Dampak Korupsi Terhadap Peratahanan Keamanan dan Kerusakan Lingkungan

Korupsi di Bidang Pertahanan dan Keamanan belum dapat disentuh oleh agen-agen pemberantas kosupsi. Dalam bidang Pertahanan dan Keamanan, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata dan kepolisian serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum TNI/Polri yang seringkali berlindung di balik institusi Pertahanan dan Keamanan.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria Samego (1998) mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:


  1. Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN
  2. Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
  3. Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
  4. Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.



Kebanyakan manusia menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai bahan eksploitasi untuk tujuan jangka pendek. Kondisi ini tentu sangat medesak untuk segera dikendalikan. Perlu diadakan suatu sistem yang konkrit untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Jika tidak, kerusakan lingkungan hidup sudah pasti akan menjadi ancaman besar bagi peradaban masyarakat dunia. Paradigma yang menempatkan lingkungan sebagai obyek eksploitasi telah membawa kerusakan lingkungan fatal yang berujung kepada berbagai bencana alam yang sangat merugikan. Hal ini pun dikuatkan oleh Emil Salim yang menyimpulkan bahwa ada lima tantangan besar yang harus dihadapi gerakan penyelamatan lingkungan hidup, diantaranya : pertama adalah penyelematan air dari eksploitasi secara berlebihan dan pecemaran yang kian meningkat, baik air tanah, sungai, danau, rawa, maupun air laut. Kedua, merosotnya kualitas tanah dan hutan akibat tekanan penduduk dan eksploitasi besar-besaran untuk keperluan pembangunan. Ketiga, menciutnya keanekaan hayati akibat rusaknya habitat lingkungan berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan. Keempat, perubahan iklim, dan yang terakhir adalah meningkatnya jumlah kota-kota berpenduduk banyak.

Dampak Korupsi Terhadap Peratahanan Keamanan dan Kerusakan Lingkungan

Melihat kerusakan lingkungan hutan yang begitu parah seharusnya sudah membuat negara ini menindak dengan keras terhadap pelaku-pelaku kejahatan kerusakan lingkungan, terutama yang disertai praktik KKN. Dalam praktik KKN di ranah lingkungan hidup yang patut diwaspadai adalah para pelaku perusak lingkungan yang datang dari kalangan pemodal besar seperti perusahaan-perusahaan besar yang terlibat di sektor kehutanan maupun pertambangan. Hal ini ditegaskan oleh mantan wakil ketua KPK Chandra Hamzah dalam sebuah worksop investigasi kasus lingkungan di Jakarta, dimana menurutnya, perusahaan-perusahaan yang melakukan kerusakan terhadap alam umumnya sulit ditindak karena mereka mengantongi izin usaha yang cukup. 
Karena itu menurutnya, yang perlu diwaspadai adalah proses kontrol administrasi dalam pemberian izin sebelum perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi. Baik itu izin usaha baik dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat. Lalu menurut beliau, perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bidang kehutanan namun pada RKAT tahun berikutnya tercatat memiliki jumlah keuntungan yang sangat besar, maka patut dicurigai perusahan tersebut mendapatkan hasil bukan dari pohon-pohon yang mereka tanam melainkan dari hutan-hutan alam yang seharusnya tidak boleh ditebang.
Permasalahan yang terjadi, masyarakat kita kurang peduli akan kerugian ekologis ini, seringkali pelaku-pelaku usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hanya terfokus mengenai ganti rugi terhadap penduduk setempat.  Memang benar ganti rugi itu perlu bahkan itu kewajiban mereka, namun ganti kerugian oleh para pelaku usaha jangan hanya sebatas ganti rugi materi kepada manusia, namun juga kepada alam. Alam yang rusak tidak bisa diperbaiki hanya dengan semalam perlu waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin saja kerusakan tersebut tidak akan bisa diperbaiki.

DAFTAR PUSTAKA
MM.Khan. 2000. Political And Administrative Corruption Annota Ted Bibliography.
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas Tindak Pidana.