Bagaimanakah Hubungan Pengetahuan Remaja Putri Tentang Resiko Pernikahan Dini Terhadap Kehamilan dan Persalinan

Bagaimanakah Hubungan Pengetahuan Remaja Putri Tentang Resiko Pernikahan Dini Terhadap Kehamilan Dan Persalinan

Latar Belakang

Pola pikir zaman primitif dengan zaman yang sudah berkembang jelas berbeda, hal ini dibuktikan dengan sebuah perkawinan antara pilihan orang tua dengan kemauan sendiri. Prinsip orang tua pada zaman ganepo atau zaman primitif sangat menghendaki jika anak perempuan sudah baligh maka tidak ada kata lain kecuali untuk secepatnya menikah. Kondisi demikian, dilatar belakangi oleh keberadaan zaman yang masih tertinggal, maka konsep pemikirannya pun tidak begitu mengarah pada jenjang kehidupan masa depan yang lebih baik.

Tradisi pernikahan zaman nenek moyang lebih terpacu dengan prospek budaya nikah dini, yakni berkisar umur 15 tahun pada wanita dan pria berkisar umur 20 tahun atau kurang (Dlori, 2009).

Salah satu masalah remaja yang terkait dengan hak reproduksi adalah pernikahan usia dini. Menunjukkan bahwa 26,3% perempuan menikah pada usia 10-16 tahun dan 28,2% menikah pada usia 17-18 tahun. Persentase ini cukup tinggi dan perlu mendapat perhatian serius. Sebagai remaja, seringkali mereka hanya mempunyai akses terbatas terhadap informasi mengenai kesehatan reproduksi, di samping itu kesiapan fisiologis juga belum memadai karena secara fisik mereka belum mencapai akhir masa pertumbuhan (Ahmad, 2011).

Masa remaja merupakan masa yang paling penting dalam kehidupan seseorang, karena masa peralihan dari anak menjadi dewasa. Selain itu, remaja mengalami proses berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Pada masa remaja sering kali muncul dorongan untuk mengetahui dan mencoba hal-hal baru dalam usahanya untuk mencari jati diri dan mencapai kematangan pribadi sesuai tugas perkembangannya (Rita, 2009).

Masalah kesehatan reproduksi remaja yang terjadi di masyarakat dikarenakan remaja tidak memilki pengetahuan yang adekuat tentang kesehatan reproduksi dan seksual, tidak memiliki akses terhadap pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi termasuk kontrasepsi, sehingga perempuan remaja rentan terhadap kematian ibu, anak, bayi, aborsi tidak aman, infeksi menular seksual, kekerasan/pelecehan seksual, HIV/AIDS dan kekerasan (Rita, 2009).

Penyulit pada kehamilan remaja lebih tinggi dibandingkan kehamilan yang terjadi pada usia antara umur 20-30 tahun. Hamil dibawah usia 19 tahun beresiko pada kematian, terjadinya perdarahan, keguguran, hamil anggur dan hamil prematur, sementara kualitas anak yang dihasilkannya bayi berat lahir rendah (BBLR) sangat tinggi, adanya kebutuhan nutrisi yang harus lebih banyak selama hamil, bayi-bayi yang dilahirkan memilki bentuk tubuh lebih kecil, resiko melahirkan anak cacat, memilki kemungkinan 5-30 kali besar resiko bayi meninggal (Anna, 2007).

Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi masih sangat rendah. Hanya 17,1% yang mengetahui secara benar tentang masa subur dan resiko kehamilan. Pada informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi sangat terbatas, baik dari orang tua, sekolah maupun media massa. Budaya “tabu” dalam pembahasan seksualitas menjadi suatu kendala kuat. Pemahaman remaja akan kesehatana reproduksi menjadi bekal remaja dalam berperilaku sehat dan bertanggung jawab, namun tidak semua remaja memperoleh informasi yang cukup dan benar tentang kesehatan reproduksi. Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman ini dapat membawa remaja kearah perilaku beresiko (Intan, 2012).

Disebagian besar negara didunia, kehamilan usia remaja telah menjadi norma selama beberapa generasi karena perkawinan yang dilangsungkan pada usia remaja. Permasalahan kehamilan usia remaja, abortus dan PMS tampaknya semakin memburuk. Hal ini karena terjadinya menstruasi yang lebih dini disertai dengan batasan budaya tradisional yang melemah sebab baik pemuda maupun pemudi banyak yang menghabiskan waktu di luar rumah, untuk menuntut ilmu atau mendapatkan pekerjaan di daerah perkotaan (Adi, 2010).

Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2012 sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Di negara Amerika Serikat menunjukkan remaja berumur 10-19 tahun sekitar 15% populasi. Di Asia Pasifik penduduknya merupakan 60% dari penduduk dunia dan seperlimanya merupakan remaja berumur 10-19 tahun.

Di Indonesia masalah kesakitan dan kematian ibu juga dikontribusikan oleh kelompok remaja. Lebih dari seperlima penduduk Indonesia yang berjumlah 206 juta adalah para remaja berusia 10-18 tahun. Data menunjukkan bahwa pernikahan dini juga menjadi kecenderungan di berbagai negara berkembang. Setengah perempuan muda di negara Afrika Sub-Sahara, mulai menikah sebelum usia 18 tahun.

Di Amerika Latin dan di Karibia 20-40% dari wanita usia muda sudah mulai menikah, dan di Afrika Utara dan Timur Tengah, proporsinya 30% atau kurang. Di Asia, kemungkinan perkawinan awal berbeda sekali, 73% perempuan di Bangladesh menikah sebelum usia 18 tahun, dibandingkan dengan 14% di Filipina dan Sri Langka, dan hanya 5% di Cina (Maemunah, 2010).

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012, perempuan usia 15-19 tahun yang menikah di perkotaan meningkat  menjadi 32%. Bila dibandingkan dengan lima tahun lalu, persentase pernikahan dini di perkotaan 26% dari total populasi kelompok usia tersebut. Fenomena ini justru berbanding terbalik dengan yang terjadi di pedesaan, dimana pada tahun 2012 angka pernikahan dini menurun menjadi 58% jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya yang mencapai angka 61%.

Angka pernikahan dini (pernikahan remaja usia kurang dari 16 tahun) hampir dijumpai di seluruh Provinsi di Indonesia sekitar 10% remaja puteri hamil dan melahirkan anak pertamanya usia 15-19 tahun. Kehamilan remaja akan meningkatkan resiko kematian dan kesakitan 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan remaja yang menikah di usia 20 tahun. Angka kematian bayi 30% lebih tinggi pada bayi yang dilahirkan remaja berusia kurang dari 20 tahun (Rita, 2009).

Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia untuk hamil dan melahirkan adalah 20 sampai 30 tahun lebih atau kurang dari usia tersebut adalah berisiko. Kesiapan seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan ditentukan oleh tiga hal, yaitu kesiapan fisik, kesiapan mental atau psikologis dan kesiapan sosial ekonomi. Secara umum seorang perempuan dikatakan siap secara fisik jika telah menyelesaikan pertumbuhan tubuhnya yaitu sekitar usia 20 tahun, sehingga usia 20 tahun bisa dijadikan pedoman kesiapan fisik (Afrizal, 2010).

Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2012 perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah sebanyak 0,2% atau lebih dari 22.000 wanita usia muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah, jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 tahun yang menikah sebanyak 11,7% lebih besar dibandingkan laki-laki muda berusia 15-19 tahun sebanyak 1,6%. Di indonesia dengan persentase pernikahan dini berusia <15 tahun tertinggi adalah kalimantan selatan 9%, jawa barat 7,5%, serta kalimantan timur dan kalimantan tengah masing-masing 7% dan banten 6,5%. Sedang kan persentase pernikahan dini berusia 15-19 tahun tertinggi kalimantan tengah 52,1%, jawa barat 50,2%, serta kalimantan selatan 48,4%, bangka belitung 47,9% dan sulawesi tengah 46,3%.

Berdasarkan Data Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Provinsi Aceh Tahun 2012 dengan persentase pernikahan usia dibawah 20 tahun yang tertinggi Aceh Timur sebanyak 6.209, Aceh Utara sebanyak 3.849, Pidie sebanyak 3.516, Aceh Tenggara 2.775 dan Aceh Besar sebanyak 1.010. Pada tahun 2013 dengan persentase pernikahan usia dibawah 20 tahun didapatkan yang tertinggi Aceh Timur sebanyak 5.467, Pidie sebanyak 3.284, Aceh Utara sebanyak 2.549, Aceh Tenggara sebanyak 2.185 dan Aceh Besar sebanyak 801.

Berdasarkan Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh persentase wanita menurut perkawinan di Kabupaten Aceh Besar dengan usia 10-15 tahun pada tahun 2011 yaitu sebanyak 4,14% dan tahun 2012 sebanyak 6,56%. Dan persentase wanita menurut perkawinan tahun 2011 dengan usia 16-18 tahun sebanyak 21,51% dan pada tahun 2012 27,67%.

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Besar jumlah pernikahan usia dibawah 20 tahun yang tertinggi di Kecamatan Seulawah sebanyak 202 orang, Kecamatan Pulau Aceh sebanyak 105 orang dan Kecamatan Seulimuem sebanyak 55 orang. Berdasarkan Data Tahun 2013 yang diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) Desa Seulimeum didapatkan pernikahan dengan usia wanita 15-17 tahun sebanyak 14 orang yang menikah, sedangkan pernikahan dengan usia 18-20 tahun sebanyak 41 orang. Didapatkan data dari Puskesmas Seulimeum ibu yang bersalin dibawah usia 20 tahun mengalami resiko terhadap persalinan diantaranya mengalami Post date, Retensio plasenta, Ketuban Pecah Dini dan Partus macet