Perkara yang Membatalkan Puasa Menurut Imam Syafi'i

Perkarayang Membatalkan Puasa
Ada dua hal [1: 448-455]:
Perkara yang membatalkan pahala puasa, bukan puasanya, maka tidak wajib qodlo. Perkara ini dinamakan muhbithot. Perkara yang membatalkan puasa, termasuk pahala puasa jika tidak ada udzur, maka wajib qodlo. Perkara ini dinamakan mufthirot.


      A.    Perkara yang membatalkan pahala puasa, bukan puasanya: muhbithot:
1.      Ghibah, yaitu kamu menyebut hal-hal yang tidak disukai oleh saudaramu yang muslim yang terdapat padanya, meskipun kamu jujur.
2.      Namimah (adu domba), yaitu memindah ucapan dengan tujuan mendatangkan fitnah.
3.      Berbohong, yaitu memberi kabar yang bukan sebenarnya.
4.      Melihat sesuatu yang diharamkan atau sesuatu yang halal tetapi dengan syahwat.
5.      Sumpah palsu.
6.      Ucapan dan perbuatan dusta/batil dan keji.

     B.     Perkara yang membatalkan puasa: mufthirot: ada delapan.
1.    Termasuk yang membatalkan puasa: riddah (murtad), yaitu memutus keislaman dengan niat atau ucapan atau perbuatan meskipun riddah tadi sekejab dan hanya sekali.
2.   Termasuk yang membatalkan puasa: haidl, nifas dan wiladah (melahirkan) meskipun sekejab di siang hari.
Jika datang haidl atau nifas di sebagian dari siang hari pada wanita yang berpuasa, maka batal puasanya dan wajib qodlo [2: 86].
3.      Termasuk yang membatalkan puasa: gila, meskipun sebentar.
Meskipun gilanya sebab meminum sesuatu yang dapat membuat gila di waktu malam [4: 57].
Jika pada seseorang muncul gila tanpa membuat sebab, meskipun sebentar di siang hari atau seluruh siangnya, maka batal puasanya, tidak ada qodlo dan tidak ada dosa baginya [7: 179].
4.   Termasuk yang membatalkan puasa: pingsan dan mabuk: jika menyeluruh seharian. Adapun jika sadar meskipun sekali dan sekejab, maka sah puasanya. Ini yang mu’tamad menurut Imam Romli. Menurut Imam Ibnu Hajar, batal puasanya jika ia sengaja mabuk atau pingsan, meskipun sekejab (ia berdosa, dan wajib baginya qodlo [7: 179]). Ulama lain berpendapat, tidak batal puasanya kecuali bila sengaja dan menyeluruh siang hari.
Jika seseorang meminum obat di malam hari, yang biasanya dapat menghilangkan akal: jika karena hajat maka hukumnya seperti pingsan, kemudian jika menghabiskan seluruh siang, puasanya batal, wajib qodlo, dan tidak ada dosa, jika hilangnya akal tidak menghabiskan seluruh siang, sah puasanya dan tidak ada qodlo baginya [7: 179].
Barangsiapa meminum minuman yang memabukkan di malam hari dan ia sehat di sebagian siangnya maka puasanya sah [5: 141].
Tidur seharian (yang menghabiskan seluruh waktu siang) tidak membatalkan puasa [4: 57].
5.  Termasuk yang membatalkan puasa: jima’, jika sengaja, tahu keharamannya, tidak dipaksa.
Jika seseorang merusak puasanya di bulan romadlon dengan jima’, maka baginya:
1.     Berdosa
2.    Wajib imsak (menahan diri dari mufthirot)
3.  Wajib dita’zir (hukuman), yaitu pelajaran dari hakim. Ta’zir ini bagi yang tidak bertobat.
4.    Wajib qodlo.
5.   Wajib kifarat udhma (kifarat besar), yaitu salah satu dari tiga hal yang berurutan ini, maka tidak boleh pindah dari yang pertama ke yang kedua kecuali bila tidak mampu.
a.  Memerdekakan budak perempuan mukmin yang selamat dari cacat yang jelas yang mengurangi pekerjaan.
b.   Puasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak berpuasa sehari saja, meskipun ada udzur sakit misalnya, maka harus mengulangi dari awal. Tidak masalah bila batalnya sebab gila atau pingsan seharian penuh.
c.     Memberi makan 60 orang miskin, masing-masing satu mud (+ 7 ons beras). Jika kesulitan, maka ini menjadi hutangnya. Sebagian ulama berpendapat: gugur darinya.
Kifarat ini wajib hanya pada pria bukan pada wanitanya. Kifarat menjadi berulang sebab berulangnya hari puasa yang dirusaknya.
6.   Termasuk yang membatalkan puasa: sampainya ain (zat) dari manfadz maftuh (jalan tembus yang terbuka) ke jauf (rongga tubuh).
Ain = sesuatu yang dapat dilihat mata. Jauf = otak, apa-apa setelah kerongkongan yaitu perut besar dan usus. Manfadz maftuh = mulut, telinga, qubul dan dubur baik pria maupun wanita [2: 84] dan juga lubang puting susu [3: 258].
Perkataan ain, mengecualikan udara/gas, maka tidak berbahaya sampainya udara ke rongga tubuh, demikian juga hanya rasa dan angin tanpa zat, maka tidak membatalkan keduanya bila sampai ke rongga tubuh.
Perkataan manfadz maftuh, mengecualikan jalan tembus yang tidak terbuka seperti meresapnya air ke pori-pori kulit.
Setiap lubang di tubuh manusia di dalan madzhab Imam Syafi’i itu terbuka kecuali mata, demikian juga telinga menurut Imam Ghozali.
Tidak batal puasa sebab sampainya sesuatu ke dalam batang hidung jika tidak melewati batas paling akhirnya hidung [3: 261].
Bekas air berkumur (المضمضة ) tidak membatalkan puasa, mekipun dimungkinkan untuk meludahkan (mengeluarkannya dari mulut) karena ada kesulitan untuk menjaganya, maka tidak dipaksa untuk mengeringkan mulut dari bekas air berkumur ini [3: 263].

A.  Hukumnya jarum suntik/infus
Hukumnya jarum suntik/infus boleh karena dlorurot, tetapi ada perbedaan pendapat tentang batalnya puasa sebab ini, ada 3 pendapat:
1.      Membatalkan puasa secara mutlak, karena sampai ke jauf.
2.      Tidak membatalkan puasa secara mutlak, karena bukan melalui jalan tembus yang terbuka.
3. Pendapat yang ashah, jika mengeyangkan maka membatalkan puasa, jika tidak mengeyangkan, maka dilihat dulu: jika melalui urat yang terbuka yaitu auridah (urat leher), maka membatalkan puasa. Jika melalui urat yang tak terbuka yaitu udlol (otot urat yang keras) maka tidak membatalkan puasa.
B.  Hukumnya nukhomah (dahak, ingus) dan balghom (lendir, dahak), ada perincian:
1.    Jika telah sampai batasan dhohir (luar) lalu ia menelannya, batal puasanya. Hal ini jika dahak telah sampai batasan luar, orang ini mengalirkan dahak dengan sengaja, meskipun setelahnya ia tidak dapat mengeluarkan (“ngelepeh”) nya. Berbeda bila dahak mengalir dengan sendirinya dan orang ini tidak dapat mengeluarkannya, maka tidak batal puasanya. Demikian juga tidak batal bila dahak belum sampai batasan luar.
2.      Jika telah sampai batasan bathin (dalam) lalu ia menelannya, maka puasanya tidak batal.
Batasan dhohir: makhroj huruf kho/ خ. Batasan bathin: makhroj huruf ha / ه. Diperselisihkan tentang makhroj huruf ha / ح. Menurut Imam Nawawi termasuk batasan dhohir, sedangkan menurut Imam Rofi’i termasuk batasan bathin.
C.  Hukumnya menelan ludah: tidak membatalkan puasa karena ada kesulitan menjaganya –meskipun dengan sengaja mengumpulkannya di bawah lidahnya- dengan tiga syarat:
1.  Ludah yang murni maksudnya tidak tercampur selainnya. Jika menelan ludah yang tercampur dengan pewarna misalnya maka batal puasanya. Di dalam kitab Tuhfah: dimaafkan bagi orang yang mendapat cobaan dengan darah gusi jikalau tidak mungkin manjaga darinya.
2.     Ludahnya suci tidak terkena najis, meskipun murni ludah, misalnya: terkena najis berupa darah, lalu ia membersihkannya tanpa menggunakan air, maka mulut dan ludahnya masih najis kareana najis keduanya tidak hilang, ia harus membasuhnya dengan air.
3.     Ludah berasal dari tempat keluar / sumbernya. Mulut dan lidah seluruhnya adalah sumber ludah. Jika menelan ludah yang telah sampai merah-merahnya bibir maka batal puasanya.
Jikalau masih ada makanan di sela-sela gigi, lalu ludahnya mengalir beserta makanan tersebut tanpa disengaja, maka puasanya tidak batal bila ia tidak bisa membedakannya dan membuangnya karena ada udzur di dalamnya [2: 84].
Sunnah muakkad menyela-nyela gigi untuk membersihkan sisa makanan di malam hari [6: 92].

    D.    Hukumnya masuknya air saat sedang mandi ke jauf tanpa sengaja: ada perincian:
1.      Jika mandinya karena diperintah seperti mandi janabah, atau mandi sunnah seperti mandi jum’at maka tidak batal puasanya bila ia mandi dengan cara menuangkan air, batal bila mandi dengan menyelam (membenamkan tubuh ke air). Di dalam kitab Bujairomi alal Khotib: Jika ia punya kebiasan kalau menyelam pasti air masuk maka batal puasanya, jika tidak maka tidak batal.
2. Jika mandinya tidak karena diperintah/disyariatkan misalnya mandi untuk menyegarkan/membersihkan badan, maka batal puasanya jika air masuk meskipun tidak sengaja, baik mandinya dengan cara menuang atau menyelam.
   E.     Hukumnya masuknya air tanpa sengaja saat berkumur ( المضمضة ) dan menghirup air ke hidung (الاستنشاق ): ada perincian:
1.      Jika keduanya disyariatkan seperti dalam wudlu dan mandi, dilihat dulu: jika tidak dikeraskan maka puasanya tidak batal bila air masuk. Jika dikeraskan maka batal puasanya, karena mengeraskan berkumur dan menghirup air ke hidung itu dimakruhkan bagi orang yang berpuasa.
2.      Jika keduanya tidak disyariatkan misalnya selain dalam wudlu dan mandi, maka batal puasanya meskipun tidak mengeraskan dalam berkumur dan menghirup air ke hidung.
Jika berpuasa, lebih baik buang air besar di malam hari, agar tidak ada sesuatu yang kembali ke lubang duburnya. Untuk buang air kecil, sama saja di siang atau malam hari [3: 259].

7.    Termasuk yang membatalkan puasa: Istimna’, yaitu menuntut mengeluarkan mani, adakalanya dengan tangannya sendiri, tangan istrinya, sebab fikiran atau sebab melihat jika mengetahui keluarnya mani. Rangkumannya:
a. Keluar mani yang membatalkan:
     1. Istimna’ dengan cara apapun.
     2. Ketika bersentuhan dengan wanita (bukan mahrom) tanpa penghalang

b. Keluar mani yang tidak membatalkan (jika tidak bertujuan Istimna’):
1.      Jika keluar tanpa persentuhan seperti sebab melihat atau fikiran.
Melihat dan berpikir ini haram jika khawatir keluar mani [4: 58].
2.      Jika keluar sebab persentuhan dengan wanita (bukan mahrom, meskipun dengan memeluk yang berulang-ulang dengan syahwat [3: 255]) tetapi dengan penghalang (mekipun tipis [3: 255]).
Jikalau menyentuh mahrom atau rambutnya wanita (meskipun bukan mahrom), lalu keluar mani, puasanya tidak batal karena tidak membatalkan wudlu [3: 256].

Di dalam kitab Bujairomi: hasil tentang keluar mani [3: 256]:
·         Jika dengan Istimna’, baik dengan tangannya sendiri atau istrinya atau selain keduanya, dengan penghalang atau tidak, puasanya batal.
·         Jika keluar mani dengan persentuhan tanpa tujuan Istimna’:
o   Jika menyentuh orang yang tidak mensyahwatkan bagi watak yang selamat –misalnya pemuda yang tampan, bagian tubuh yang terpisah- maka puasanya tidak batal, baik dengan syahwat maupun tidak, dengan penghalang atau tidak.
o   Jika menyentuh orang yang mensyahwatkan menurut watak:
1.      Jika mahrom, dengan syahwat dan tanpa penghalang, maka batal puasanya, jika tanpa syahwat, tidak batal.
2.      Jika bukan mahrom misal istrinya, maka batal puasanya, baik dengan syahwat atau tidak, dengan syarat tidak adanya penghalang. Jika dengan penghalang maka tidak batal puasanya, baik dengan syahwat atau tidak.

Hukumnya mencium: haram jika menggerakkan syahwat. Haram ini jika puasanya fardlu, jika sunnah maka tidak haram. Jika tidak menggerakkan syahwat, maka khilaful aula (menselisihi yang lebih utama). Puasanya tidak batal kecuali bila keluar mani.
Di [6: 94] terdapat: dimakruhkan mencium (Imam Nawawi memilih makruh tahrim) karena dikhawatirkan keluar mani, sama saja mencium di bibir atau selainnya, dari perempuan ke laki-laki atau sebaliknya, demikian juga berpelukan leher, menyentuh dengan tangan atau semisalnya.

8.   Termasuk yang membatalkan puasa: mengusahakan atau sengaja muntah. Maka puasanya batal meskipun muntahnya sedikit.
Meskipun ia yakin muntahannya tidak ada yang kembali ke perutnya. Jika ia dikalahkan oleh muntah maka tidak batal, meskipun ia tahu ada sebagian muntahan yang kembali ke perut tanpa kesengajaannya [2: 85].
Muntahan: makanan yang kembali setelah melewati tenggorokan meskipun air, meskipun rasa dan warnanya tidak berubah.
Hukumnya jika keluar muntahan: mulutnya najis, maka wajib membasuhnya dan mengeraskan berkumur hingga seluruh apa yang ada di mulut yang termasuk batasan dhohir itu terbasuh. Puasa tidak batal bila air masuk tanpa sengaja (saat berkumur tadi), karena menghilangkan najis itu diperintah.