Asas Dalam Hukum Acara Pidana

Beberapa Asas Dalam Hukum Acara PidanaMenurut Mark Constanzo Hukum Acara Pidana memiliki asas-asas yang abstrak sifatnya terhadap kasus-kasus tertentu. Beberapa asas yang dianut dalam Hukum Acara Pidana sebagai berikut:

(1) Asas legalitas yang berarti bahwa setiap perbuatan pidana harus dituntut.
Penyimpangan terhadap asas ini dikenal dengan asas oportunitas yang berarti bahwa demi kepentingan umum, Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana;

(2) Asas diferensiasi fungsional. Artinya, setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain;

(3) Asas lex scripta yang berarti bahwa Hukum Acara Pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis;

(4) Asas lex stricta yang menyatakan bahwa aturan dalam Hukum Acara Pidana harus ditafsirkan secara ketat. Konsekuensi selanjutnya, ketentuan dalam Hukum Acara Pidana tidak dapat ditafsirkan selain dari apa yang tertulis.


Terhadap asas ketiga dan keempat dapat dipahami karena karakter dari Hukum Acara Pidana pada hakikatnya adalah mengekang hak asasi manusia. Oleh karena itu, di satu sisi negara diberi kewenangan untuk mengambil segala tindakan dalam rangka penegakan hukum, akan tetapi di sisi yang lain kewenangan itu harus dibatasi oleh undang-undang secara ketat. Demikian pula setiap warga negara yang berurusan dengan hukum dapat melakukan gugatan terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum sepanjang gugatan tersebut secara expresiv verbis tertuang dalam undang-undang.

Republik Indonesia adalah negara hukum, pengertian negara hukum lazim disebut “rule of law”. Konsep negara hukum atau rule of law bersifat universal bersendi kepada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, legalitas dari tindakan negara/pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas.

Konsekuensi logis dari konsepsi negara hukum yang demikian berarti bahwa semua produk legislasi hendaknya mencerminkan sendi-sendi tersebut, terutama Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Pencerminan sendi-sendi tersebut dalam bidang Hukum Acara Pidana terlihat dari asas-asas yang dijadikan dasar bagi Hukum Acara Pidana, yang diakomodasi oleh KUHAP dari berbagai sistem hukum, baik sistem civil law yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental, maupun sistem common law yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon.

Untuk mencapai tujuan memberikan perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia maka asas-asas penegakan hukum yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan lagi dalam KUHAP guna menjiwai setiap pasal atau ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Asas-asas tersebut:

1. Asas Legalitas dalam Upaya Paksa (perintah tertulis dari yang berwenang)
Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam undang undang.

2. Asas Legal Assistance (tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan hukum)

Pasal 54 KUHAP berbunyi:
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkatan pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Dalam pasal tersebut telah dijelaskan bahwa asas ini diberikan semata-mata untuk kepentingan pembelaan tersangka/terdakwa. Maksudnya yaitu untuk menghindari kemungkinan bahwa terdakwa diperiksa dan diadili di sidang pengadilan atas suatu tindakan yang didakwakan atas dirinya, tidak dimengerti olehnya. Karena ia memang tidak mempunyai pengetahuan tentang strategi dan taktik untuk membela hak-hak pribadinya, serta tidak tahu bagaimana seharusnya berbicara di pengadilan. Asas ini diatur dalam Pasal 69 - 74 KUHAP.

3. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan dalam sidang di pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, arti langsung di sini adalah langsung kepada terdakwa dan para saksi. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara perdata yang di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan oleh hakim juga dapat dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis sebagaimana antara hakim dan terdakwa. Dasar hukum mengenai ketentuan di atas diatur dalam Pasal 154,155 KUHAP, dan seterusnya.
Dari asas langsung tersebut yang dipandang sebagai pengecualian ialah kemungkinan dari putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau in absentia. Perlu digarisbawahi bahwa ini merupakan pengecualian yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan yang diatur dalam Pasal 213 KUHAP berbunyi: “Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang”.

4. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of innocence)
Asas praduga tidak bersalah merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang fundamental. Terdapat dalam peraturan perundang-undangan internasional maupun nasional berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Dokumen internasional terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 1948 yang menyatakan: “Everyone change with a penal offence has the right to be persumed innocent until proved guilty according to law in public trial at which he has all quarantees necessary for his defence.”

5. Asas Remedy and Rehabilitation (pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut)
Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan konsekuensi sanksinya bagi para pejabat penegak hukum tersebut apabila dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi.37 Tersangka, Terdakwa, Terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang atau kekeliruan orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan. Dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa baik ketika perkara pidananya diperiksa maupun setelah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap perkara pidana yang bersangkutan.

6. Asas Fair, Impartial, Impersonal, and Objective
(peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak) Termuat dalam Pasal 2 ayat 4 Undang undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” “Sederhana” di sini artinya adalah, pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. “Biaya ringan” artinya adalah biaya perkara yang dapat di jangkau oleh masyarakat banyak.38 Isilah “Cepat” sendiri diartikan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim, hal tersebut tidak boleh lepas dari perwujudan hak asasi manusia. Begitu pula dengan peradilan bebas yang jujur, dan tidak memihak pihak manapun sebagaimana ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.

7. Asas keterbukaan (sidang/pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum)
Pada prinsipnya, semua persidangan harus dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali hal yang diatur dalam undang-undang. Perlu digarisbawahi sebelumnya, dinyatakan dengan tegas bahwa yang diartikan terbuka untuk umum adalah pemeriksaan pengadilannya, jadi pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak terbuka untuk umum.

8. Asas Pengawasan
Pemeriksaan di muka umum sidang pengadilan bersifat akuator, yang berarti si terdakwa mempunyai kedudukan sebagai “pihak” yang sederajat menghadapi pihak lawannya, yaitu Penuntun Umum. Seolah-olah kedua belah pihak itu sedang “bersengketa” di muka hakim, yang nanti akan memutuskan “persengketaan” tersebut. Pengawasan di sini adalah pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana. Adapun pemeriksaan dalam sidang pengadilan bertujuan meneliti dan menyaring apakah suatu tindak pidana itu benar atau tidak, apakah buktibukti yang dimajukan sah atau tidak, apakah pasal dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dilanggar itu sesuai perumusannya dengan tindakan pidana yang telah terjadi itu.

9. Asas equality before the law/asas Isonamia/asas persamaan di muka hukum
Adalah perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya.46 Maksud perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan adalah bahwa di depan pengadilan kedudukan semua orang sama, maka mereka harus diperlakukan sama. Ketentuan atas asas tersebut dinyatakan dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa, ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda bedakan orang”.

10. Asas Presentasi (hadirnya terdakwa)
Pelaksanaan pengadilan yang memeriksa perkara pidana dengan menghadirkan terdakwa.

11. Asas “Miranda Rule”
Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan terhadap dirinya, ialah wajib diberitahu yang jelas mengenai dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan terhadap terdakwa, dan juga wajib diberitahukan hak-haknya termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum yang dimiliki tersangka/terdakwa.

12. Asas Oportunitas
Dalam Hukum Acara Pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Di Indonesia disebut juga Jaksa.

13. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusator dan Inquisitoir)
Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Sebagaimana telah diketahui, asas inkisitor itu berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu pada pemeriksaan perkara-perkara politik, berlaku asas inkisitor