Makalah Stunting

Artikel Pendidikan -  Makalah Stunting dibawah ini terdiri dari Pengertian Stunting, Situasi Balita Pendek (STUNTING) di Indonesia, Situasi Ibu dan Calon Ibu Saat Terjadinya Stunting, Situasi Bayi dan Balita Saat Stunting, Situasi Sosial Ekonomi dan Lingkungan Saat Terjadinya Stunting dan Dampak dan Upaya Pencegahan Stunting.


BAB I PENDAHLUAN
Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terhadap penyakit dan ketika dewasa berisiko untuk mengidap penyakit degeneratif. Dampak stunting tidak hanya pada segi kesehatan tetapi juga mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Anak merupakan aset bangsa di masa depan. Bisa dibayangkan, bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa yang akan datang jika saat ini banyak anak Indonesia yang menderita stunting. Dapat dipastikan bangsa ini tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam menghadapi tantangan global.

Proporsi Jumlah Balita Pendek di Asia Tahun 2017
Sumber: Joint Child Malnutrition Eltimates, 2018
Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah mencanangkan program intervensi pencegahan stunting terintegrasi yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga. Pada tahun 2018, ditetapkan 100 kabupaten di 34 provinsi sebagai lokasi prioritas penurunan stunting. Jumlah ini akan bertambah sebanyak 60 kabupaten pada tahun berikutnya.

Dengan adanya kerjasama lintas sektor ini diharapkan dapat menekan angka stunting di Indonesia sehingga dapat tercapai target Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2025 yaitu penurunan angka stunting hingga 40%. Dipilihnya topik Stunting pada Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan edisi tahun 2018 ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat luas tentang situasi, kondisi, penyebab, dan dampak stunting bagi bangsa ini.
Rata-rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara Tahun 2005-2017

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%.

Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.


BAB II PEMBAHASAN
Definisi Stunting
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.

Situasi Nasional
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015-2017
Sumber: Pemantauan Status Gizi, Ditjen Kesehatan Masyarakat
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh pemerintah.
Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2007-2013
Sumber: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Balitbangkes
Survei PSG diselenggarakan sebagai monitoring dan evaluasi kegiatan dan capaian program. Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Peta Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2017

Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.

Situasi Ibu dan Calon Ibu
Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor faktor yang memperberat keadaan ibu hamil adalah terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting. Baca Selengkapnya Tentang Situasi Ibu dan Calon Ibu

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor faktor yang memperberat keadaan ibu hamil adalah terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting.

Dari data Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada remaja usia 10-14 tahun sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%. Proporsi kehamilan pada remaja lebih banyak terdapat di perdesaan daripada perkotaan.

Proporsi Kehamilan pada Remaja Menurut Daerah Tempat Tinggal di Indonesia Tahun 2013
Proporsi Kehamilan pada Remaja Menurut Daerah Tempat Tinggal di Indonesia Tahun 2013

Sedangkan menurut data Susenas tahun 2017, hasil survei pada perempuan berumur 15 49 tahun diketahui bahwa 54,01% hamil pertama kali pada usia di atas 20 tahun (usia ideal kehamilan). Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20 tahun, 15,99% pada usia 17-18 tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia mengalami kehamilan pertama pada usia muda atau remaja.

Persentase Perempuan Berumur 15 - 49 Tahun yang Pernah Hamil. Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Umur Saat Hamil Pertama Kali di Indonesia Tahun 2017
Persentase Perempuan Berumur 15 - 49 Tahun yang Pernah Hamil. Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Umur Saat Hamil Pertama Kali di Indonesia Tahun 2017

Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur tubuh (berat badan dan tinggi badan) dan gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting. Remaja putri sebagai calon ibu di masa depan seharusnya memiliki status gizi yang baik. Pada tahun 2017, persentase remaja putri dengan kondisi pendek dan sangat pendek meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 7,9% sangat pendek dan 27,6% pendek.

Persentase Remaja Putri dengan Status Gizi Pendek dan Sangat Pendek di Indonesia Tahun 2017.
Persentase Remaja Putri dengan Status Gizi Pendek dan Sangat Pendek di Indonesia Tahun 2017.

Dari sisi asupan gizi, 32% remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 berisiko kekurangan energi kronik (KEK). Sekitar 15 provinsi memiliki persentase di atas rata-rata nasional. Jika gizi remaja putri tidak diperbaiki, maka di masa yang akan datang akan semakin banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh pendek dan/atau kekurangan energi kronik. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya prevalensi stunting di Indonesia.

Persentase Remaja Putri Berisiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) di Indonesia Tahun 2017

Persentase Remaja Putri Berisiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) di Indonesia Tahun 2017

Persentase Wanita Usia Subur (WUS) yang berisiko KEK di Indonesia tahun 2017 adalah 10,7%, sedangkan persentase ibu hamil berisiko KEK adalah 14,8%. Asupan gizi WUS yang berisiko KEK harus ditingkatkan sehingga dapat memiliki berat badan yang ideal saat hamil. Sedangkan untuk ibu hamil KEK sudah ada program perbaikan gizi yang ditetapkan pemerintah yaitu dengan pemberian makanan tambahan berupa biskuit yang mengandung protein, asam linoleat, karbohidrat, dan diperkaya dengan 11 vitamin dan 7 mineral sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi.

Persentase Wanita Usia Subur (WUS) dan Ibu Hamil Berisiko KEK di Indonesia Tahun 2017
Persentase Wanita Usia Subur (WUS) dan Ibu Hamil Berisiko KEK di Indonesia Tahun 2017

Kekurangan energi kronik disebabkan oleh asupan energi dan protein yang tidak mencukupi. Kecukupan konsumsi energi ibu hamil dihitung dengan membandingkan dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dikategorikan menjadi:
1. Defisit jika kurang dari 70% AKE.
2. Defisit ringan antara 70 – 79% AKE.
3. Cukup antara 80 – 119% AKE.
4. Lebih jika 120% AKE atau lebih.

Kecukupan konsumsi protein ibu hamil dihitung dengan membandingkan dengan Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dikategorikan menjadi:
1. Defisit jika kurang dari 80% AKP
2. Defisit ringan antara 80-99% AKCukup jika 100% AKP atau lebih

Berdasarkan PSG tahun 2016, 53,9% ibu hamil mengalami defisit energi dan 13,1% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 51,9% ibu hamil mengalami defisit protein dan 18,8% mengalami defisit ringan. Hal ini menunjukkan bahwa separuh ibu hamil di Indonesia masih belum terpenuhi kebutuhan energi dan protein.

Persentase Kecukupan Energi dan Protein pada Ibu Hamil di Indonesia Tahun 2016
Persentase Kecukupan Energi dan Protein pada Ibu Hamil di Indonesia Tahun 2016

Baca Juga : Situasi Bayi dan Balita Saat Stunting

Situasi Bayi dan Balita Saat Stunting
Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan.

Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu dini. Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh (97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12 provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua Barat belum mengumpulkan data.
Cakupan Bayi Baru Lahir Mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Menurut Provinsi Tahun 2017

Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 61,33%. Persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada Nusa Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada Papua (15,32%). Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasional. Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI eksklusif masih perlu ditingkatkan.
Cakupan Bayi Mendapat ASI Eksklusif Menurut Provinsi Tahun 2017

Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan.
Persentase Kecukupan Energi dan Protein pada Balita di Indonesia Tahun 2017

Untuk memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal maupun PMT pabrikan yaitu biskuit MT balita. Jika berat badan telah sesuai dengan perhitungan berat badan menurut tinggi badan, maka MT balita kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan makanan keluarga gizi seimbang.

Baca Juga : Situasi Sosial Ekonomi dan Lingkungan Saat Terjadinya Stunting

Dampak dan Upaya Pencegahan Stunting.


Dampak dan Upaya Pencegahan Stunting

Dampak Stunting
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang.
1. Dampak Jangka Pendek.
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal; dan c. Peningkatan biaya kesehatan.

2. Dampak Jangka Panjang.
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya);
b. Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;
c. Menurunnya kesehatan reproduksi;
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah; dan
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

Upaya Pencegahan Stunting
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. 

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai berikut:

1. Ibu Hamil dan Bersalin
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien (TKPM);
e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
f. Pemberantasan kecacingan;
g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA;
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif; dan
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita;
b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3. Anak Usia Sekolah
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan
d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba

4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba; dan
b. Pendidikan kesehatan reproduksi.

5. Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok/mengonsumsi narkoba.