Makalah Lengkap
- Makalah Agroforestry dan Peranannya dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi
dan Konservasi di bawah ini menjelaskan tentang Sejarah Agroforestry di
Indonesia, Tipe Agroforestry, Fungsi Hidrologi, Fungsi Konservasi.
Unduh
Makalah Agroforestry dan Peranannya dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi dan
Konservasi.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agroforestry merupakan suatu sistem pengelolaan tanaman hutan (perennial) yang
dikombinasikan dengan pertanian atau disebut juga sistem wanatani. Sebenarnya
banyak definisi mengenai agroforestry, yang satu sama lain tidak berbeda
secara substansi. Banyak definisi dari agroforestry yang sering digunakan
dalam dunia pengetahuan. International Council for Research in Agroforestry
(ICRAF) mendefinisikan agroforestry sebagai suatu sistem pengelolaan lahan
yang berazaskan kelestarian, untuk meningkatkan hasil lahan secara
keseluruhan, melalui kombinasi produksi (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan
tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan
yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan
penduduk setempat". (King dan Chandler (1978) dalam Rauf (2004)).
Download Makalah Agroforestry dan Peranannya dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi
dan Konservasi.pdf
Sementara itu Satjapradja (1981) dalam Rauf (2004) mendefinisikan agroforestry
sebagai suatu metode penggunaan lahan secara optimal, yang mengkombinasikan
sitemsistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu
kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara
berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan
hutan atau diluarnya, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Masih dalam Rauf (2004), Lundgren dan Raintree mendefinisikan agroforestry
adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan &
teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis-jenis
palem, bambu, dsb) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan atau hewan,
dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan
temporal, dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi
diantara berbagai komponen yang bersangkutan.
MacDicken dan Vergara (1990) dalam Padmowijoto (2006) mendefinisikan
agroforestry sebagai manajemen lahan berkelanjutan yang meningkatkan produksi
total dengan kombinasi tanaman pangan, pohon (holtikultura/tegakan hutan) dan
atau ternak secara simultan sesuai budaya lokal.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
Agroforestry dan peranannya dalam mempertahankan Fungsi hidrologi dan
konservasi
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Agroforestry di Indonesia
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa suatu sistem
disebut sistem agroforestry jika sistem tersebut setidaknya memenuhi dua
unsur, yaitu aspek agro (pertanian) dan aspek forestry (kehutanan).
Sistem ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, dan dikembangkan
diberbagai jenis dan kondisi lahan, dengan berbagai pola kombinasi
tanaman. Di Indonesia, agroforestry dilakukan di berbagai wilayah tanah
air dengan berbagai istilah lokal. Di Jawa dikenal istilah mratani yang
diartikan sebagai bercocok tanam sambil beternak dan berkebun, dapat
berupa holtikultura atau tegakan hutan di halaman rumah dan atau
pekarangan (Sumitro, 2001).
Di propinsi Maluku dikenal istilah Dusung yang menurut Kaya (2003) dalam
Salampessy (2010) adalah sistem pengelolaan sumber daya alam dalam suatu
bentang lahan milik dengan mengkombinasikan komoditas pertanian,
kehutanan dan peternakan. Pada awalnya status dusung adalah sebagai
kebun warisan keluarga secara turun menurun, pengelolaanya terbatas pada
kebutuhan subsisten tappi sejalan dengan perkembangan jaman maka
keberadaan dusung berubah menjadi alat produksi yang bernilai ekologis,
ekonomi dan sosial budaya.
Di Sumatera (propinsi Lampung), dikenal istilah Repong yang dapat
didefinisikan sebagai sebidang lahan kering yang ditanami berbagai
tanaman produktif, umumnya tanaman tahunan (perennial crops) seperti
damar, jengkol, durian, petai, jengkol, tangkil, manggis dan
beranekaragam tumbuhan liar yang dibiarkan hidup, dan disebut repong
damar karena pohon damar yang paling mendominasi dalam setiap bidang
lahan (Lubis, 1997 dalam Bintoro, 2010).
Sementara itu di Sumatera Utara terdapat suatu sistem agroforestry yang
disebut Reba Juma. Secara harfiah reba juma berarti rumah ladang, atau
ladang masyarakata yang mudah dijangkau dari rumah pemiliknya (Affandi,
2010). Masih menurut Affandi (2010), tanaman pada reba juma didominasi
oleh tanaman kehutanan seperti duku, durian, rambutan, manggis dan
bambu, yang dikombinasikan dengan tanaman pertanian/perkebunan seperti
coklat, pisang, nenas, kunyit, jagung dan lain-lain.
Sistem agroforestry ini dipraktekkan di atas tanah milik yang pada
awalnya merupakan tanah adat, dimana pembagian dan penguasaan lahannya
dilaksanakan berdasarkan sistem kekerabatan adat setempat. Di Kalimantan
Barat juga ditemukan sistem agroforestry tradisional yang disebut
Tembawang, yang dibentuk ketika petani akan melakukan perladangan
berpindah untuk mencari lokasi lain yang lebih subur. Pada lahan yang
ditinggalkan, mereka menanaminya dengan berbagai tanaman buah-buahan
yang akan menjadi kebun (Roslinda, 2010).
Masyarakat desa Sungai Telang, Kabupaten Bungotebo, Jambi secara tidak
langsung telah melakukan konservasi keanekaragaman ekosistem melalui
kegiatan agroforesty. Penggunaan lahan seperti sawah, ladang, kebun
(hutan sekunder muda), belukar (hutan sekunder tua) di desa tersebut
diolah dan dimanfaatkan melalui pembuatan agroforestry campuran,
sedangkan hutan hanya dimanfaatkan hasil hutan non kayunya saja.
Pengembangan agroforestry tumbuhan obat di daerah penyangga Taman
Nasional Meru Betiri di Kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur telah
memberikan kontribusi pendapatan sebesar 23% dari hasil pendapatan, dan
frekuensi petani masuk hutan menurun 48%. Disamping itu terjadi
peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi, baik
konservasi tumbuhan secara eks-situ maupun in-situ. Dari segi ekologi,
program agroforestry telah mengubah semak belukar dan lahan kritis
menjadi hutan tanaman yang didominasi Parkia roxburghii,Pythecelobium
saman, Pangium edule, dan Aleurites moluccana. (Bismark dan Sawitri,
2006)
B. Tipe Agroforestry
Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestry dapat dikelompokkan
menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestry sederhana dan sistem
agroforestry kompleks.
1. Sistem agroforestry Sederhana
Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana
pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis
tanaman semusim. Pepohonan dapat ditanam sebagai pagar mengelilingi
petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan
pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk
lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, dapat
yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi,
kakao (coklat), nangka, belinjo, petai, jati dan mahoni atau yang
bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis
tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman pangan yaitu padi (gogo),
jagung, kedelai, kacangkacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan
atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Bentuk agroforestry sederhana yang paling banyak dibahas di Jawa adalah
tumpangsari (Bratamihardja, 1991 dalam Soemitro, 2001). Sistem ini
diwajibkan di areal hutan jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka
program perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut
petani diijinkan untuk menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon
jati muda. Hasil tanaman semusim diambil oleh petani, namun petani tidak
diperbolehkan menebang atau merusak pohon jati dan semua pohon tetap
menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon telah menjadi dewasa, tidak
ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena adanya masalah naungan
dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk menghasilkan kayu
bahan bangunan (timber) saja, sehingga akhirnya terjadi perubahan pola
tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati monokultur.
Dalam perkembangannya, sistem agroforestry sederhana ini juga merupakan
campuran dari beberapa jenis pepohonan tanpa adanya tanaman semusim.
Sebagai contoh, kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap
(Erythrina) atau kelorwono disebut juga gamal (Gliricidia) sebagai
tanaman naungan dan penyubur tanah. Contoh tumpangsari lain yang umum
dijumpai di daerah Ngantang, Malang adalah menanam kopi pada hutan
pinus.
2. Sistem agroforestry Kompleks: Hutan dan Kebun
Sistem agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang
melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja
ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola
petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam
sistem ini, selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu,
tanaman memanjat (liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah
banyak. Penciri utama dari sistem agroforestry kompleks ini adalah
kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem
hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh karena itu
sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforest.
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestry
kompleks ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis
pohon (home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan
‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari
tempat tinggal (De Foresta et al, 2000). Contohnya ‘hutan damar’ di
daerah Krui, Lampung Barat atau hutan karet di Jambi.
Sa’ad (2002), mengklasifikasikan agroforestry berdasarkan kombinasi
komponen pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lain,
menjadi beberapa tipe yaitu:
- Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
- Silvopastoral : Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
- Agrosilvopastoral : tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
- Sistem lain , yang meliputi : Silvofishery : pohon dan ikan Apiculture : pohon dan lebah, Sericulture : pohon dan ulat sutera
Sedangkan Marseno (2004), juga menyajikan bentuk lain sistim
agroforestry yang berbasis pelestarian lingkungan yaitu ;
1. Riverian Buffer Forest (Hutan Penyangga tepi sungai)
Fungsinya menjaga kondisi alami di sepanjang sungai, menjaga erosi dan
meningkatkan biodiversitas. Sistim penyangga tidak hanya untuk ekosistim
tepi sungai, namun juga memberikan perlindungan terhadap pengeolahan
tanah disekitarnya.
2. Windbreaks
Fungsinya untuk melindungi tanaman-tanaman pertanian yang sensitif
terhadap angina seperti gandum dan sayuran. Pola-pola ini hampir
menyerupai pola penanaman dalam agroforestry yaitu trees along border
yaitu penanaman tanaman kehutanan di sekitar tanaman pertanian
(Sabarnurdin, 2004).
C. Fungsi Hidrologi
Fungsi hidrologi, terkait dengan fungsi hutan dan strata tajuknya
sebagai salah satu pemegang peranan penting dalam siklus air. Menurut
Noordwijk dkk (2004) dan Rauf (2004), pengaruh tutupan pohon dan tanaman
semusim terhadap aliran air adalah dalam bentuk:
1. Intersepsi air hujan.
Selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan
sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air (waterfilm) pada
permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi
sebelum jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan
dievaporasi tergantung pada indeks luas daun (LAI), karakteristik
permukaan daun, dan karakteristik hujan. Intersepsi merupakan komponen
penting jika jumlah curah hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika
curah hujan tinggi.
Apabila curah hujan tinggi, peran intersepsi pohon penting dalam
kaitannya dengan pengurangan banjir. Intersepsi hujan oleh vegetasi yang
heterogen dan multi layers menyebabkan pengurangan energi kenetik butir
hujan sehingga daya dispersi terhadap agregat tanah berkurang (Hicks dan
Riou et al dalam Baldy dan Stinger, 1977). Hal ini semakin penting
karena akan terbentuk vegetasi parmanen dari tanaman tahunan atau
kehutanan.
Selain itu pengaruh intersepsi dapat mereduksi laju penerimaan di
permukaan tanah karena melwati aliran batang (stemflow) dan curahan
tajuk (troughfall) (Lee, 1988).
2. Daya pukul air hujan.
Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan
langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah,
sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah akan
menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi
air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat.
Peran lapisan seresah dalam melindungi permukaan tanah sangat
dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pelapukan; seresah berkualitas
tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan mudah melapuk sehingga
fungsi penutupan permukaan tanah tidak bertahan lama.
3. Infiltrasi air.
Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan
dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi
oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan
organik (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar
yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah),
penting untuk mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan
pori makro tanah.
Adanya serasah pada permukaan tanah disertai dengan perubahan porositas
tanah akibat perkembangan sistem perakaran memungkinkan kapasitas dan
laju nfiltrasi meningkat. Kondisi ini selain meningkatkan lengas tanah
juga mereduksi volume dan laju aliran permukaan (direct run off)
Pengaruh sistem ini terhadap tata air, dominan pada aliran tunda dan
pengaruh ini nyata setelah dicapai setelah permukaan tanah tertutup
tajuk tanaman (Swank and Miner, 1968 dalam Noordwijk dkk, 2004).
4. Serapan air.
Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan tanah untuk
mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon,
distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air
tersedia. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan
mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan
berikutnya, sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan
aliran permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya dari lapisan
tanah bawah akan mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran lambat’
(slow flow).
5. Drainase lansekap.
Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan
tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama
sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk
akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya ‘aliran cepat air
tanah’ (quick flow).
Dengan demikian, dalam sebuah sistem agroforestry yang dikelola dengan
baik, fungsi lahan agroforestry sebagai penerima, penyimpan, penyalur
dan pelepas air dapat berjalan dengan baik. Selain itu juga bisa
mengurangi terjadinya erosi tanah karena dengan mereduksi sediment yield
serta meningkatkan water yield dengan regimen yang relatif sama
sepanjang waktu. Sebagai contoh tentang peranan agroforestry dalam
menjaga drainase lanskap dijelaskan oleh Gopinathan dan Sreedharam
(1989) dalam Rauf (2004) yang meneliti enam bentuk agroforestry,
berkesimpulan bahwa agroforestry Eucalyptus +Cassava mengikuti kontur
pengaruhnya lebih baik terhadap pengendalian erosi dibandingkan dengan
Eucalyptus monokultur dan Eucalyptus+Cassava yang ditanam secara acak.
D. Fungsi Konservasi
Pengelolaan hutan dan kawasan konservasi, termasuk upaya rehabilitasi
lahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, telah
memprogramkan pengembangan hutan kemasyarakatan Kepmen No. 311/
Kpts-II/2001, tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, hutan
tanaman, dan hutan rakyat dalam bentuk agroforestry.
Sebagai paradigma baru dalam pengelolaan hutan, pelaksanaan hutan
kemasyarakatan yang dipadukan dengan model agroforestry diharapkan dapat
melestarikan hutan alam melalui peningkatan produktivitas lahan hutan di
areal masyarakat atau di lahan kritis. Program ini perlu diadakan di
sekitar kawasan konservasi seperti taman nasional dengan pengembangan
model tersebut di daerah penyangga, untuk meningkatkan kesejahteraan dan
persepsi masyarakat dalam perlindungan kawasan pelestarian alam. Sebagai
salah satu program pengelolaan hutan produksi yang melibatkan
masyarakat, model agroforestry dikembangkan di hutan produksi kawasan
Gn.
Ciremai yang dikenal dengan PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)
sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional. Secara umum
manfaat dari sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat dengan model
agroforestry menurut Bismark dan Sawitri (2006) di bidang konservasi
antara lain :
1. Pelestarian Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan
Kekayaan jenis dalam areal agroforestry sangat tinggi. Agroforestry yang
terletak dekat hutan alam memiliki komponen jenis tumbuhan hutan yang
beragam. Pada agroforestry di Krui Lampung dan di Maninjau Sumatera
Barat terdapat 300 spesies tumbuhan. Pada agroforestry banyak ditemukan
tumbuhan yang membutuhkan sinar matahari lebih banyak, seperti nangka,
sukun, pulai, dan bayur.
Masyarakat desa di Gn Halimun, Jawa Barat banyak memanfaatkan flora
hutan untuk kepentingan bangunan, sumber pakan, obat tradisional, kayu
bakar, pakan ternak, dan upacara adat sejumlah 464 jenis (Harada et al.,
2001 dalam Bismark dan Sawitri, 2006), tetapi jenis yang umum
dibudidayakan di ladang dalam tiga desa didominasi oleh 20 jenis pohon
utama yang bernilai ekonomis tinggi dan cepat tumbuh. Jenis pohon yang
dikembangkan di antaranya adalah Maesopsis eminii, Agathis alba,
Swietenia macrophylla, Durio zibethinus, Melia azedarah, Paraserianthes
falcataria, dan Peronema canescens.
2. Habitat Satwaliar
Agroforestry yang sudah tertata dengan keanekaragaman jenis tinggi dan
komposisi tajuk yang baik dapat menjadi habitat dari beberapa jenis
satwa, seperti primata, beruang, dan mamalia teresterial. Peran satwa
tersebut dapat sebagai penyebar biji-bijian yang membantu proses
regenerasi dan peningkatan keanekaragaman tumbuhan. Jumlah spesies
mamalia yang ditemukan di agroforestry durian ada 33 jenis, di hutan
karet 39 jenis, dan hutan damar 46 jenis dengan jenis yang dilindungi
masing-masing 14, 15, dan 17 jenis (Michon et al., 2000 dalam Bismark
dan R. Sawitri, 2006).
Dengan demikian, pengembangan hutan rakyat dengan sistem agroforestry
memiliki manfaat sebagai rehabilitasi kawasan di daerah penyangga
sekitar kawasan taman nasional sekaligus manfaat ekonomis dan ekologis
untuk konservasi jenis satwa di luar dan di dalam taman nasional.
3. Konservasi Lahan dan Air
Masalah lingkungan yang umum berkaitan dengan lahan adalah meluasnya
lahan kritis dan tingginya tingkat erosi tanah. Sistem stratifikasi
tajuk yang menyerupai hutan dari segi konservasi tanah dan air akan
lebih berdampak pada pengaturan tata air dan hujan tidak langsung ke
tanah yang dapat mencegah erosi permukaan. Hal ini terlihat dari
komposisi jenis dan pola tanam, jenis pohon di ladang, dan hutan rakyat.
Sebagai contoh peran pohon dalam peresapan air seperti Calliandra
callothyrsus 56%, Parkia javanica 63,9%, dan Dalbergia latifolia 73,3%
(Pudjiharta, 1990 dalam Bismark dan Sawitri, 2006).
Manfaat lain dari adanya pohon terhadap lingkungan adalah terjadinya
siklus hara yang efisien sehingga akan mendukung produktivitas lahan
melalui penyuburan tanah oleh berkembangnya mikroba tanah. Tersedianya
konsentrasi bahan organik, C, dan N tanah dari serasah akan berpengaruh
pada biomasa mikroba tanah, termasuk mikoriza yang aktif menyerap dan
menyediakan unsur mikro P, N, Zn, Cu, dan S kepada tumbuhan inang,
sehingga siklus hara pada agroforestrybersifat efisien dan tertutup.
4. Kesetimbangan biodiversity.
Keragaman tanaman yang dusahakan antara tanaman tahunan dan tanaman
pertanian memungkinkan terjadinya rantai makanan dan energi yang lebih
panjang. Kondisi ini selanjutnya akan mendukung terciptanya keragaman
hayati yang tinggi (biodiversitas).
Secara ringkas, (Sabarnurdin, 2004) menyebutkan beberapa manfaat
lingkungan yang dapat diperoleh dari sistem agroforestry;
- Mengurangi tekanan terhadap hutan, sehingga fungsi kawasan hutan tidak terganggu (tata air, keanekaragaman hayati dll);
- Lebih efisien dalam recycling unsur hara melalui pohon berakar dalam di lokasi tsb.;
- Perlindungan yang lebih baik terhadap sistem ekologi daerah hulu DAS;
- Mengurangi aliran permukaan, pencucian hara dan erosi tanah ;
- Memperbaiki iklim mikro, mengurangi suhu permukaan tanah, mengurangi evapotranspirasi karena kombinasi mulsa dari tanaman setahun/semusim dan naungan pohon;
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Agroforestry memiliki dua dimensi utama, yaitu aspek sosial-ekonomi dan
aspek lingkungan. Secara ekonomi agroforestry telah terbukti cukup
berhasil dalam memenuhi kebutuhan jangka pendek masyarakat melalui agro
dan jangka panjang melalui tanaman kayunya. Bahkan diharapkan sistem
agroforestry diharapkan dapat menjadi suatu solusi masalah kemiskinan di
Indonesia.
Dalam kegiatan ini masyarakat dapat memanfaatkan lahan hutan untuk
kegiatan yang menghasilkan tanaman pangan di antara tanaman hutan dan
pohon jenis serbaguna. Selain itu masyarakat dapat mengembangkan
teknologi budidaya mereka melalui teknik (kearifan) lokal. Seperti
pengembangan tanaman pekarangan, kebun, pemeliharaan hutan sekunder, dan
kawasan lindung sekitar desa untuk perlindungan tata air dan mengelola
hasil hutan dengan cara pemanfaatan hasil hutan non-kayu.
Selain manfaat ekonomi yang merupakan tujuan utama masyarakat dalam
melaksanakan praktek agroforestry, sistem ini juga mempunyai aspek
positif lainnya dalam jasa lingkungan. Beberapa aspek lingkungan
agroforestry yang baik secara sengaja ataupun tidak diperoleh adalah
dalam proses tata air (hidrologi), menjaga sekaligus meningkatkan
konservasi, baik konservasi terhadap tumbuhan dan hewan yang ada di
dalamnya, maupun konservasi terhadap air dan tanah yang menjadi
habitatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, O. 2010. Reba Juma : Kelestarian Praktek Agroforestri Lokal
pada Masyarakat Karo, Propinsi Sumatera Utara. Prosiding Agroforestri
Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 123-136.
Bintoro. 2010. Repong Damar Prototipe Hutan Rakyat Yang Ideal. Prosiding
Agroforestri Tradisional di Indonesia. Bandar Lampung. Hal 87-98.
Bismark, M dan R. Sawitri. 2006. Pengembangan dan Pengeloaan Daerah
Penyangga Kawasan Konservasi. Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil
Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20
September 2006.
De Foresta, H. and G. Michon. 1997. The agroforest alternative to
Imperata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach
sustainability. Agroforestry Systems. 36:105-120.
De Foresta, H., A. Kusworo, G. Michon dan W.A. Djatmiko. 2000. Ketika
Kebun Berupa Hutan – Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan
Masyarakat. ICRAF, Bogor. 249 pp.
Download Makalah Agroforestry dan Peranannya dalam Mempertahankan Fungsi
Hidrologi dan Konservasi Format Word.