Makalah Ahliyyah dan Pembagiannya : Ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Adapun secara etimologi, Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf Al-Asrar mendefinisikan. Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh oleh syari’ (pembuat hukum) untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. Artinya, ahliyah Adalah sifat yang menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah memiliki sifat ini, ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat penindahan hak kepada orang lain. Ahli ushul fikih membagi ahliyah menjadi dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujub dan ahliyah ada.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri,
semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan
kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti :
wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang terkait) dengan hukum wad’i
(seperti : sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsoh).
Dalam membicarakan subjek hukum telah dijelaskan bahwa diantara syarat
subjek hukum adalah kecakapan hukum untuk memikul beban hukum yaitu kemampuan
dikenai hukum dan kemampuan berbuat hukum. Hal ini berarti bahwa semua manusia
cakap dikenai hukum. Oleh karena itu tidak satu pun yang dapat mempengaruhi
kecakapannya untuk dikenai hukum.
Kecakapan
untuk berbuat hukum tidak berlaku untuk semua manusia. Kecakapan ini dibatasi
oleh syarat-syarat tertentu, dalam hal ini baligh dan berakal. Bila seseorang
sudah mencapai umur dewasa yang menurut biasanya diiringi dengan kemampuan
akal, maka dinyatakan cakap untuk melaksanakan hukum (mukallaf).
Dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang manusia yang telah
memenuhi syarat untuk menerima beban taklif, kadang-kadang terjadi pada
dirinya sesuatu yang menyebabkannya dalam keadaan tertentu untuk tidak dapat
melaksanakan beban hukum, baik tersebab oleh sesuatu yang timbul dari dirinya
sendiri, maupun dari luar dirinya. Sesuatu
yang berpengaruh terhadap kecakapanya untuk berbuat itu disebut `Awaridh
Al-Ahliyah (halangan taklif).
B.
Rumusan Masalah
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Pengertian
Ahliyyah dan pembagiannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahliyah
Dilihat dari segi etimologi,
ahliyah berarti kecakapan menangani suatu urusan. Adapun secara
etimologi, Abdul Aziz Al-Bukhari, dalam Kasyf Al-Asrar mendefinisikan.
Suatu
sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh oleh syari’ (pembuat hukum) untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Artinya, ahliyah Adalah
sifat yang menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya,
sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabila
seseorang telah memiliki sifat ini, ia dianggap telah sah melakukan suatu
tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat penindahan hak kepada orang
lain. Ahli ushul fikih membagi ahliyah menjadi dua
bentuk, yaitu ahliyah al-wujub dan ahliyah ada [1]
B. Macam-Macam Ahliyah
Berdasarkan pengertian diatas
ahliyah dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Ahliyah Al-Wujub
a. Pengertian
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah
al-wujub ialah, kecakapan seseorang untuk melaksanakan berbagai
kewajiban dan menerima berbagai hak. Pada dasarnya, ditinjau dari segi bahwa
seseorang adalah makhluk Allah SWT yang berjenis manusia, semua orang, sejak dilahirkan
kedunia sampai wafat, dipandang cakap dalam melaksanakan kewajiban dan hak.
Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, manusia mengalami fase-fase pertumbuhan
dan perkembangan menuju tahap kesempurnaan relatifnya sebagai manusia. Oleh
karena itu, menurut pandangan sara’, sesuai dengan kenyataannya, kecakapan
manusia melaksanakan kewajiban dan menerima hak juga bertingkat-tingkat. Dalam
hal ini, ulama ushul fiqih menguraikannya dalam dua tingkatan.[2]
b. Tingkatan Ahliyah Al-Wujub
1) Ahliyah Al-Wujub Al-Qashirah (kecakapan melaksanakan kewajiban
secara tidak sempurna)
Ada pula yang mangatakan ahliyah
al-wujub naqish atau kecakapan hukum secara lemah, yaitu
kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban;
atau kacakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.[3]
Sifat lemah pada kecakapan ini disebabkan oleh karena hanya salah satu
kecakapan pada dirinya diantara kedua kecakapan yang harus ada padanya.
Contoh yang menerima hak
tertentu tetapi tidak menerima kewajiban apapun ialah, janin dalam kandungan.
Janin dipandang cakap dalam menerima hak tertentu, seperti : warisan dan
wasiat. Hak tersebut menjadi haknya yang nyata, apabila janin dilahirkan dalam
keadaan hidup. Akan tetapi, janin tidak dibebani kewajiban apapun, karena ia
tidak cakap memikul kewajiban.
sebaliknya, contoh yang hanya
dikenai kewajiban tertentu tetapi tidak diberikan hak apapun ialah, orang yang
telah wafat. Orang yang sudah wafat dipandang tidak cakap untuk menerima hak
karena kewafatannya, tetapi ia dikenai kewajiban membayar hutang semasa
hidupnya. Tentu saja kewajiban membayar hutang tersebut hanya diambil dari
harta warisan yang ditinggalkannya.
Ulama ushul fikih menetapkan ada
empat hak janin yang masih dalam kandungan ibunya, yaitu:
1. Hak keturunan dari ayahnya,
2. Hak waris dari ahli warisnya yang
meninggal dunia,
3. Wasiat yang ditujukan kepadanya,
4. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.[4]
2) Ahliyah Al-Wujub Al-Kamilah (kecakapan melaksanakan kewajiban
secara sempurna)
Ahliyah al-wujub kamilah adalah kecakapan seseorang
untuk dikenai kewajiban dan juga menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam
bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini
berlaku semenjak ia lahir sampai sekarat selama ia masih
bernafas. Ada pada anak-anak, ada pada orang yang telah mumayiz, dan
ada pada orang yang telah baligh. Ada dalam perkembangan hidup, seperti yang
telah dikemukakan diatas bahwasanya tidak ada orang yang tidak mempunyai keahlian
wujub.[5]
Contohnya ialah, seorang bayi. Bayi
dipandang cakap menerima hak karena dia sudah lahir kealam dunia ini. Hak
seorang bayi seperti halnya Hak menerima harta warisan dari pewarisnya. Serta
dipandang cakap menerima kewajiban tertentu, seperti: kewajiban zakat fitrah,
dan kewajiban zakat atas hartanya, menurut sebagian ulama.begitu juga orang
yang sedang menghadapi kematian (sakrat al-maut). Meskipun berada
dipenghujung hidupnya, namun karena ia masih hidup, maka selain dikenai zakat
fitrah dan zakat atas hartanya, ia juga menerima hak atas warisan sebagai ahli
waris dari pewarisnya yang lebih dahulu wafat darinya.[6]
2. Ahliyah Al-Ada’
a. Pengertian Ahliyah Al-Ada’
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah
al-ada’ ialah kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul
beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang
disebut mukalaf, artinya segala perbuatannya segala perintah dan menjauhi
larangan.[7] Dalam
hal ini bararti segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan mempunyai
akibat hukum. Dalam bentuk ucapan misalnya, ia melakukan suatu transaksi atau
akad. Transaksi atau akadnya itu telah dianggap sah dengan segala akibat
hukumnya. Contoh lainnya ialah bila ia membebaskan seseorang dari hutang dengan
lisannya, secara hukum orang yang dibebaskan dari hutang tadi sudah tidak
menanggung beban hutang lagi. Sedangkan contoh dalam perbuatan yaitu sholat.
b. Tingkatan Ahliyah Al-Ada’
Kecakapan berbuat hukum atau ahliyah
al ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan dengan
batas umur seorang manusia.[8] Ketiga
tingkatan tersebut adalah:
1)
‘Adim Al-Ahliyah
Adapun yang dimaksud dengan ‘adim
al-ahliyah yaitu: yang sama sekali tidak memiliki kecakapan bertindak
secara hukum. Mereka ini adalah manusia yang berusia baru lahir sampai umur
kira-kira 7 tahun.
Dalam batas umur ini, seorang anak
belum sempurna akalnya atau belum berakal. Sedangkan taklif itu
dikaitkan dengan berakal. Karena itu anak yang berusia ini belum disebut
mukalaf atau belum dituntut melaksanakan hukum. Ia tidak wajib melaksanakan
sholat, puasa dan kewajiban badani lainnya. Meskipun pada usia ini ia belum
disebut mukallaf, namun sebagian ulama berpendapat, harta yang dimilikinya
(mungkin bersumber dari harta warisan, hibah, dan lain-lain), dikenakan
kewajiban zakat.
Disamping ucapanya, perbuatan anak
seusia ini juga tidak mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang
dilakukan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum. Ucapan-ucapan pembebasan
dan ucapan lain yang diucapkan tidak memiliki akibat hukum atau tidak sah.
Semua tindakan pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan tidak dapat dituntut
secara badani. Untuk menutupi kerugian pihak lain yang menjadi korban,
kejahatannya dibebankan kepada hartanya atau harta orang tuanya.
2)
Ahliyah Al-Ada’ Naqishah
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah
al-ada’ naqishah ialah, yang memiliki akal yang belum sempurna, yaitu
berusia antara 7 tahun sampai usia dewasa. Penamaan naqishah (lemah)
dalam bentuk ini karena akalnya masih lemah belum sempurna. Manusia dalam batas
umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai
hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Dalam hal ini tindakan manusia,
ucapan atau perbuatannya, terbagi menjadi tiga tingkatan; dan setiap tingkat
memiliki akibat hukum sendiri-sendiri, yaitu:
a)
Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya; misalnya
menerima pemberian (hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam bentuk ini, baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah dan terlaksana tanpa memerlukan
persetujuan dari walinya.
b)
Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi
hak-hak yang ada padanya; misalnya pemberian yang dilakukannya, baik baik dalam
bentuk hibah atau sedekah, pembebasan hutang, jual beli dengan harga yang tidak
pantas. Segala tindakannya, baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang
dilakukan oleh mumayyizdalam bentuk ini tidak sah dan tidak
berakibat hukum atau batal, karena tidak disetujui oleh walinya.
c)
Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian. Misalnya,
jual beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya yang di satu pihak
mengurangi haknya dan di pihak lain menambah hak yang ada padanya. Tindakan
yang dilakukan dalam bentuk seperti ini tidak batal secara mutlak tetapi dalam
kesahaannya tergantung kepada persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah
tindakan itu dilakukan.
Tindakan mumayyiz dalam
hubungannya dengan ibadah adalah sah karena ia cakap dalam melakukan ibadah,
tetapi ia belum dituntut secara pasti karena ia belum dewasa. Dalm masa ini
orang tuanya harus mendidik dan membiasakannya untuk melaksanakan ibadah
badaniah. Adapun tindakan kejahatan yang dilakukan yang merugikan orang lain,
ia dituntut dan dikenai snksi hukuman berupa ganti rugi dalam bentuk harta dan
tidak dihukum an badan. Karena itu tidak berlaku padanya qishas pembunuhan,
dera atau rajam pada perzinahan, ayau potong tangan pada pencurian. Ia hanya
dapat menanggung diyat pembunuhan atau ta’zir yang
dibebankan kepada hartana atau harta orang tuanya.[9]
3) Ahliyah Al-Ada’ Kamilah
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah
al-ada’ kamilah ialah Seseorang yang telah memiliki akal yang
sempurna, yaitu yang telah mencapai usia dewasa, sehingga dipandang telah
mukallaf, sebagai mana yang telah dikemukakan sebelumnya.[10]
Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan
tanda-tanda yang bersifat jasmani, yaitu bagi wanita telah mulai haid atau mens
dan para laki-laki dengan mimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan jasmani ini
didasarkan pada petunjuk al-quran, yaitu sampai mencapai usia perkawinan atau
umur yang pada waktu itu memungkinkan untuk melangsungkan perkawinan.
Tanda dewasa yaitu haid bagi wanita
dan mimpi bersetubuh bagi laki-laki adalah tanda seorang sudah dapat melakukan
perkawinan.
Dalam keadaan tidak terdapat atau
sukar diketahui tanda yang bersifat jasmani tersebut, diambil patokan umur yang
dalam pembatasan ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama fikih. Menurut
jumhur ulama, umur dewasa itu adalah 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan,
menurut Abu Hanifah, umur dewasa itu adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan
adalah 17 tahun. Bila seseorang tidak mencapai umur tersebut, maka belum
berlaku padanya beban hukum dan takli.
C. Faktor-Faktor Penghalang Kecakapan Bertindak Secara Hukum (‘Awaridh
Al-Ahliyah)
Meskipun sejak lahirnya, seseorang telah
memiliki kecakapan menerima kewajiban dan hak (ahl li al-wujub), dan
sejak dewasa dari segi usia dan akalnya, memiliki kecakapan untuk bertindak
secara hukum (ahl li al-ada), namun terkadang pada waktu tertentu
terdapat faktor-faktor yang menghalanginya untuk dapat dipandang cakap
bertindak secara hukum. Faktor-faktor penghalang tersebut ada yang berasal dari
dalam dirinya, dan ada pula yang berasal dari luar dirinya. Faktor-faktor
penghalang itu disebut dengan istilah ‘awarid al-ahliyah (penegasi-penegasi
kecakapan) atau mawani at-taklif (penghalang-penghalang taklif).
Faktor-faktor penghalang taklif itu
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: al-awaridh as-samawiyyah dan al-awaridh
al-muktasabah.
a.
Al-awaridh as-samawiyyah
Adapun yang dimaksud dengan al-awaridh
as-samawiyyah ialah, halangan kecakapan bertindak secara hukum yang
timbul dari luar diri seseorang yang bukan merupakan akibat dari kehendak dan
perbuatannya. Halangan ini terdiri atas beberapa macam, diantaranya sebagai
berikut:
1) Usia kanak-kanak
2) Lemah akal (al-atah)
3) Sakit (al-maradh)
4) Haid dan nifas
5) Mati (al-maut)
6) Bodoh (as-safah)
b.
Al-awaridh al-muktasabah
Adapun yang dimaksud dengan al-mawaridh
al-muktasabah ialah, ialah halangan kecakapan bertindak secara hukum
yang timbul dari dalam diri seseorang yang merupakan akibat dari kehendak dan
perbuatannya. Halangan ini terdiri atas beberapa macam, diantaranya sebagai
berikut:
1) Gila (al-junun)
2) Lupa (an-nisyan)
3) Tidur (an-naum) dan pingsan (al-ighma).[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ahliyah Adalah sifat yang menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah memiliki sifat ini, ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat penindahan hak kepada orang lain. Ahli ushul fikih membagiahliyah menjadi dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujub dan ahliyah ada’.
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah al-wujub ialah, kecakapan seseorang untuk melaksanakan berbagai kewajiban dan menerima berbagai hak. Sebagian ulama fikih membagi ahliyah al-wujub menjadi dua bagian.
Ahliyah Adalah sifat yang menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah memiliki sifat ini, ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat penindahan hak kepada orang lain. Ahli ushul fikih membagiahliyah menjadi dua bentuk, yaitu ahliyah al-wujub dan ahliyah ada’.
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah al-wujub ialah, kecakapan seseorang untuk melaksanakan berbagai kewajiban dan menerima berbagai hak. Sebagian ulama fikih membagi ahliyah al-wujub menjadi dua bagian.
- Ahliyah Al-Wujub Al-Qashirah (kecakapan melaksanakan kewajiban secara tidak sempurna)
- Ahliyah Al-Wujub Al-Kamilah (kecakapan melaksanakan kewajiban secara sempurna.
Adapun yang dimaksud dengan ahliyah
al-ada’ ialah kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul
beban taklif. Kecakapan berbuat hukum atau ahliyah al
ada’ terdiri dari tiga tingkat. Setiap tingkat ini dikaitkan dengan
batas umur seorang manusia. Ketiga tingkatan tersebut adalah:
1.
‘Adim Al-Ahliyah
2.
Ahliyah Al-Ada’ Naqishah
3.
Ahliyah Al-Ada’ Kamilah.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta. Amzah,
2011
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Cet-Ke
6, Jakarta. Rineka Cipta, 2012
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jild 1, Jakarta.
Logos Wacana Ilmu, 2000
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet- 5,
Jakarta. Kencana, 2014
Totok Jumantoro. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul
Fikih, Jakarta. Amzah, 2009
Makalah Ahliyyah dan Pembagiannya Lengkap Footnote |
FOOTNOTE
[1]. Totok Jumantoro. Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal.2
[2] Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah,
2011), Hlm.96
[3] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, Jild 1, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2000), Hlm.357.
[4] Totok Jumantoro. Samsul Munir Amin, Op. Cit. Hal. 4.
[5] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Cet-Ke 6 (Jakarta: Rineka Cipta, 2012),
Hal.167.
[6] Abd.Rahman Dahlan, Op. Cit. Hal. 98.
[7] Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet- 5, (Jakarta: Kencana, 2014),
Hal.75.
[8] Amir Syarifudin, Op. Cit. Hal. 359.
[9] Amir Syarifudin, Op. Cit. Hal. 359.
[10] Abd Rahman Dahlan. Op.Cit. Hal.99.
[11] Abd Rahman Dahlan. Op.Cit. Hal.99.