al-Qur’an tetapi dapat berarti mu’jizat, dapat juga berarti kitab sebelum Al Qur’an (Taurat, Zabur, dan Injil) disamping itu kata nasakh mempunyai arti bermacam macam. Maka lafaz ننسخ dalam ayat 106 Surah Al-Baqarah dapat diartikan “kami menukilkan” atau “Kami memindahkan” ayat Al-Qur’an dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia
(3) Tidak ada kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah dinasakh.
(4) Tidak ada penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya nasakh.
(5) Adanya ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum bisa menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga telah dinasikh-kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsikh, atau taqyid atau ta’wil atau dengan cara lain.
Ulama-ulama yang menerima adanya nasakh berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’. Berdasarkan dalil dalil sebagai berikut
(1) Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Allah bisa saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba- Nya
(2) Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2:106
Artinya :
Ayat mana saja[81] yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
b. Menolak Adanya Nasakh
Diantara yang menolak adanya nasakh adalah Abu Muslim al Isfahani. Kemudian diikuti oleh para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah:
(1) Sekiranya dalam Al-Qur’an ada nasakh, maka berarti dalam Al-Qur’an ada yang salah atau batal. Sedang dalam Al-Qur’an dinyatakan tidak ada kebatalan (QS.41:42)
Artinya: “Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
(2) Dalil yang dijadikan alasan nasakh perlu peninjauan lebih lanjut. Lafaz اية tidak hanya berarti ayat Al-Qur’an tetapi dapat berarti mu’jizat, dapat juga berarti kitab sebelum Al Qur’an (Taurat, Zabur, dan Injil) disamping itu kata nasakh mempunyai arti bermacam macam. Maka lafaz ننسخ dalam ayat 106 Surah Al-Baqarah dapat diartikan “kami menukilkan” atau “Kami memindahkan” ayat Al-Qur’an dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia
(3) Tidak ada kesepakatan para ulama berapa jumlah ayat yang telah dinasakh.
(4) Tidak ada penegasan dari Nabi tentang ada atau tidaknya nasakh.
(5) Adanya ayat yang nampaknya bertentangan dan yang mungkin belum dapat dikompromikan, belum bisa menjadi jaminan adanya nasakh. Ternyata banyak ayat yang semula diduga telah dinasikh-kan, dapat dikompromikan dengan jalan takhsikh, atau taqyid atau ta’wil atau dengan cara lain.