Dampak Korupsi Terhadap Politik, Demokrasi dan Penegakan Hukum

Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi
Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India menempati peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia. Meskipun India adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda. Sebaliknya, di Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik yang lama berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara demokrasi. Skor indeks persepsi korupsi Singapura adalah 87, menempati peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda. Dalam kasus India dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya korupsi.


Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi sejak tahun 1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia sudah tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi 2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.

Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi

Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi tampak tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu negara.
Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi. 

Negara-negara demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural. Yang sudah berjalan adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum.
Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat memanipulasi pemilihan umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan.

Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya kedua undang-undang tersebut dinilai tidak mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena undang-undang yang dibuat dianggap tidak sempurna yaitu sesuai dengan perkembangan zaman, padahal undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun pada saat membuat peraturan perundang-undangan ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak pidana korupsi baik dari segi waktu maupun keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji semu yang diperoleh mereka ketika melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan mengabaikan masyarakat.

Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971. kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga negara independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum

Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut dengan sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah menggerogoti kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai pelaksanaan produk hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian antara undang-undang yang dibuat dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan politik yang melindungi pejabat-pejabat negara. 

Sejak dikeluarkannya undang-undang tahun 1960, gagalnya pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara terlalu turut campur dalam pemberantasan urusan penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur proses jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak pidana di Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk mengadili pejabat tinggi yang melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada domen teknologos, hukum pidana korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga banyak koruptor yang diseret ke pengadilan dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.