Artikel Pendidikan - Makalah Hukum Acara Pidana membahas tentang Pengertian Hukum Acara Pidana, Sejarah Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Tujuan Hukum Acara Pidana dan Sumber Hukum Acara Pidana
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun makna dari negara hukum yaitu bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Ungkapan bahasa latin “Quid sine leges moribus” yang bermakna apalah artinya suatu hukum jika tidak didukung oleh perilaku yang baik dari masyarakatnya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya meningkatkan kesadaran masyarakat kepada hukum dengan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen.
Penegakan hukum secara umum dapat diartikan sebagai penerapan hukum di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berorientasi kepada keadilan. Secara khusus penegakan hukum dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan di dalam sistem peradilan (pidana) yang bersifat preventif, represif, dan edukatif. Penegakan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang merupakan komponen integral dari pembangunan nasional.
Dalam menegakkan dan mewujudkan kepastian hukum, tindakan aparatur penegak hukum secara formal harus ada pengaturannya, agar tindakannya tidak kontradiktif dengan undang-undang. Artinya, tidak hanya mengacu kepada ketentuan hukum pidana materiil, tetapi juga mengacu kepada hukum pidana formal, yang lazim disebut Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana merupakan hukum formal yang di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang bagaimana suatu proses beracara dalam rangka penegakan hukum pidana (hukum materiil). Dalam ketentuan Hukum Acara Pidana dijabarkan bagaimana proses penangkapan suatu kasus pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga proses pengadilannya.
Pembahasan
A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA
Dalam bahasa Belanda, Hukum Acara Pidana atau hukum pidana formal disebut dengan “Strafvordering”, dalam bahasa Inggris disebut “Criminal Procedure Law”, dalam bahasa Perancis “Code d’instruction Criminelle”, dan di Amerika Serikat disebut “Criminal Procedure Rules”. Simon berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dan dengan demikian termasuk acara pidananya (Het formele strafrecht regelt hoe de Staat door middel van zijne organen zijn recht tot straffen en strafoolegging doet gelden, en omvat dus het strafproces ). Hal ini dibedakan dari hukum pidana material, atau hukum pidana yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan; mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Menurut Van Bemmelen ilmu hukum acara pidana berarti mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.
Sedangkan menurut Van Hattum, hukum pidana formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata (Het formele strafrecht bevat de voorshriften volges welke het abstracte strafrech in concretis tot gelding moet worden gebracht ). Satochid Kertanegara menyatakan bahwa Hukum Acara Pidana sebagai hukum pidana dalam arti “concreto” yaitu mengandung peraturan mengenai bagaimana hukum pidana in abstracto dibawa ke dalam suatu in concreto. Baca Selengkapnya...
B. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Hukum Acara Pidana pada masyarakat tradisional sebenarnya telah ada sejak sebelum zaman kolonial, sudah ada dalam pemerintahan raja–raja pada waktu itu, namun belum dibuat dalam bentuk tertulis dan masih merupakan hukum adat. Dalam setiap perbuatan yang mengganggu keseimbangan atau hubungan harmonis kehidupan yang terjadi pada waktu itu, yang merupakan pelanggaran hukum (adat) maka para penegak hukum akan berusaha mengembalikan keseimbangan yang sudah terganggu disebabkan pelanggaran tersebut. Baca Selengkapnya...
C. TUJUAN HUKUM ACARA PIDANA
Timbulnya penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundangundangan baru terutama sejak pemerintah Orde Baru cukup menggembirakan dan merupakan titik cerah dalam kehidupan hukum di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah disusunnya KUHAP.
Apabila diteliti beberapa pertimbangan yang menjadi alasan disusunnya KUHAP maka secara singkat KUHAP memiliki lima tujuan sebagai berikut:
1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa).
2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan.
3. Kodifikasi dan unifikasi Hukum Acara Pidana.
4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
5. Mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah dirumuskan mengenai tujuan Hukum Acara Pidana yakni
“Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” Jika menilik rumusan tersebut di atas maka dapat dirinci tujuan Hukum Acara Pidana sebagai berikut.
1. Suatu kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melalui penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana secara tepat dan jujur.
2. Menentukan subyek hukum berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan suatu tindak pidana.
3. Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan orang yang didakwa itu.
Tujuan Hukum Acara Pidana ini sejalan dengan fungsi hukum menurut van Bemmelen yaitu mencari dan menemukan kebenaran, pemberian keputusan oleh hakim, dan pelaksanaan keputusan.
D. SUMBER HUKUM ACARA PIDANA
Adapun beberapa sumber dasar Hukum Acara Pidana sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan UUD 1945 yang langsung mengenai Hukum Acara Pidana adalah Pasal 24 ayat (1): kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat (2): susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25: syaratsyarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan kedua pasal ini mengatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang kedudukannya para hakim. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945; segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209.
3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009, LN 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.
Kesimpulan
Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum yang mengatur tentang kaidah dalam beracara di seluruh proses peradilan pidana, sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan di dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil.
Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia
Pada zaman penjajahan Belanda diberlakukan IR dan HIR. Saat Jepang masuk menjajah Indonesia tidak banyak terjadi perubahan yang mendasar tentang hukum. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia HIR diganti menjadi RIB. Awal proses rancangan KUHAP dimulai pada tahun 1965. Namun baru pada tahun 1979 RUUHAP yang merupakan draft ke-5 diserahkan ke DPR-RI untuk dibagas dan mendapatkan persetujuan. Tanggal 9 September 1981 RUUHAP disetujui dan disahkan pada tanggal 31 September 1981 oleh presiden dan menjadi UU No. 8 Tahun 1981, dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tujuan Hukum Acara Pidana
a. Suatu kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melalui penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana secara tepat dan jujur.
b. Menentukan subyek hukum berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan suatu tindak pidana.
c. Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan orang yang didakwa itu.
Sumber Hukum Acara Pidana
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209.
c. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009, LN 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
d. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.
Daftar Pustaka
Andi Hamzah, 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, hlm. 51-54.
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 35.
Satochid Kertanegara, Hukum Pidana I (kumpulan kuliah), Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm. 2.
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 3.
Wiryono Prodjodikoro, 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta, hlm. 13.
Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, CV. Armico, Bandung, hlm. 189.
Abdoel Djamali, 2010, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Presda, Jakarta, hlm. 199.
Bambang Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 25.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun makna dari negara hukum yaitu bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Ungkapan bahasa latin “Quid sine leges moribus” yang bermakna apalah artinya suatu hukum jika tidak didukung oleh perilaku yang baik dari masyarakatnya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya meningkatkan kesadaran masyarakat kepada hukum dengan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen.
Penegakan hukum secara umum dapat diartikan sebagai penerapan hukum di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berorientasi kepada keadilan. Secara khusus penegakan hukum dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan di dalam sistem peradilan (pidana) yang bersifat preventif, represif, dan edukatif. Penegakan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang merupakan komponen integral dari pembangunan nasional.
Dalam menegakkan dan mewujudkan kepastian hukum, tindakan aparatur penegak hukum secara formal harus ada pengaturannya, agar tindakannya tidak kontradiktif dengan undang-undang. Artinya, tidak hanya mengacu kepada ketentuan hukum pidana materiil, tetapi juga mengacu kepada hukum pidana formal, yang lazim disebut Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana merupakan hukum formal yang di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang bagaimana suatu proses beracara dalam rangka penegakan hukum pidana (hukum materiil). Dalam ketentuan Hukum Acara Pidana dijabarkan bagaimana proses penangkapan suatu kasus pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga proses pengadilannya.
Pembahasan
A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA
Dalam bahasa Belanda, Hukum Acara Pidana atau hukum pidana formal disebut dengan “Strafvordering”, dalam bahasa Inggris disebut “Criminal Procedure Law”, dalam bahasa Perancis “Code d’instruction Criminelle”, dan di Amerika Serikat disebut “Criminal Procedure Rules”. Simon berpendapat bahwa Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dan dengan demikian termasuk acara pidananya (Het formele strafrecht regelt hoe de Staat door middel van zijne organen zijn recht tot straffen en strafoolegging doet gelden, en omvat dus het strafproces ). Hal ini dibedakan dari hukum pidana material, atau hukum pidana yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan; mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Menurut Van Bemmelen ilmu hukum acara pidana berarti mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.
Sedangkan menurut Van Hattum, hukum pidana formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata (Het formele strafrecht bevat de voorshriften volges welke het abstracte strafrech in concretis tot gelding moet worden gebracht ). Satochid Kertanegara menyatakan bahwa Hukum Acara Pidana sebagai hukum pidana dalam arti “concreto” yaitu mengandung peraturan mengenai bagaimana hukum pidana in abstracto dibawa ke dalam suatu in concreto. Baca Selengkapnya...
B. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Hukum Acara Pidana pada masyarakat tradisional sebenarnya telah ada sejak sebelum zaman kolonial, sudah ada dalam pemerintahan raja–raja pada waktu itu, namun belum dibuat dalam bentuk tertulis dan masih merupakan hukum adat. Dalam setiap perbuatan yang mengganggu keseimbangan atau hubungan harmonis kehidupan yang terjadi pada waktu itu, yang merupakan pelanggaran hukum (adat) maka para penegak hukum akan berusaha mengembalikan keseimbangan yang sudah terganggu disebabkan pelanggaran tersebut. Baca Selengkapnya...
C. TUJUAN HUKUM ACARA PIDANA
Timbulnya penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundangundangan baru terutama sejak pemerintah Orde Baru cukup menggembirakan dan merupakan titik cerah dalam kehidupan hukum di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah disusunnya KUHAP.
Apabila diteliti beberapa pertimbangan yang menjadi alasan disusunnya KUHAP maka secara singkat KUHAP memiliki lima tujuan sebagai berikut:
1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa).
2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan.
3. Kodifikasi dan unifikasi Hukum Acara Pidana.
4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum.
5. Mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah dirumuskan mengenai tujuan Hukum Acara Pidana yakni
“Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” Jika menilik rumusan tersebut di atas maka dapat dirinci tujuan Hukum Acara Pidana sebagai berikut.
1. Suatu kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melalui penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana secara tepat dan jujur.
2. Menentukan subyek hukum berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan suatu tindak pidana.
3. Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan orang yang didakwa itu.
Tujuan Hukum Acara Pidana ini sejalan dengan fungsi hukum menurut van Bemmelen yaitu mencari dan menemukan kebenaran, pemberian keputusan oleh hakim, dan pelaksanaan keputusan.
D. SUMBER HUKUM ACARA PIDANA
Adapun beberapa sumber dasar Hukum Acara Pidana sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan UUD 1945 yang langsung mengenai Hukum Acara Pidana adalah Pasal 24 ayat (1): kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat (2): susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Pasal 25: syaratsyarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan kedua pasal ini mengatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang kedudukannya para hakim. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945; segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209.
3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009, LN 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
4. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.
Kesimpulan
Pengertian Hukum Acara Pidana
Hukum yang mengatur tentang kaidah dalam beracara di seluruh proses peradilan pidana, sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan keputusan oleh pengadilan, upaya hukum dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan di dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil.
Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia
Pada zaman penjajahan Belanda diberlakukan IR dan HIR. Saat Jepang masuk menjajah Indonesia tidak banyak terjadi perubahan yang mendasar tentang hukum. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia HIR diganti menjadi RIB. Awal proses rancangan KUHAP dimulai pada tahun 1965. Namun baru pada tahun 1979 RUUHAP yang merupakan draft ke-5 diserahkan ke DPR-RI untuk dibagas dan mendapatkan persetujuan. Tanggal 9 September 1981 RUUHAP disetujui dan disahkan pada tanggal 31 September 1981 oleh presiden dan menjadi UU No. 8 Tahun 1981, dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Tujuan Hukum Acara Pidana
a. Suatu kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melalui penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana secara tepat dan jujur.
b. Menentukan subyek hukum berdasarkan alat bukti yang sah, hingga dapat didakwa melakukan suatu tindak pidana.
c. Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan orang yang didakwa itu.
Sumber Hukum Acara Pidana
a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No. 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, Tambahan Lembar Negara Nomor 3209.
c. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009, LN 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
d. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung.
Daftar Pustaka
Andi Hamzah, 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, hlm. 51-54.
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 35.
Satochid Kertanegara, Hukum Pidana I (kumpulan kuliah), Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, hlm. 2.
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 3.
Wiryono Prodjodikoro, 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Jakarta, hlm. 13.
Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, CV. Armico, Bandung, hlm. 189.
Abdoel Djamali, 2010, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Presda, Jakarta, hlm. 199.
Bambang Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hlm. 25.