Akar Peperangan dan Strategi Peperangan


Akar Peperangan dan Strategi Peperangan - Pasca kekalahan pemerintah Belanda dalam peperangan era Napoleon di Eropa, mereka mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa di segala sektor kehidupan. Untuk mengatasinya, mereka memberlakukan berbagai pajak dan eksploitasi ekonomi di daerah-daerah jajahannya, termasuk di Nusantara. Mereka memberlakukan berbagai pajak dan juga monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Mereka juga mengambil hasil bumi rakyat Indonesia dengan paksa dan tanpa imbalan apapun. Praktik pajak di berbagai sektor yang diberlakukan penjajah Belanda berikut monopoli perdagangan telah berakibat rakyat Indonesia mengalami kesulitan hidup.

Kemudian untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda melebarkan agresinya dengan cara menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang salah satunya adalah Kerajaan Yogyakarta. Tragisnya, dalam banyak kepentingan, justru para pejabat kerajaan membantu memuluskan tujuan dan kepentingan agresi penjajah di bumi tanah airnya dan bangsanya sendiri.
Perang Diponegoro terjadi secara serius dimulai dari pertentangan Pangeran Diponegoro terhadap tindakan penjajah Belanda yang arogan; tidak mau menghargai adat-istiadat setempat dan mengeksploitasi rakyat melalui pembebanan pajak. Puncaknya, ketika kolonial Belanda menjalankan proyek pembangunan jalan dan menggusur tanah milik keluarga besar Pangeran
Diponegoro, yang diantaranya lahan tersebut berupa makam keluarga. Namun, dibalik semua aspek penyulut perlawanan masyarakat Jawa terhadap pemerintah Belanda adalah kekesalan dan kebencian mereka terhadap penjajah Belanda yang terus menerus melakukan kejahatan kepada penduduk pribumi Jawa melalui berbagai bidang kehidupan.

Strategi Peperangan
Strategi perang Diponegoro populer dengan perang gerilya yang dikenal banyak orang sebagai strategi konvensional. Padahal yang sebenarnya terjadi, strategi prang gerilya yang diterapkan Pangeran Diponegoro ini, dalam konteks kekinian, ternyata termasuk perang modern dan bukan seperti strategi perang suku (tribal ware). Dari sudut kemiliteran, perang gerilya yang diterapkan pejuang Jawa dalam komando Pangeran Diponegoro berbasis multi metode dengan taktik hit and run dan penghadangan. Siasat perang ini diakui Belanda sebagai siasat perang yang sangat canggih, dan belum pernah dipraktikkan. Dalam perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psyware) dan mata-mata (spionase, telik sandi).
Perang Jawa Dalam Perspektif Ponorogo, Akar Peperangan dan Strategi Peperangan Ponorogo, Strategi Peperangan Ponorogo, Tragedi Stelsel Makna Perang Jawa Perspektif Ponorogo, mengapa perang diponegoro disebut perang jawa

Hebatnya lagi, strategi perang Diponegoro juga sangat mempertimbangkan kondisi cuaca. Para pejuang tanah air ini memilih penyerangan pada saat musim penghujan. Alam dijadikan sebagai senjata yang sangat ampuh. Pihak penjajah Belanda sangat menghindari musim penghujan ini untuk bertempur. Karena itu, mereka selalu menyerukan gencatan senjata dan berunding saat musim penghujan ini tiba. Pihak Belanda sangat menyadari hambatan besar jika peperangan berlangsung saat hujan, karena hujan tropis yang lebat bias membahayakan pasukan; menghambat gerak pasukan dan yang sangat ditakutkan adalah musuh dari alam berupa penyakit malaria dan desentri. Inilah fakta yang terjadi, bahwa akibat strategi perang seperti ini, pihak Belanda banyak kehilangan pasukan yang mati disebabkan berbagai musuh alam yang tidak tampak nyata tersebut. Inilah alasan utama, penjajah Belanda mengerahkan pasukan yang sangat besar, yakni sekitar 23.000 serdadu, suatu hal yang belum pernah dilakukan Belanda, apalagi hanya untuk wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.