Makalah AL Urf dan Syaru man Qoblana : Al-urf secara harfiah adalah berarti sebuah keadaan , ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dibeberapa masyarakat, Urf ini sering disebut juga sebagai adat istiadat.
Sedangkan menurut Syeikh Abdul Wahab, Al-urf adalah apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkannya. Pengertian sebelumnya juga sama dengan pengertian para ahli Syara’, bahwa contoh Al-urf itu bisa berupa suatu yang bersifat perbuatan dengan adanya saling pengertian diantara sesama manusia tentang jual beli tanpa adanya Syighot. Sedangkan jika berupa perkataan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafad al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juag tentang meng-itlak-kan lafadz L-Lhm Yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqih
merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang
ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum
dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria
seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat
mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Meskipun
demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri
–seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih
sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan
para Ushuluyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah
(sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau
“Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan
hukum.
Salah satu dalil
itu adalah apa yang dikenal dengan al_'Urf (selanjutnya disebut sebagai 'urf
atau adat). Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat al-'urf tersebut,
bagaimana pandangan para ulama tentangnya, serta beberapa hal lain yang terkait
dengannya. Wallahul muwaffiq
B.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
1. Al-Urf
2. Syar’u
Man Qoblana
3. Ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-urf
Al-urf
secara harfiah adalah berarti sebuah keadaan , ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Dibeberapa masyarakat, Urf ini sering
disebut juga sebagai adat istiadat.
Sedangkan menurut Syeikh Abdul Wahab, Al-urf adalah apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkannya. Pengertian sebelumnya juga sama dengan pengertian para ahli Syara’, bahwa contoh Al-urf itu bisa berupa suatu yang bersifat perbuatan dengan adanya saling pengertian diantara sesama manusia tentang jual beli tanpa adanya Syighot. Sedangkan jika berupa perkataan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafad al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juag tentang meng-itlak-kan lafadz L-Lhm Yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Sedangkan menurut Syeikh Abdul Wahab, Al-urf adalah apa yang saling diketahui dan yang saling dijalani orang. Baik berupa perkataan, perbuatan, atau meninggalkannya. Pengertian sebelumnya juga sama dengan pengertian para ahli Syara’, bahwa contoh Al-urf itu bisa berupa suatu yang bersifat perbuatan dengan adanya saling pengertian diantara sesama manusia tentang jual beli tanpa adanya Syighot. Sedangkan jika berupa perkataan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafad al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juag tentang meng-itlak-kan lafadz L-Lhm Yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan
demikian Urf mencakup sikap saling pengertian diantara manusia atas perbedaan
tingkatan diantara mereka. Baik keumumannya maupun kekhususannya. Maka Urf
berbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para
mujtahidin secara khusus.
a. Yang membolehkan dan tidak perihal Al-urf
Ibnu
Hajar seperti yang disebutkan al-Khayyath, mengatakan bahwa para ulama’
Syafi’iyah tidak membolehkan berhujjah dengan Al-urf apabila dalam Urf tersebut
bertentangan dengan nash.
Sedangka
ulaam Hanafiyah dan Malikiyah menjadikan Urf sebagai dalil hukum yang Mustakil
dalam amsalah-masalah yang tidak ada Nashnya yang Qathi’ serta tidak ada
larangan Syara’ terhadap Mutlak, dan Urf ini didahulukan pemakaiannya dari pada
Qiyas.
Kalau ulama’ Hanabillah menerima Urf ini selama ia tersebut tidak bertentangan dengan edngan nash.
Kalau ulama’ Hanabillah menerima Urf ini selama ia tersebut tidak bertentangan dengan edngan nash.
Dan
dari ulama’ Syi’ah menrima Urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak
mandiri tetapi harus terkait dengan dalil lainnya, yakni Al-qur’an dan Al-hadits.
Makalah AL Urf dan Syaru man Qoblana |
b. Macam-macam Al-urf
Jika
dilihat dari baik dan buruknya Urf dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a.
Urf Sahih
yaitu
sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan
Syara’. Tidak menghalalkan yang telah diharamkan oleh Syara’ dan tidak
mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Syara’, serta tidak membatalkan yang
wajib. Seperti adanya pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan,
pembagian mas kawin (mahar) yang didahulukan dan diakhirkan. Begitu pila dengan
istri yang tidak mau menyerahkan dirinya kepada suami asal jika tidak telah
menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatu yang telah diberikan oleh
pelamar (calon suami) kepaad calon istri, berupa perhiasan, pakaian, atau apa
saja, yang dianggap sebagai hadiah dan bukan sebagai mahar.
b.
Urf fasid
yaitu
sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan Syara’,
atau menghalalkan yang telah diharamkan oleh Syara’, dan juga mengharamkan yang
telah dihalalkan oleh Syara’, seperti adanya saling pengertian diantara mausia
tentang beberapa perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak, juga tentang
memakan barang Riba’ dan kontrak judi.
sedangkan
jika dilihat dari sudut tradisinya, Urf terbagi menjadi dua, yaitu :
a.
Urf perkataan
yaitu
kebiasaan penggunaan kata-kata tertentu yang mempunyai implikasi hukum, dan
telah disepakati secara bersama oleh masyarakat. Seperti penggunaan kata Haram
untuk perceraian. Dengan demikian, kalau seorang suami mengucapkan perkataan
“engkau haram bagiku” terhadap istrinya, maka telah jatuh talak satu.
b.
Urf Perkataan
yaitu
berupa tindakan atau perbuatan yang telah menjadi kesepakatan, dan mempunyai
implikasi hukum. Seperti pemakaian kamar mandi umum yang dengan membayar tarif
tertentu tanpa batas waktu. Dengan demikian “sewa tertentu” cukup untuk
pemakaian kamar mani atau wc umum tersebut dalam rentang waktu sesuai
kebutuhan.
Hal
ini atas dasar hadits nabi dari riwayat ahmad, bahwa “ dari ibnu Mas’ud beliau
berkata , Rasulullah bersabda, apa yang menurut orang-orang islam itu baik, niscaya
menurut Allah juga baik”.
Maka
atas dasar hadits di atas itulah kemudia para para ulama’ fiqih dari golongan
yang memakai urf falam proses kajian hukumnya mengeluarkan kaedah “Al-adatu-
mukhakkamah” yang artinya bahwa kebiasaan-kebiasaan masyarakat itu dapat
dijadikan rujukan dalam pembahasan hukum.
c. Hikmah Urf
Urf
yang sahih itu wajib dipelihara pada tasyri’ dan pada hukum. Mujtahid harus
memeliharanya pada tasyri’ nya itu. Dan bagi hakim memeliharanya itu pada
hukumnya. Karena apa yang saling diketahui orang itu dan apa yang saling
dijalani orang itu dapat dijadika hujjah, kesepakatan, dan kemaslahatan mereka.
Selama tidak menyalahi syari’at, maka wajib meemliharanya.
Imam
Malik membina kebanyakan hukum-hukumnya itu terhadap perbuatan penduduk
Madinah..ulama almarhum Ibnu Abidin telah menyusun sebuah risalah yang
dinamakannya, membetangkan arfu dari apa yang dibina dari hukum-hukum terhadap
urf. Ada kata-kata yang masyhur mengatakan, yang diketahui urf itu adalah
seperti yang di isyaratkan Syara’. Yang ditetapkan dengan urf itu adalah seperti
yang ditetapkan dengan nash.
Adapun
akad in diperhitungkan dari segi kepentingan orag atau kebutuhan orang yang
sangat mendesak. Sebab apabila terjadi penipuan membatalkan peraturan hidup,
atau orang yagn mendapatkan kesulitan, atau kesempitan atau bukan. Jika ada
suatu hal yang sangat mendesak dibutuhkan, maka disini diperbolehkan. Karena
hal-hal yang sangat mendesak itu membolehkan hal-hal yang dilarang..
d. Kehujjahan Al-urf
Urf
menurut penyelidikan bukan merupakan dalil Syara’ tersendiri. Pada umumnya, urf
ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum
dan penafsiran beberapa nash. Dengan urf dikhususkan lafal yang umum dan
dibatasi yang mutlak, karena urf pula terkadang qiyas ditinggalkan. Karena itu
pula, sah apabila mengadakan kontrak borongan apabila Urf sudah terbiasa dengan
hal in, sekalipun tidak sah menurut Qiyas, karena kontrak tersebut adalah
kontrak atas perkara yang Ma’dum (tiada).
e. Hukum Urf
e. Hukum Urf
a.
Urf Shahih dalam pandangan para ulama’
Telah
disepakati bahwa urf yang shahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum
dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia
menetapkan hukum. Begitu pula seorang hakim harus memeliharanya ketika ia
sedang mengadili. Sesuatu yang telah dikenal manusia meskipun tidak menjadi
adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemaslahatan
bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan dengan Syara’ harus
dipelihara.
Diantara
ulama’ ada yang berkata “adat adalah Syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum”
begitu pula Urf yang menurut Syara’ mendapat pengakuan hukum. Imam malik
mendasarkan sebagian besar hukunya pada perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah
bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan atas dasar
perbuatan Urf mereka. Sedangkan imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir
mengubah sebagian pendapat tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika
berada di Baghdad, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal Urf
mereka. Maka kemudia tak heran jika beliau kemudian mempunyai dua madzhab,
yaitu madzhab Qodim (terdahulu/pertama) dan madzhab Jadid (baru)
b.
Urf yang fasid
Urf
ini tidak diharuskan dalam pemeliharaannya,karena memeliharanya berarti
menentang dalil Syara’, atau pula membatalkan dalil Sayra’ tersebut. Apabila
masyarakat atau manusia sudah saling mengerti bahwa Urf yang berupa akad-akad
itu rusak, seperti dalam Riba’. Maka bagi Urf ini tidak mempunyai pengaruh
dalam membolehkannya.
Hukum-hukum yang didasarkan pada Urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu para Fuqoha’ berkata, “perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti.
Hukum-hukum yang didasarkan pada Urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu para Fuqoha’ berkata, “perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti.
B.
Syar'u
Man Qablana
Pengertian
Syar'u Man Qablana
Ada beberapa pengertian tentang syar’u man qablana, diantaranya ;
Ada beberapa pengertian tentang syar’u man qablana, diantaranya ;
- Syar’u man qablana artinya syariat sebelum Islam.
- Syar ‘u man qablana ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.
- “Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”
- Syar’u man qablana atau syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hokum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang
diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara
umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena
masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam
syari’at Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang
melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan
tindak pidana pencurian.
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul
sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.
a. Kedudukan Syar’u Man Qablana
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat
terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad.
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan
konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah.
Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan
kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum
umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi
hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.
b. Pembagian Syar’u Man Qablana
a. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at
kita (dimansukh)
Jika Alqur’an dan Hadis shahih menerangkan suatu hukum yang
disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash yang
membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syari’at kita karena
sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan bunuh diri bagi
orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi
Musa.
Dan syarat keharusan memotong kain yang terkena najis
sebagai syarat menyucikan pakaian/kain itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua
kasus ini hukumnya telah dibatalkan dengan firman Allah surat Hud :
b. Ajaran yang disyari’atkan oleh kita
Bila Al-Qur’an atau hadis shahih menerangkan suatu hukum
yang disyari’atkan kepada umat sebelum Islam, lalu Al-Qur’an dan hadis itu
menetapkan bahwa hukum itu wajib pula kepada umat Islam untuk mengerjakannya,
tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at yang harus ditaati
umat Islam. Misalnya kewajiban berpuasa, kewajiban ini telah diwajibkan kepada
umat sebelum Islam. Kemudian setelah datang agama Islam, syari’at semacam itu
diwajibkan lagi bagi orang Islam, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah
: 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
- Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
- Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari’at kita.
Untuk hal ini ada dua
pendapat, yaitu;
Pendapat pertama, menyatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya.
Pendapat kedua bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan.
Pendapat pertama, menyatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya.
Pendapat kedua bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan.
Dengan perbedaan pendapat di atas,
maka ada hal yang disepakati ulama :
o Hukum-hukum syara yang ditetapkan
bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum
Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber
hukum Islam.
o Segala sesuatu hukum yang dihapuskan
dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi
kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak
berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging
bagi Bani Israil.
o Segala yang ditetapkan dengan nash
yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah
lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan
karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu. Sedangkan Muhammad Abu
Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil
khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat
Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka
hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa
yang ada dalam Alquran.
C. Ijtihad
DEFINISI IJTIHAD
Secara
etimologis (istilah bahasa) ijtihad berarti mengerahkan energi untuk menyatakan
suatu perkara tertentu baik itu bersifat materi atau maknawi.
Secara
istilah fiqih Islam ijtihad adalah
(a)
mengerahkan upaya serius untuk melakukana pengambilans hukum
syariah dari dalil-dalil syariah.; atau
(b)
Upaya yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum
syariah baik yang aqliyah atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah
tetap seperti Al Quran, hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain.
DALIL DASAR IJTIHAD
QS
An-Nahl 16:43 dan Al-Anbiya' 21:7
Artinya:
..
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui
Hadits
muttafaq alaih (Bukhari Muslim) dan Ahmad
Artinya: Apabila seorang hakim membuat keputusan apabila dia berijtihad dan benar maka dia mendapat dua pahala apabila salah maka ia mendapat satu pahala.
Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi
Artinya:
Ketika Nabi mengutus Sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman sebagai hakim Nabi
bertanya: Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum? Muadz menjawab:
Saya akan putuskan dengan Quran. Nabi bertanya: Apabila tidak kamu temukan
dalam Quran? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya: Kalau
tidak kamu temukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan pendapat saya
dan tidak akan melihat ke lainnya. Muadz berkata: Lalu Nabi memukul dadaku dan
bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi pertolongan pada utusannya
Rasulullah karena Nabi menyukai sikap Muadz.
HUKUM IJTIHAD
Hukum
ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya.
Adapun ijtihad adalah proses pengambilan hukum (istinbat al-hukm) yang harus
dilakukan dengan hati-hati oleh ahli di bidangnya.
BIDANG IJTIHAD
Bidang
yang dapat diijtihadi adalah hukum syariah praktis yang tidak terdapat hukum
yang pasti dalam Quran dan hadits. Sedangkan masalah yang pasti tidak berada
dalam domain ijtihad seperti wajibnya shalat dan jumlah rakaatnya. Dan perkara
yang diharamkan yang sudah tetap berdasarkan dalil yang pasti seperti haramnya
riba dan membunuh tanpa hak.
MENGAPA HARUS ADA IJTIHAD
Sebagaimana
diakui oleh Nabi dalam hadits Mua'ad bin Jabal di atas, bahwa ada kemungkinan
Quran dan hadits tidak menyebut secara langsung sejumlah kasus hukum dan
solusinya. Dalam konteks ini maka pintu ijtihad terbuka bagi mereka yang
memiliki pemahaman ilmu agama yang diperlukan. Tujuannya: untuk memberi solusi
hukum bagi masyarakat Islam di setiap zaman dan generasi yang berbeda.
SYARAT-SYARAT IJTIHAD & ORANG YANG DAPAT MENJADI
MUJTAHID
Para
ulama sepakat bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh ahlinya yang memenuhi
persyaratan keilmuan seorang mujtahid. Beberapa persyaratan keilmuan seorang
mujtahid yang tersebut dalam kitab-kitab ushul adalah sebagai berikut:
- Islam, berakal sehat, dewasa
(baligh).
- Menguasai nash (teks) Al-Quran
yang berkaitan dengan hukum yang sering disebut ayat ahkam. Jumlahnya
sekitar 500 ayat.
- Mengetahui hadits-hadits yang
terkait dengan hukum .
- Mengetahui masalah hukum yang
sudah menjadi ijmak (kesepakatan) ulama dan yang masih terjadi khilaf/ikhtilaf
(perbedaan) di antara fuqoha (ulama fiqih). Tujuannya agar tidak
mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ijmak atau mengaku ijmak pada
hukum yang bukan ijmak atau mengeluarkan pendapat baru yang belum terjadi.
- Mengetahui qiyas karena qiyah
adalah rujukan ijtihad dan awal dari pendapat. Dari qiyas muncul produk
hukum. Orang yang tidak mengetahui qiyas tidak memungkinkan melakukan
pengambilan hukum (instinbt al-hukmi).
- Harus menguasai bahasa Arab dan
konteks pembicaraannya sehingga dapat membedakan antara hukum-hukum yang
pemahamannya harus merujuk pada bahasa, seperti kalam sharih (teks
eksplisit) dan teks faktual (dzahirul kalam), ringkasan (mujmal) dan
detail, umum dan khusus, pengertian hakikat dan majaz (kiasan).
- Mengetahui nasikh dan mansukh
baik yang terdapat dalam Quran maupun hadits sehingg tidak membuat produk
hukum berdasar pada nash (teks) yang sudah dimansukh.
- Mengetahui keadaan perawi
hadits dalam segi kekuatan dan kelemahannya. Membedakan hadits sahih dari
yang dhaif atau maudhu', yang maqbul (diterima) dari yang mardud
(tertolak).
- Memiliki kecerdasan dan
kemampuan dalam bidang pengembilan hukum yang dihasilkan dari pembelajaran
dan pendalaman dalam masalah dan studi hukum syariah.
- Adil. Dalam arti bukan fasiq.
Fasiq adalah orang yang pernah melakukan dosa besar atau terus-menerus
melakukan dosa kecil.
Syarat-syarat
keilmuan di atas tidak harus dikuasai secara sangat mendalam. Yang terpenting
adalah memiliki pemahaman yang baik (tingkat menengah) pada ilmu-ilmu di atas.
Sebagian
ulama juga mensyaratkan penguasaan pada ilmu mantiq dan ilmu kalam. Namun, sebagian besar ulama tidak
mensyaratkannya.
BENTUK PENYEBARAN IJTIHAD
Seorang
ulama yang ahli di bidang hukum fiqih (syariah) memiliki beberapa cara untuk
mengeluarkan dan menyebarkan hasil ijtihadnya sebagai berikut:
- Fatwa. Menerbitkan fatwa sudah
menjadi tradisi yang dilakukan sejak zaman Sahabat. Yang paling terkenal
seperti Muadz bin Jabal, Umar bin Khatab, Zaid bin Tsabit. Pada saat ini,
pemberian fatwa dilakukan dengan beberapa cara mulai dari peneribitan
majalah dan internet yang kemudian dibukukan.
- Studi kajian dan pembahasan
mendalam pada tingkat master atau doktoral di universitas. Seperti Kitabuz
Zakah karya Yusuf Qardhawi yang merupakan disertasi doktoralnya dari
Al-Azhar.
- Kodifikasi hukum untuk
bidang-bidang tertentu. Ini biasa dilakukan oleh para ahli hukum fiqih
yang juga menjadi pejabat pengadilan agama di negara masing-masing. Di
Indonesia contohnya seperti UU Perkawinan No 01 tahun 1974 dan KHI atau
Kodifikasi Hukum Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Urf
merupakan suatu yang ada dalam suatu masyarakat yang terbentuk melalui suatu
kebudayaan lokal, dan sudah seperti mendarah daging bagi para penghuninya.
Sehingga dalam ini Sayra’ tidak mengeluarkan suatu larangan apapun jika dalam
Urf tersebut memang membawa masyarakat atau mausia itu dalam sebuah
kemaslahatan yang sejalan dengan hukum islam, serta sebaliknya, jika dalam
pelaksanaan Urf ini ada yang tidak sesuai dengan Syara’ Islam, maka Urf ini
merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Dengan kata lain Urf itu tidak boleh
mengharamkan apa yangdihalalkan oleh Syara’, dan mengharamkan apa yang
dihalalkan oleh syara’.
Islam
yang Rohmatan Lil Alamin ini yang merupaakn dasar islam itu sendiri, islam
memberikan kebebasan bagi mereak untuk mengimplementasika islam menurut hasil
imajenasi mereka, menurut kebebasan mereka asalkan ini tidak melawan dari
Al-qur’an dan Al-hadits.
Urf
suatu golongan tertentu tidak bisa dipakai dalam golongan lain, kalaupun ada
itu hanya merupakan sifat dasar manusia yang memang secara lahirnya Fitroh.
Sehingga lewat Urf in, pemahaman mereak tentang islam lebih bisa menjadi apa
yang dikatakan sebagai Way is islam. Islam tersebut sebaagi dasar berkehidupan
di dalam ini, dan tidak hanya pada tataran ritualitas saja, seperti yang
ditatarkan oleh beberapa kalangan ekstrim belakangan in.
Syar’u
Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat
terdahulu melalui pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi
Ibrahim AS sbelum mendapat kitab al-Qur’an.
Hakikat syar’u
man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami
syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at
Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang
di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam
memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas
(takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi
semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih
berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang
secara tegas menyebutkan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bazdawi, Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl Bazdawî: Kanzû
al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris
Bakri,
Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Cholil,
Harisuddin, M. Ag. 2003. Ushul Fiqh I. Nganjuk: STAIM Press
Ghazali,
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad., 2000, al-Mustashfâ fî
Ilm al-Ushûl. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Hanafie
. A . 1993 . Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma
Hazm,
Ibnu. 1404. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz 5, Kairo: Dâr al-Hadits
Khallaf, Abdul
Wahhab. 1978. Ilmu Ushûl al-Fiqh, Kairo : Dar al-Qalam
Nuruddin,
Amiur. 1991. Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan
Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers
Yahya,
Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, Bandung: al-Ma'arif
Zuhaily,
Wahbah. 2001. Ushûl al-Fiqh al-Islâmy, Jilid 1 dan 2,
Syuriah: Dâr al-Fikr