Degradasi tanah di Indonesia yang paling dominan adalah erosi. Proses ini telah berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian. Jenis degradasi yang lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, aktivitas penambangan dan industri, serta dalam arti luas termasuk juga konversi lahan pertanian ke nonpertanian.
Jenis-jenis Degradasi Tanah
Erosi Tanah
Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup tinggi dan telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut hingga kini. Pada tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan ditanami tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981). Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung, Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-10 % yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).
Di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah Ultisols berlereng 3,5 % yang ditanami tanaman pangan semusim. Pada tanah Ultisols berlereng 14 % di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985).Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton tanah/ha lahan tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/ ha/tahun, dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7 ton/ha/tahun. Data menunjukkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9 juta ha. Bahkan Departemen Kehutanan mengidentifikasi luas lahan kritis mencapai 13,2 juta ha. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor.
Pencemaran Tanah dan Kebakaran Hutan
Selain terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas akibat penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat kimia dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Hasil penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat, organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata et al. 1999; Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al. 1999). Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti pertambangan emas liar di Pongkor, Bogor, yang menyebabkan pencemaran air raksa (Hg) dengan kadar 1,27-6,73 ppm sampai jarak 7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran tanah juga ditemukan di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan pencemarantanah antara lain adalah Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu Tanah 2000). Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun, terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-PB dalam Kartodihardjo (2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi 193 kali kebakaran hutan, yang mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta benda senilai Rp 647 miliar. Menurut Bappenas (1998), sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia terbakar selama musim kering 1997 dan 1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran gambutseluas 0,5 juta ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan 1983.
Selain tanaman dan sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al. (2000), kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut. Kerugian lainnya berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan manusia dan hewan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002).
Banjir, Longsor, dan Konversi Lahan
Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor, yang membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya. Proses ini menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi kejadian maupun areal yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Proses degradasi lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang tergolong sangat cepat menurunkan bahkan menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan nonpertanian.
Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,6 juta ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et al. 2001). Winoto (2005) menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah beririgasi (3,1 juta ha) telah direncanakan untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa dan Bali, karena 1,67 juta ha atau 49,2% dari luas lahan sawah berpotensi untuk dikonversi.
Jenis-jenis Degradasi Tanah
Erosi Tanah
Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup tinggi dan telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut hingga kini. Pada tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan ditanami tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo 1981). Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung, Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-10 % yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).
Di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah Ultisols berlereng 3,5 % yang ditanami tanaman pangan semusim. Pada tanah Ultisols berlereng 14 % di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985).Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton tanah/ha lahan tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/ ha/tahun, dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7 ton/ha/tahun. Data menunjukkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9 juta ha. Bahkan Departemen Kehutanan mengidentifikasi luas lahan kritis mencapai 13,2 juta ha. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor.
Pencemaran Tanah dan Kebakaran Hutan
Selain terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan kualitas akibat penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat kimia dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Hasil penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di Jawa, seperti organofosfat, organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata et al. 1999; Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al. 1999). Pencemaran tanah juga terjadi di daerah pertambangan, seperti pertambangan emas liar di Pongkor, Bogor, yang menyebabkan pencemaran air raksa (Hg) dengan kadar 1,27-6,73 ppm sampai jarak 7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran tanah juga ditemukan di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan pencemarantanah antara lain adalah Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu Tanah 2000). Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun, terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-PB dalam Kartodihardjo (2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi 193 kali kebakaran hutan, yang mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta benda senilai Rp 647 miliar. Menurut Bappenas (1998), sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia terbakar selama musim kering 1997 dan 1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran gambutseluas 0,5 juta ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan 1983.
Selain tanaman dan sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al. (2000), kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut. Kerugian lainnya berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup, kesehatan manusia dan hewan, serta kelancaran transportasi (Musa dan Parlan 2002).
Banjir, Longsor, dan Konversi Lahan
Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor, yang membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya. Proses ini menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi kejadian maupun areal yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat tersebut. Proses degradasi lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang tergolong sangat cepat menurunkan bahkan menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan nonpertanian.
Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,6 juta ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et al. 2001). Winoto (2005) menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah beririgasi (3,1 juta ha) telah direncanakan untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa dan Bali, karena 1,67 juta ha atau 49,2% dari luas lahan sawah berpotensi untuk dikonversi.