DIMENSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN
Bagian pertama ini akan menjelaskan secara garis besar
potret/corak kemiskinan di masing-masing kabupaten/kota yang akan menjadi basis
penilaian untuk melihat ketimpangan pendapatan dan konsumsi baik di kawasan
rural maupun di kawasan urban. Pertama, kemiskinan
di desa ditandai oleh problem penguasaan aset produktif, terutama lahan
pertanian. Sempitnya penguasaan lahan pertanian menyebabkan rendahnya tingkat
pendapatan dari sektor ini, sehingga alternatif sumber penghidupan harus dicari
dari sektor lain. Sebagaimana ditemui di Desa Argomulyo, petani gurem masih
harus menjual tenaganya di lahan milik orang lain atau menjadi buruh penambang
pasir karena lahan yang dimiliki tak mampu menopang penghidupannya. Di Desa
Nglipar Gunungkidul, keterbatasan aset produktif di desa memaksa masyarakatnya
bermigrasi ke luar desa sebagai strategi penghidupan.
Kedua, di samping problem penguasaan aset, orientasi masyarakat petani di
desa rural (meski tidak semuanya) bukan pada akumulasi laba melainkan
subsistensi dan bagian dari strategi ketahanan pangan baik rumah tangga maupun
komunitas. Kondisi semacam ini diidentifikasi pemerintah daerah sebagai
rendahnya nilai tambah dari sektor pertanian yang dilihat dari kontribusi
sektor ini bagi produk domestik regional bruto (PDRB). Pemerintah DIY berupaya
mendorong peningkatan kontribusi PDRB sektor ini dengan mengembangkan pertanian
dengan nilai tambah yang tinggi, seperti pertanian organik dan agribisnis.
Pemerintah DIY sebenarnya menyadari adanya ketimpangan pembangunan
antar kabupaten dan kota di DIY. Kemiskinan DIY, salah satu penyebabnya adalah
kegiatan ekonomi yang lebih banyak dinikmati oleh masyarakat perkotaan,
terutama di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Ketimpangan investasi asing
dan domestik di DIY berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja yang hanya
mencapai 56 persen dari target 2016. Sektor pertumbuhan ekonomi di DIY memang
tumbuh, namun belum merata. Dari total 150 investasi domestik (PMDN) di DIY,
109 di antaranya ada di Kota Yogyakarta dan Sleman (setara dengan 72,67 persen)
(Tempo, 3
Mei 2017). Bagi Bappeda DIY, upaya mengejar ketertinggalan dari sisi
perekonomian ini kemudian didorong dengan upaya menaikkan nilai tambah di
sektor-sektor perekonomian produktif, terutama pertanian.
Ketiga, kecenderungan resiliensi yang lebih tinggi di perdesaan karena
ditopang oleh jaring pengaman sosial dan ikatan sosial komunitas yang lebih
kuat serta patronase yang dibangun. Meski demikian, dilihat dari aspek
pengeluaran, kelompok miskin menanggung beban pengeluaran lebih besar pada
biaya sosial sebagai konsekuensi dari pertukaran sosial (sumbangan) yang
lebih mengikat.
Corak berbeda ditemukan di desa-desa di kawasan urban. Kemiskinan
di kawasan ini tak lagi semata oleh problem ketiadaan aset, namun juga
ketidakmampuan kelompok miskin untuk mengakses pekerjaan di sektor formal yang
memberikan tingkat pendapatan yang lebih besar. Akibat dari krisis aset
tersebut, kelompok miskin ini hanya mampu bertahan hidup dari sektor pekerjaan
informal (tukang parkir, ART, supir, buruh). Mereka yang termasuk ke dalam
kelompok kaya bekerja di sektor jasa yang nilai tambahnya lebih besar. Meski
tidak sepenuhnya demikian, kecenderungan resiliensi kelompok miskin ini lebih
rendah dibandingkan dengan kelompok miskin di desa-desa di kawasan urban. Hal
ini sedikit banyak dipengaruhi oleh Ikatan sosial yang cenderung lebih longgar
dan relasi sosial yang lebih transaksional di desa-desa di kawasan urban.
Kondisi yang hampir serupa terjadi di kelurahan di Kota Yogyakarta.
Baik di desa-desa di kawasan urban maupun rural, rumah tangga
miskin menghadapi kondisi dimana standar pengeluaran di atas standar pendapatan
sehingga tidak mampu menyisakan sebagian pendapatan untuk investasi, bahkan
cenderung defisit. Meski demikian, kondisi semacam ini di kawasan rural dapat
diatasi dengan strategi survival dengan
memanfaatkan sumberdaya yang ada di sekitar dan berhutang. Selain itu, migrasi
juga menjadi salah strategi yang dipilih oleh masyarakat di pedesaan yang tidak
memiliki aset produktif yang memadai untuk menopang penghidupan.
Pola pengeluaran di desa-desa di kawasan urban berbeda dengan pola
pengeluaran di kawasan rural. Pengeluaran di masyarakat urban dari kelompok
kaya dan menengah lebih banyak dialokasikan untuk konsumsi sebagai penanda
identitas (social
identity) (seperti: rekreasi, belanja di mall, fashion) dan
investasi serta asuransi. Pengeluaran pada masyarakat rural dan urban di
kelompok miskin kecenderungannya dialokasikan untuk kebutuhan konsumsi harian
dan operasional pendidikan.
Berkaitan dengan kondisi ketimpangan pendapatan, Pemkab
Gunungkidul mengawali program penanggulangan kemiskinan dengan perbaikan dan
sinergi data melalui program penguatan Sistem Informasi Desa yang diberi nama
SIDA SAMEKTA atau Sarana Mewujudkan Desa Aktif dan Sejahtera, dimana dengan
program integrasi data kemiskinan ini, ada sinergi yang terjadi antara
kabupaten dan desa dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Data kemiskinan
partisipatif dalam SID diharapkan menjadi satu-satunya data yang bisa digunakan
semua pemangku kepentingan, termasuk organisasi pemerintah daerah (OPD) di
lingkungan Pemkab Gunungkidul untuk menjalankan program programnya.
Di luar itu, kabupaten/kota cenderung menjalankan program
sentralistik dari pusat, tanpa banyak melakukan terobosan dalam mengatasi
ketimpangan yang ada antara desa dan kota dalam wilayah kabupaten. Hal ini
diakui terjadi karena ruang diskresi yang kecil, kapasitas keuangan yang minim
serta masih adanya kecenderungan kultur birokrasi yang enggan berinovasi dan
memilih mengulang program yang sama dari tahun ke tahun.
Di level desa sendiri, ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi
problem kemiskinan yang tinggi di desa. Desa Wonosari, misalnya, meski
tergolong sebagai desa dengan karakter urban, namun karena instruksi pemerintah
kabupaten yang kuat untuk mendorong desa turut berpartisipasi dalam
penanggulangan kemiskinan, maka Pemdes Wonosari menginisiasi adanya bantuan
bagi warga miskin yang memiliki usaha. Kegiatan ini di antaranya adalah
pemberian bantuan peralatan untuk modal usaha produktif. Hanya saja upaya untuk
menstimulasi warga miskin yang mau berusaha ini tidak menggunakan mekanisme
penganggaran atau melalui APB Desa. Pemdes mengaku takut melakukan perencanaan
di APB Desa tersebut karena terbentur aturan di atasnya. Imbasnya, program ini
dijalankan melalui konsensus penggunaan dana bagi hasil atau SHU dari UPK.
Tahun ini anggaran sebesar Rp 54 juta diberikan untuk 70 warga miskin yang
memiliki usaha kreatif, seperti angkringan,
penjahit, dan beberapa usaha lainnya.
Dari uraian di atas, kemiskinan di desa di kawasan rural ditandai oleh problem ketimpangan penguasaan aset produktif, terutama lahan pertanian yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Sementara itu, kemiskinan di desa-desa urban tak lagi semata oleh problem ketiadaan aset, namun juga ketidakmampuan kelompok miskin untuk mengakses pekerjaan di sektor formal yang memberikan tingkat pendapatan yang lebih besar. Dari sisi pengeluaran, beban pengeluaran lebih besar dialami oleh masyarakat miskin di desa-desa rural, terutama terkait dengan pengeluaran untuk pendidikan dan biaya sosial. Di desa-desa urban, beban pengeluaran untuk biaya sosial lebih rendah dan pengeluaran untuk biaya pendidikan relatif tidak menjadi persoalan karena akses fasilitas pelayanan yang lebih terjangkau.
Dari uraian di atas, kemiskinan di desa di kawasan rural ditandai oleh problem ketimpangan penguasaan aset produktif, terutama lahan pertanian yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Sementara itu, kemiskinan di desa-desa urban tak lagi semata oleh problem ketiadaan aset, namun juga ketidakmampuan kelompok miskin untuk mengakses pekerjaan di sektor formal yang memberikan tingkat pendapatan yang lebih besar. Dari sisi pengeluaran, beban pengeluaran lebih besar dialami oleh masyarakat miskin di desa-desa rural, terutama terkait dengan pengeluaran untuk pendidikan dan biaya sosial. Di desa-desa urban, beban pengeluaran untuk biaya sosial lebih rendah dan pengeluaran untuk biaya pendidikan relatif tidak menjadi persoalan karena akses fasilitas pelayanan yang lebih terjangkau.
Dimensi Pelayanan Dasar
Di samping dimensi-dimensi material standar hidup (pendapatan dan konsumsi), dimensi-dimensi non material dalam melihat ketimpangan juga mesti dilihat. Kami membatasi—untuk tujuan riset ini—pada dimensi pelayanan dasar (administrasi kependudukan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan) yang diperlukan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Secara garis besar, ketidakmerataan akses pada pelayanan dasar masih persoalan yang belum terselesaikan. Aspek ini menyangkut soal ketidakmerataan kuantitas dan kualitas pelayanan dasar antar daerah di DIY. Dari aspek pelayanan administrasi kependudukan, hampir tidak ada persoalan berarti terkait dengan standar pelayanan, terutama terkait biaya administrasi pelayanan yang digratiskan. Hanya saja, faktor geografis menjadi kendala masyarakat di kawasan perdesaan terutama di Kulon Progo dan Gunungkidul.
Dalam aspek pelayanan pendidikan dan kesehatan, problem ketidakmerataan jumlah tenaga pendidik dan tenaga kesehatan terutama terjadi antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul. Kondisi yang sama terjadi antara kawasan urban dengan kawasan rural. Ketersediaan fasilitas pendidikan dan biaya pendidikan yang digratiskan memberikan kemudahan masyarakat baik di kawasan rural maupun urban. Berbagai program jaminan sosial cukup mampu mengatasi problem masyarakat dalam mengakses pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, seperti Jamkesda, Jampersal, BPJS, KIS, KIP, dan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Namun demikian, inakurasi data penerima manfaat masih menjadi kendala dalam proses penyalurannya.
Ketimpangan sarana fasilitas kesehatan (faskes) antara urban dengan rural nampak dari ketersediaan faskes lanjut yang sebagian besar berada di kawasan urban. Sementara faskes dasar yang memiliki pelayanan 24 jam dan tindakan medis yang memadai, seperti persalinan belum tersedia secara merata hingga ke pelosok perdesaan, terutama di dua kabupaten (Kulon Progo dan Gunungkidul).
Pemerintah Kabupaten/kota di DIY sampai hari ini terus berupaya untuk mengatasi persoalan ketimpangan pelayanan dasar ini melalui berbagai kebijakan. Pemerintah Kota Yogya tercatat paling banyak menginisiasi lahirnya program terutama terkait dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka membuka akses kepada seluruh warga terutama kelompok marjinal, yang dilakukan secara merata di seluruh kelurahan, seperti: kebijakan adminduk gratis, jamkesda, jampersal, pelaksanaan kondisi emergency, posyandu lansia dan balita, rumah pemulihan gizi, Jaminan Pendidikan Daerah (JPD), Bantuan Operasional Daerah (BOSDA) Pendidikan, serta hibah bantuan khusus pendidikan bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta.
Kewenangan dan kapasitas fiskal yang semakin besar di desa memberikan keleluasaan bagi desa untuk dapat menjalankan program sesuai dengan kewenangan, termasuk dalam hal pembangunan dan pemenuhan pelayanan publik di desa guna menjawab persoalan yang selama ini banyak dihadapi, seperti kondisi infrastruktur yang mengkhawatirkan, sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan yang masih minim hingga persoalan kemiskinan yang masih tinggi.
Pada desa dan kelurahan di wilayah yang kemiskinannya rendah dan relatif maju, tidak banyak inovasi yang dilakukan untuk mengatasi ketimpangan antar kelas di desa. Berbeda halnya dengan desa yang memiliki karakter rural yang kuat, dimana muncul berbagai inovasi lokal dalam rangka mengatasi ketimpangan. Desa Temon Wetan, Nglipar dan Karangtalun misalnya, dengan kondisi kemiskinan dan infrastruktur yang minim, ada inisiatif yang lahir dari desa untuk mengatasi persoalan mendasar warga miskin disana. Di Desa Temon Wetan, kehadiran Kader Pemberantasan Kemiskinan (KPK) yang diinisiasi oleh Dinas Sosial menunjukkan kinerja yang penting dalam peningkatan kesejahteraan dan perbaikan pelayanan publik di desa, seperti: perbaikan data kemiskinan, pendampingan untuk pelayanan adminduk maupun akses untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan, terutama bagi keluarga miskin. Sedangkan di Desa Nglipar, Pemerintah Desa mengalokasikan anggaran Rp 622 juta untuk jembatan penyeberangan yang menyedot 41 persen APB Desa guna membuka akses dusun Kedungranti yang selama ini terisolir terutama ketika musim penghujan, sehingga memungkinkan bagi warga di dusun tersebut untuk mengakses pelayanan publik serta diharapkan memberi dampak ekonomi juga bagi warga dusun tersebut. begitu pula di Desa Karangtalun menganggarkan program pembangunan 10 MCK dan 10 lantainisasi bagi keluarga miskin.
Di samping dimensi-dimensi material standar hidup (pendapatan dan konsumsi), dimensi-dimensi non material dalam melihat ketimpangan juga mesti dilihat. Kami membatasi—untuk tujuan riset ini—pada dimensi pelayanan dasar (administrasi kependudukan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan) yang diperlukan individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Secara garis besar, ketidakmerataan akses pada pelayanan dasar masih persoalan yang belum terselesaikan. Aspek ini menyangkut soal ketidakmerataan kuantitas dan kualitas pelayanan dasar antar daerah di DIY. Dari aspek pelayanan administrasi kependudukan, hampir tidak ada persoalan berarti terkait dengan standar pelayanan, terutama terkait biaya administrasi pelayanan yang digratiskan. Hanya saja, faktor geografis menjadi kendala masyarakat di kawasan perdesaan terutama di Kulon Progo dan Gunungkidul.
Dalam aspek pelayanan pendidikan dan kesehatan, problem ketidakmerataan jumlah tenaga pendidik dan tenaga kesehatan terutama terjadi antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunungkidul. Kondisi yang sama terjadi antara kawasan urban dengan kawasan rural. Ketersediaan fasilitas pendidikan dan biaya pendidikan yang digratiskan memberikan kemudahan masyarakat baik di kawasan rural maupun urban. Berbagai program jaminan sosial cukup mampu mengatasi problem masyarakat dalam mengakses pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, seperti Jamkesda, Jampersal, BPJS, KIS, KIP, dan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD). Namun demikian, inakurasi data penerima manfaat masih menjadi kendala dalam proses penyalurannya.
Ketimpangan sarana fasilitas kesehatan (faskes) antara urban dengan rural nampak dari ketersediaan faskes lanjut yang sebagian besar berada di kawasan urban. Sementara faskes dasar yang memiliki pelayanan 24 jam dan tindakan medis yang memadai, seperti persalinan belum tersedia secara merata hingga ke pelosok perdesaan, terutama di dua kabupaten (Kulon Progo dan Gunungkidul).
Pemerintah Kabupaten/kota di DIY sampai hari ini terus berupaya untuk mengatasi persoalan ketimpangan pelayanan dasar ini melalui berbagai kebijakan. Pemerintah Kota Yogya tercatat paling banyak menginisiasi lahirnya program terutama terkait dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka membuka akses kepada seluruh warga terutama kelompok marjinal, yang dilakukan secara merata di seluruh kelurahan, seperti: kebijakan adminduk gratis, jamkesda, jampersal, pelaksanaan kondisi emergency, posyandu lansia dan balita, rumah pemulihan gizi, Jaminan Pendidikan Daerah (JPD), Bantuan Operasional Daerah (BOSDA) Pendidikan, serta hibah bantuan khusus pendidikan bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta.
Kewenangan dan kapasitas fiskal yang semakin besar di desa memberikan keleluasaan bagi desa untuk dapat menjalankan program sesuai dengan kewenangan, termasuk dalam hal pembangunan dan pemenuhan pelayanan publik di desa guna menjawab persoalan yang selama ini banyak dihadapi, seperti kondisi infrastruktur yang mengkhawatirkan, sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan yang masih minim hingga persoalan kemiskinan yang masih tinggi.
Pada desa dan kelurahan di wilayah yang kemiskinannya rendah dan relatif maju, tidak banyak inovasi yang dilakukan untuk mengatasi ketimpangan antar kelas di desa. Berbeda halnya dengan desa yang memiliki karakter rural yang kuat, dimana muncul berbagai inovasi lokal dalam rangka mengatasi ketimpangan. Desa Temon Wetan, Nglipar dan Karangtalun misalnya, dengan kondisi kemiskinan dan infrastruktur yang minim, ada inisiatif yang lahir dari desa untuk mengatasi persoalan mendasar warga miskin disana. Di Desa Temon Wetan, kehadiran Kader Pemberantasan Kemiskinan (KPK) yang diinisiasi oleh Dinas Sosial menunjukkan kinerja yang penting dalam peningkatan kesejahteraan dan perbaikan pelayanan publik di desa, seperti: perbaikan data kemiskinan, pendampingan untuk pelayanan adminduk maupun akses untuk pelayanan pendidikan dan kesehatan, terutama bagi keluarga miskin. Sedangkan di Desa Nglipar, Pemerintah Desa mengalokasikan anggaran Rp 622 juta untuk jembatan penyeberangan yang menyedot 41 persen APB Desa guna membuka akses dusun Kedungranti yang selama ini terisolir terutama ketika musim penghujan, sehingga memungkinkan bagi warga di dusun tersebut untuk mengakses pelayanan publik serta diharapkan memberi dampak ekonomi juga bagi warga dusun tersebut. begitu pula di Desa Karangtalun menganggarkan program pembangunan 10 MCK dan 10 lantainisasi bagi keluarga miskin.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Dari temuan-temuan dalam riset tersebut, kami memberikan sejumlah catatan sebagai kesimpulan awal. Pertama, kecenderungan kondisi ketimpangan di desa rural dipengaruhi oleh akses terhadap penguasaan aset produktif yang dapat dikelola untuk menopang penghidupannya. Faktor ini mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian yang mendominasi lapangan pekerjaan utama masyarakat perdesaan. Ketiadaan aset ini juga berpengaruh pada tingkat migrasi ke luar desa yang relatif tinggi. Kecenderungan kondisi ketimpangan di desa urban, selain oleh faktor kepemilikan aset produktif, dipengaruhi juga oleh kapabilitas kelompok masyarakat untuk mengakses sektor pekerjaan formal. Kebijakan pemerintah daerah untuk mengurangi ketimpangan ekonomi ini secara garis besar menyasar pada upaya pemerataan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan upaya mengatasi beban pengeluaran masyarakat dengan berbagai skema jaminan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan.
Kedua, ketimpangan pelayanan dasar terjadi tidak hanya di level daerah (antar kabupaten kota), namun juga antar kelompok sosial (miskin, menengah, dan kaya) serta antar kawasan urban dan rural. Konsentrasi fasilitas dan tenaga pelayanan dasar (terutama pendidikan dan kesehatan) di Kota Yogyakarta dan Sleman menyebabkan ketidakmerataan di tiga daerah lainnya, terutama Kulon Progo dan Gunungkidul. Ketimpangan juga terjadi antar kelompok sosial dimana kelompok miskin memiliki pilihan yang lebih terbatas dalam mengakses pelayanan dasar (karena faktor jarak), sementara bagi kelompok menengah dan kaya memiliki pilihan yang lebih banyak, terutama terhadap pelayanan yang lebih berkualitas. Tantangan kebijakan pemerintah daerah dalam upaya mengurangi ketimpangan pelayanan dasar adalah pemerataan fasilitas, tenaga, dan kualitas pelayanan dasar baik antar kabupaten maupun antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan.
Dari temuan-temuan dalam riset tersebut, kami memberikan sejumlah catatan sebagai kesimpulan awal. Pertama, kecenderungan kondisi ketimpangan di desa rural dipengaruhi oleh akses terhadap penguasaan aset produktif yang dapat dikelola untuk menopang penghidupannya. Faktor ini mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian yang mendominasi lapangan pekerjaan utama masyarakat perdesaan. Ketiadaan aset ini juga berpengaruh pada tingkat migrasi ke luar desa yang relatif tinggi. Kecenderungan kondisi ketimpangan di desa urban, selain oleh faktor kepemilikan aset produktif, dipengaruhi juga oleh kapabilitas kelompok masyarakat untuk mengakses sektor pekerjaan formal. Kebijakan pemerintah daerah untuk mengurangi ketimpangan ekonomi ini secara garis besar menyasar pada upaya pemerataan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan upaya mengatasi beban pengeluaran masyarakat dengan berbagai skema jaminan sosial di bidang pendidikan dan kesehatan.
Kedua, ketimpangan pelayanan dasar terjadi tidak hanya di level daerah (antar kabupaten kota), namun juga antar kelompok sosial (miskin, menengah, dan kaya) serta antar kawasan urban dan rural. Konsentrasi fasilitas dan tenaga pelayanan dasar (terutama pendidikan dan kesehatan) di Kota Yogyakarta dan Sleman menyebabkan ketidakmerataan di tiga daerah lainnya, terutama Kulon Progo dan Gunungkidul. Ketimpangan juga terjadi antar kelompok sosial dimana kelompok miskin memiliki pilihan yang lebih terbatas dalam mengakses pelayanan dasar (karena faktor jarak), sementara bagi kelompok menengah dan kaya memiliki pilihan yang lebih banyak, terutama terhadap pelayanan yang lebih berkualitas. Tantangan kebijakan pemerintah daerah dalam upaya mengurangi ketimpangan pelayanan dasar adalah pemerataan fasilitas, tenaga, dan kualitas pelayanan dasar baik antar kabupaten maupun antara kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan.
Rekomendasi
Dari sejumlah temuan dalam riset ketimpangan perdesaan dan
perkotaan ini, diajukan sejumlah rekomendasi, sebagai berikut:
Pemda DIY/Propinsi
Pemda Kabupaten/Kota
Pemerintah DIY perlu segera menyusun desain kebijakan terkait tata ruang dan pengembangan kawasan yang berorientasi pada pemerataan kegiatan perekonomian produktif antar kabupaten/kota;
Pemerintah DIY perlu mendorong kerjasama antar daerah yang berorientasi pada pemerataan kesenjangan antar kabupaten dan kota.
Di samping rekomendasi bagi pembuat kebijakan di level DIY, kabupaten/kota, dan desa; riset awal ini juga memberikan rekomendasi bagi peneliti, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Bagi peneliti dan akademisi, penting kiranya untuk melakukan riset lanjutan (survei maupun riset kualitatif) yang lebih mendalam dan komprehensif berkaitan dengan ketimpangan pendapatan dan pengeluaran serta ketimpangan pelayanan dasar di perdesaan dan perkotaan. Selain itu, riset ini juga merekomendasikan perlunya menelaah persepsi masyarakat terhadap problem ketimpangan dan persepsi masyarakat terhadap kebijakan publik untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Di samping itu, perlu juga agenda riset untuk menelaah sejauh mana tiga rejim regulasi (UU Pemda, UU Keistimewaan, dan UU Desa) berkorelasi bagi pengurangan problem ketimpangan dan peningkatan kesejahteraan. Bagi organisasi masyarakat sipil yang bekerja di level akar rumput, perlu advokasi terhadap problem ketimpangan ekonomi dan non ekonomi di desa-desa baik di kawasan perdesaan maupun perkotaan.
- Pemerintah desa perlu menyusun dan/atau memutakhirkan data statistik kemiskinan secara partisipatif yang mencerminkan aspek pendapatan dan pengeluaran rumah tangga dan memanfaatkan data tersebut sebagai basis dalam penyusunan kebijakan pengurangan kemiskinan dan ketimpangan di level desa;
- Desa (pemerintah desa dan masyarakat) perlu mendorong prakarsa untuk pengembangan ekonomi produktif di desa yang mengafirmasi partisipasi kelompok marjinal untuk mengakses tingkat pendapatan yang lebih baik berbasis aset yang dimilikinya;
- Pemerintah desa perlu mendorong kebijakan/program yang berorientasi pada peningkatan akses (jarak, keterjangkauan, kondisi fasilitas, dan biaya) masyarakat terhadap pelayanan publik dasar, terutama administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan sesuai dengan kewenangan dan kapasitas penganggaran desa.
- Pemerintah Kabupaten/Kota perlu meningkatkan efektivitas kebijakan, program, dan anggaran yang berorientasi pada pemerataan akses masyarakat terhadap kesempatan kerja dan kebijakan pengupahan yang layak dan berpihak pada kelompok marjinal;
- Pemerintah Kabupaten/Kota perlu memfasilitasi kerjasama pembangunan kawasan perdesaan dan perkotaan melalui pengembangan ekonomi lokal berbasis kawasan yang inklusif.
- Pemerintah Kabupaten/Kota perlu mendorong pemerataan fasilitas, tenaga, dan kualitas pelayanan dasar antara kawasan perdesaan dan perkotaan dengan kebijakan penganggaran dan mekanisme insentif bagi tenaga pendidikan dan kesehatan.
Pemda DIY/Propinsi
Pemda Kabupaten/Kota
Pemerintah DIY perlu segera menyusun desain kebijakan terkait tata ruang dan pengembangan kawasan yang berorientasi pada pemerataan kegiatan perekonomian produktif antar kabupaten/kota;
Pemerintah DIY perlu mendorong kerjasama antar daerah yang berorientasi pada pemerataan kesenjangan antar kabupaten dan kota.
Di samping rekomendasi bagi pembuat kebijakan di level DIY, kabupaten/kota, dan desa; riset awal ini juga memberikan rekomendasi bagi peneliti, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil. Bagi peneliti dan akademisi, penting kiranya untuk melakukan riset lanjutan (survei maupun riset kualitatif) yang lebih mendalam dan komprehensif berkaitan dengan ketimpangan pendapatan dan pengeluaran serta ketimpangan pelayanan dasar di perdesaan dan perkotaan. Selain itu, riset ini juga merekomendasikan perlunya menelaah persepsi masyarakat terhadap problem ketimpangan dan persepsi masyarakat terhadap kebijakan publik untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Di samping itu, perlu juga agenda riset untuk menelaah sejauh mana tiga rejim regulasi (UU Pemda, UU Keistimewaan, dan UU Desa) berkorelasi bagi pengurangan problem ketimpangan dan peningkatan kesejahteraan. Bagi organisasi masyarakat sipil yang bekerja di level akar rumput, perlu advokasi terhadap problem ketimpangan ekonomi dan non ekonomi di desa-desa baik di kawasan perdesaan maupun perkotaan.