MAKALAH PERMASALAHAN ETIK MORAL DAN DILEMA DALAM PRAKTEK KEBIDANAN MALPLAKTEK LENGKAP

MAKALAH PERMASALAHAN ETIK MORAL DAN DILEMA DALAM PRAKTEK KEBIDANAN MALPLAKTEK LENGKAP
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/Mengkes/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, didalamnya terdapat Kode Etik Bidan Indonesia. Deskripsi kode etik bidan Indonesia adalah merupakan suatu ciri profesi yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntunan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian profesi.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang berpengaruh terhadap meningkatnya kritis masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan terutama pelayanan kebidanan. Menjadi tantangan bagi profesi bidan untuk mengembangkan kompetensi dan profesionalisme dalam menjalankan praktik kebidanan serta dalam memberikan pelayanan berkualitas.
Sikap etis profesional bidan akan mewarnai dalam setiap langkahnya, termasuk dalam mengambil keputusan dalam merespon situasi yang muncul dalam usaha. Pemahaman tentang etika dan moral menjadi bagian yang fundamental dan sangat penting dalam memberikan asuhan kebidanan. dengan senantiasa menghormati nilai-nilai pasien.
Etika merupakan suatu pertimbangan yang sistematis tentang perilaku benar atau salah, kebajikan atau kejahatan yang berhubungan dengan perilaku. Etika berfokus pada prinsip dan konsep yang membimbing manusia berfikir dan bertindak dalam kehidupannya dilandasi nilai-nilai yang dianutnya.
Malpraktik secara Etik, Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan menjadi perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang – orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.

B. Tujuan Penulisan
     Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang:


1.  Malplaktek
  • Pengertian Malpraktek
  • Unsur Malpraktek
  • Jenis Malpraktek
  • Upaya pencegahan Malpraktek
  • Penanganan Malpraktek
       2.      Informed Choice dan Informed Consent

BAB II
PEMBAHASAN
1. Malpraktek
A.  Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
B. Unsur Malpraktek
Terdiri dari 4 unsur yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktek atau kelalaian telah terjadi (Vestal.1995):
1.     Kewajiban (duty): pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajibannya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.
Contoh: :
Perawat rumah sakit bertanggung jawab untuk:


  1. Pengkajian yang aktual bagi pasien yang ditugaskan untuk memberikan asuhan keperawatan.
  2. Mengingat tanggung jawab asuhan keperawatan professional untuk mengubah kondisi klien.
  3. Kompeten melaksanakan cara-cara yang aman untuk klien.
2.    Breach of the duty (Tidak melasanakan kewajiban): pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya
Contoh:


  • Gagal mencatat dan melaporkan apa yang dikaji dari pasien. Seperti tingkat kesadaran pada saat masuk.
  • Kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
  • Gagal melaksanakan dan mendokumentasikan cara-cara pengamanan yang tepat (pengaman tempat tidur, restrain, dll)
3.     Proximate caused (sebab-akibat): pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami klien.
Contoh:
Cedera yang terjadi secara langsung berhubungan dengan pelanggaran terhadap kewajiban perawat terhadap pasien atau gagal menggunakan cara pengaman yang tepat yang menyebabkan klien jatuh dan mengakibatkan fraktur.
4.      Injury (Cedera) : sesorang mengalami cedera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum.
Contoh: :
Fraktur panggul, nyeri, waktu rawat inap lama dan memerlukan rehabilitasi.
Dokter atau petugas kesehatan dikatakan melakukan malpraktek jika :


  • Kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kesehatan.
  • Melakukan pelayanan kesehatan dibawah standar profesi.
  • Melakukan kelalaian berat atau memberikan pelayanan dengan ketidak hati-hatian.
  • Melakukan tindakan medic yang bertentangan dengan hokum.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian, maka penggugat harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut :
1.      Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2.      Dokter telah melanggar standar pelayanan medic yang lazim digunakan.
3.      Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
4.      Secara factual kerugian disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
C. Jenis Malpraktik
Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).
1. Malpraktik Medik (medical malpractice)
John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat).
Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.

2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)
Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.
3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)
Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku.
Malpraktik Yuridik meliputi:
a. Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan
b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna
c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b. Mengungkapkan rahasia kedokteran dengan sengaja
c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan      darurat
d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e. Membuat visum et repertum tidak benar
f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli

Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:
a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal
c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice)

Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin
b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya
c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa.
d. Tidak membuat rekam medik.

D. Upaya Pencegahan Malpraktik
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.       Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b.      Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.       Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.      Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.       Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.       Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

E. Penanganan Malpraktik
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum.
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.

2. Informed Choice
Informed choice berarti membuat pilihan setelah mendapatkan penjelasan tentang alternatif asuhan yang akan dialaminya, pilihan (choice) harus dibedakan dari persetujuan (concent). Persetujuan penting dari sudut pandang bidan, karena itu berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang dilakukan oleh bidan. Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut pandang wanita (pasien)sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan.
Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya. Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.
Rekomendasi


  • Bidan harus terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam berbagai aspek agar dapat membuat keputusan klinis dan secara teoritis agar dapat memberikan pelayanan yang aman dan dapat memuaskan kliennya
  • Bidan wajib memberikan informasi secara rinci dan jujur dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh wanita dengan menggunakan media laternatif dan penerjemah, kalau perlu dalam bentuk tatap muka secara langsung
  • Bidan dan petugas kesehatan lainnya perlu belajar untuk membantu wanita melatih diri dalam menggunakan haknya dan menerima tanggung jawab untuk keputusan yang mereka ambil sendiri
  • Dengan berfokus pada asuhan yang berpusat pada wanita dan berdasarkan fakta, diharapkan bahwa konflik dapat ditekan serendah mungkin
  • Tidak perlu takut akan konflik tapi menganggapnya sebagai suatu kesempatan untuk saling memberi dan mungkin suatu penilaian ulang yang objektif, bermitra dengan wanita dari sistem asuhan dan suatu tekanan positif.
Bentuk pilihan (choice) yang ada dalam asuhan kebidanan
Ada beberapa jenis pelayanan kebidanan yang dapat dipilih oleh pasien antara lain :


  • Gaya, bentuk pemeriksaan antenatal dan pemeriksaan laboratorium/screaning antenatal
  • Tempat bersalin (rumah, polindes, RB, RSB, atau RS) dan kelas perawatan di RS
  • Masuk kamar bersalin pada tahap awal persalinan
  • Pendampingan waktu bersalin
  • Clisma dan cukur daerah pubis
  • Metode monitor denyut jantung janin
  • Percepatan persalinan
  • Diet selama proses persalinan
  • Mobilisasi selama proses persalinan
  • Pemakaian obat pengurang rasa sakit
  • Pemecahan ketuban secara rutin
  • Posisi ketika bersalin
  • Episiotomi
  • Penolong persalinan
  • Keterlibatan suami waktu bersalin, misalnya pemotongan tali pusat
  • Cara memberikan minuman bayi
  • Metode pengontrolan kesuburan
C. Informed Concent
Informed concent bukan hal yang baru dalam bidang pelayanan kesehatan. Informed concent telah diakui sebagai langkah yang paling penting untuk mencegah terjadinya konflik dalam masalah etik.
Informed concent berasal dari dua kata, yaitu informed (telah mendapat penjelasan/ keterangan/ informasi) dan concent (memberikan persetujuan/ mengizinkan. Informed concent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapatkan informasi.
Menurut Veronika Komalawati  pengertian informed concent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Dalam PERMENKES no 585 tahun 1989 (pasal 1)
Informed concent ditafsirkan sebagai persetujuan tindakan medis adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut.
Langkah-langkah pencegahan masalah etik
Dalam pencegahan konflik etik dikenal ada 4, yang urutannya adalah sebagai berikut
a.       Informed concent
b.      Negosiasi
c.       Persuasi
d.      Komite etik
Informed concent merupakan butir yang paling penting, kalau informed concent gagal, maka butir selanjutnya perlu dipergunakan secara berurutan sesuasi dengan kebutuhan.
Informed concent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/walinya yang berhak terhadap bidan untuk melakukan suatu tindakan kebidanan terhadap pasien sesudah memperoleh informasi lengkap dan yang dipahaminya mengenai tindakan itu.
Menurut Culver and Gert, ada 4 komponen yang harus dipahami pada suatu consent :
1. Sukarela (volunteriness)
Sukarela mengandung makna bahwa pilihan yang dibuat atas dasar sukarela tanpa ada unsur paksaan didasari informasi dan kompetensi, sehingga pelaksanaan sukarela harus memenuhi unsur informasi yang diberikan sejelas-jelasnya.
2. Informasi (Information)
Jika pasien tidak tahu, sulit untuk didapat mendeskripsikan keputusan. Dalam berbagai kode etik pelayanan kessehatan bahwa informasi yang lengkap dibutuhkan agar mampu membuat keputusan yang tepat. Kurangnya informasi atau diskusi tentang risiko, efek samping tindakan, akan membuat pasien sulit mengambil keputusan, bahkan ada rasa cemas dan bingung.
3. Kompetensi (competence)
Kompetensi bermakna suatu pemahaman bahwa seseorang membutuhkan sesuatu hal untuk mampu membuat keputusan dengan tepat, juga membutuhkan banyak informasi.
4. Keputusan (decision)
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses, yang merupakan persetujuan tanpa refleksi. Pembuatan keputusan merupakan tahap terakhir proses pemberian persetujuan. Keputusan penolakan pasien terhadap suatu tindakan harus divalidasi lagi apakah karena pasien kurang kompetensi. Jika pasien menerima suatu tindakan, beritahulah juga prosedur tindakan dan buatlah senyaman mungkin.
Salah satu factor yang mendorong perlunya informed consent karena pasien mempunyai kesadaran akan hak mutlak atas tubuhnya dan hak untuk menentukan atas diri sendiri.
Dasar hukum informed consent :
Dasar hukum informed consent telah dirangkum dalam UU Kesehatan No 36/ 2009
1. BAB V pasal 24 ayat (1) :
Tenaga kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar kesehatan, dan standar prosedur operasional
2. BAB XX (ketentuan pidana)
PASAL 190
(1) : pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan prakrik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dlm keadaan gawat darurat sebagai mana yang dimaksud dlm pasal 32ayat 2 atau pasal 85 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau dan denda paling banyak 200.000.000
(2) : dalam hal perbuatan sebagai mana di maksud pada ayat 1 mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan tersebut dipidana dg pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M
Pasal 191
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktek pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan tekhnologi sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 60 ayat 1 sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M
Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastic dan rekontruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M
Pasal 194 :
Setiap orang yg dg sengaja melakukan aborsi tidak sesuai  dg ketentuan sbagaimana di maksud dlm pasal 75 ayat 2 di pidana dg pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak 1M
Pasal 195
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagai mana dimaksud dalam pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 500.000.000
Pasal 196 :
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan dan mutu sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) di pidanda dg penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 1M
Pasal 197 :
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 1,5M
Pasal 198 :
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana yang dimaksud dalam pasalb 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak 100.000.000
Pasal 200 ;
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian ASI eklusif sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (2) di pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 100.000.000
Pasal 201
(1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal 192,196,197,198,199 dan 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 kali dari pidana denda sebagai mana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal 192,196,197,198,199 dan 200.
(2) selain pidana denda sebagaimana dimaksud pda ayat 1, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum
3. secara hukum informed consent berlaku sejak 1981, PP No. 8 tahun 1981.
4. informed consent dikukuhkan menjadi lembaga hukum, yaitu dengan diundangkannya PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang persetujuan  tindakan medic, dalam Bab I, Ketentuan Umum, Pasal 1 (a) menetapkan Informed Consent; Persetujuan tindakan medic adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien/ keluarganya atas dasr penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan  terhadap pasien tersebut.

Apakah informed consent?
1.    Persetujuan yag diberikan pasien/ walinya yang berhak terhadap bidan, untuk melakuka suatu tindakan kebidanan kepada pasien setelah memperoleh informasi lengkap dan dipahami mengenai tindakan yang akan dilakukan.
2.      Informed consent merupakan suatu proses.
3.      Informed consent bukan hanya suatu formulir, tetapi bukti jaminan informed consent telah terjadi.
4.    Merupakan dialog antara bidan dan pasien didasari keterbukaan akal pikiran, dengan bentuk birokratisasi penandatanganan formulir.
5.  Informed consent berarti pernyataan kesediaan/ penolakan setelah mendapat informasi secukupnya sehingga yang diberi informasi sudah cukup mengerti akan segala akibat dari tindakan yang akan dilakukan sebelum ia mengambil keputusan.
6.      Berperan dalam mencegah konflik etik tetapi tidak mengatasi masalah etik, tuntutan, pada intinya adalah bidan harus berbuat yang terbaik bagi klien.
Dalam proses informed concent :
1)  Dimensi yang menyangkut hukum
Dalam hal ini informed concent merupakan perlindungan bagi pasien terhadap bidan yang berprilaku memaksakan kehendak, dimana proses informed concent sudah memuat :
1.      Keterbukaan informasi dari bidan kepada pasien
2.      Informasi tersebut harus dimengerti pasien
3.      Memberikan kesempatan kepada pasien untuk memberikan kesempatan yang baik
2)  Dimensi yang meyangkut etik
Dari proses informed concent terkandung nilai etik sebagai berikut :
1.      Menghargai kemandirian/otonomi pasien
2.      Tidak melakukan intervensi melainkan membantu pasien bila dibutuhkan/diminta sesuai dengan informasi yang telah dibutuhkan
3.      Bidan menggali keinginan pasien baik yang dirasakan secara subjektif maupun sebagai hasil pemikiran yang rasional.
Syarat sahnya perjanjian atau consent :
1. Adanya Kata Sepakat
Sepakat dari pihak tanpa paksaan, tipuan maupun kekeliruan. Kata sepakat setelah pasien mendapat informasi yang jelas dari bidan. Informasinya tidak boleh ada unsur berdasarkan kepentinahn subjektif bidan, termasuk upaya mencari keuntungan finansial semata, sehingga tindakan yang dilakukan tidak didasari suatu interpretasi data yang tepat. Piahk pasien harus menceritaka keadaan yang sebenarnay sehingga mempermudah perolehan data yang tepat dan objektif.
2. Kecakapan
Artinya seseorang memiliki kecakapan memberikan persetujuan, jika orang itu mampu melakukan tindakan hukum, dewasa dan tidak gila. Apabila karena suatu hal sehingga ia dipaksa untuk memberikan persetujuannya, misalnya tidak ada keluarganya, maka apabila tindakan yang dilakukan bidan gagal, maka persetujuan dianggap tidak sah.
3. Suatu Hal Tertentu
Objek dalam persetujuan harusdisebutkan dengan jelas, misalnya harus ditulis dengan jelas identitas pasien. Kemudian yang terpenting harus dilampirkan identitas yang memberika persetujuan.
4. Suatu Sebab yang Halal
Maksudnya isi pesetujuan tidak boleh bertentangan dengan UU, tata tertib, kesusilaan, norma dan hukum.
Informed consent mengandung beberapa segi hukum :
1.      Pernyataan dalam informed consent menyatakan kehendak ke2 pihak.
2.      Informed consent tidak meniadakan/ mencegah diadakannya tuntutan di muka pengadilan/ membebaskan RS/ bidan terhadap tanggung jawabnya apabila terdapat kelalaian.
3.      Formulir yang ditandatangani pasien pada umumnya berbunyi segala akibat dari tindakan akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri bukan bidan/ RS. Rumusan tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan hukum, megingat seseorang tidak dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya atas keselahan yang belum dibuat.
Penatalaksanaan informed consent cukup sulit, terbukti masih ditemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh pihak bidan atau rumah sakit atau rumah bersalin, yaitu diantaranya :
1.      Pengertian kemampuan diantanya secara hukum dari orang ayng akan menjalani tindakan, serta siapa yang berhak menandatangani surat persetujuan, harus ditentukan pengaturan mengenai batas usia, kesadaran, kondisi dan mentalnya. Seperti ibu yang takut, mampu menetapakan pilhan ataau berkonsentrasi terhadappenjelasan yang diberikan. apakah orang dalam keadaan sakit mampu secara hukum mampu menyatakan secara hukum persetujuan.
2.      Masalah wali yang sah, timbul apabila pasien tidak mampu secara hukum untuk menyatakan persetujuannya.
3.      Masalah informasi yaitu sebeerapa jauh informasi dianggap jelas tetapi tidak terlalu terinci sehingga dianggap menakut-nakuti.
4.      Dalam memberikan persetujuan apakah diperlukan saksi, jika diperlukan apakah saksi tersebut perlu manandatangani formulir yang ada. Bagaimana menentukan saksi.
5.      Dalam keadaan darurat misalnya kasus pendarahan pada bumil dan keluarganya tidak dapat dihubungi dalam keadaan ini siapakah yang berhak memberikan persetujuan sementara pasien perlu segera ditolong. Bagaimana perlindungan hukum kepada bidan atas dasar keadaan darurat dan upaya penyelamatan ibu dan janin.
Jadi manfaat informed consent adalah untuk mengurangi kejadian malpraktek dan agar bidan lebih berhati-hati dalam pemberian informasi pelayanan kebidanan.

  BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etik sebagai filsafat moral, mencari jawaban untuk menentukan serta mempertahankan secara rasional teori yang berlaku tentang benar salah, baik buruk, yang secara umum dipakai sebagai suatu perangkat prinsip moral yang menjadi pedoman suatu tindakan. Bidan dihadapkan pada dilema etik membuat keputusan dan bertindak didasarkan atas keputusan yang dibuat berdasarkan intuisi mereflekasikan pada pengalamannya atau pengalaman rekan kerjanya.
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berdasarkan kasus yang telah disebutkan dantelah kami pelajari, dapat disimpulkan bahwa masih kurang jelas apakah pada kasus tersebut ada unsur sengaja atau tidak sengaja. Masih banyak hal yang harus dibuktikan dalam kasus ini. Jadi bidan tersebut hendaknya menjelaskan pada proses keadilan tentang hal sebenarnya.
B. Saran
Bidan dituntut berperilaku hati-hati dalam setiap tindakan, dalam memberikan asuhan kebidanan dengan menampilkan perilaku yang ethis dan  profesional sehingga, tidak merugikan diri sendiri dan klien.

DAFTAR PUSTAKA

Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
Dahlan, S., 2002, Hukum Kesehatan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Guwandi, J., 1993, Malpraktek Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Setiawan, SH, M.Kes, 2010, “ Kumpulan Naskah Etika Kebidanan dan Hukum   Trans Info Media, Jakarta.
Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;